Writer's Block #Final: Sebuah Tutorial Bunuh Diri


Di dunia ini seharusnya ada satu buku yang menulis tentang hal-hal yang tak boleh dilakukan kepada mantan kekasih. Salah satu isinya, memuat tentang larangan memberikan undangan pernikahan. Aku akan sangat gembira jika buku itu benar-benar ada. Pagi-pagi sekali, aku akan muncul di depan rumahmu. Bergaya sok keren dengan senyum cengengesan memberikan buku itu sambil mengucapkan kata-kata dari novel favoritmu: Iqra, Milea!

Dengan begitu, aku jadi punya alasan saat ini untuk menyebut kau tolol. Sudah jelas ini ada panduannya kok malah dilanggar, kau ini tolol atau bagaimana? Sejak dulu sebenarnya aku bercita-cita bisa mengataimu tolol. Serius deh. Kau terlalu cerdas, Sayang. Sepanjang aku mengenalmu, hanya ada satu hal bodoh yang pernah kau lakukan yaitu berpacaran denganku.

Kau datang pagi-pagi sekali—seperti yang kulakukan di fantasiku sebelumnya tentang buku imajiner itu, saat aku baru saja selesai mandi. Sekawanan beruk langsung heboh menggedor kamarku demi melihat sosok kau. Dasar beruk! Aku segera berpakaian dan bergegas ke teras menemui kau.

“Mau minum apa nih? Kopi atau teh es?”

Kau sudah nyaman duduk di salah satu bangku rotan. Amplop merah hati berbungkus plastik yang kuperkirakan adalah undangan pernikahan terpangku di atas kedua pahamu. Bagiku, undangan itu lebih cocok disebut surat perintah kematian.

“Kamu, kan, tahu kalau aku gak minum kopi dan ini terlalu pagi buat minum es.”
“Ini juga masih terlalu pagi buat ngasih undangan nikahan.”

Beberapa hari yang lalu kau kembali menghubungiku. Bertanya kabar, seperti biasa. Seperti lupa bahwa tiga bulan lalu aku memutuskan kau dan kita tak lagi menghubungi satu sama lain. Usai basa-basi standar, kau memberitahu berita penting itu. Berita penting tentang pernikahanmu. Kau bilang ingin mengantarkan undangan itu langsung kepadaku. Fotonya aja lah, gak usah repot kali, kilahku. Alasan saja itu. Aku malas menyiapkan kembali mental untuk bertemu denganmu. Tetapi kau bersikeras memaksa. Mengancam akan menyebarkan foto lamaku waktu kumisku masih asimetris. Oh, Meggy Z! Perempuan ini kok tolol sekali ya? Sudah tahu luka di dalam hatiku, masih saja dia siram dengan air garam.

***

Entah bagaimana, kau menemukan blogku dan membaca tulisan-tulisan di sana. Kemudian dengan kewarasan yang kupertanyakan, mencari kontakku lalu mengajak bertemu. “Diskusi itu lebih enak kalau ketemu langsung,” katamu. Aku memikirkan tiga belas kemungkinan alasan seorang perempuan berinisiatif mengajak bertemu lelaki asing. Tiga di antaranya ialah: kau sebenarnya seorang laki-laki, kau pembunuh berantai yang sedang mencari korban, atau kau ingin menawari bisnis MLM. Aku lupa sepuluh sisanya.

Aku bertaruh kalau kau aslinya laki-laki. Diriku yang satunya memilih opsi MLM. Tidak ada salah satu dari diriku sendiri yang memilih call a friend atau ask the audience.

Ketika akhirnya aku memutuskan untuk menemui kau saat itu, aku melanggar petuah dari bloger favoritku yang adalah diriku sendiri.

Jangan pernah jatuh cinta pada pandangan pertama, kalau kedua boleh.

Detik pertama aku melihatmu untuk pertama kalinya, aku sudah jatuh cinta. Ya, benar-benar jatuh cinta. Pada detik itu pula, aku meyakinkan Tuhan bahwa kaulah perempuan yang aku ingin cucu-cucuku kelak panggil dengan sebutan Nenek.

Maafkan kakek kalian, wahai cucu-cucuku di masa depan. Perempuan yang harusnya kalian panggil nenek sudah memilih lelaki lain untuk menjadi kakek bagi cucu-cucunya kelak.

Detail semacam jantung berdebar, keringat bercucuran, atau ginjal gemetaran terlewati olehku. Yang aku tahu, aku telah jatuh cinta padamu. Kau adalah perwujudan kecantikan yang membuat semua kata dalam kamus tidak ada arti apa-apa. Kau tak terdefinisikan. Tentu ini sebabnya bloger favoritku melarang untuk jatuh cinta pada pandangan pertama sebab hal seperti ini tak lebih dari kekaguman fisik semata.

Tetapi tentu saja itu tak sepenuhnya benar. Aku jatuh cinta padamu bukan hanya karena kau cantik. Aku bisa melihat suatu kualitas lain yang membuatku terpikat.

Kau bertanya ini dan itu. Banyak sekali. Aku merasa sedang diinterogasi polisi ketimbang berdiskusi. Kau memandang tepat ke mataku. Sangat intens. Harusnya aku merasa grogi atau paling tidak, gede rasa. Sayangnya, tatapan itu lebih seperti predator yang sedang menunggu kesempatan membunuh mangsanya. Lengah sedikit, nyawaku melayang. Beberapa kali aku mengelus-ngelus tengkuk. Memastikan keamanan leherku. Usai satu jawaban, kau mencecar dengan pertanyaan lain.

Sejak dulu aku percaya bahwa kecerdasan seseorang tidak dilihat dari caranya menjawab namun dari caranya bertanya. Dan begitulah kau menunjukkan kecerdasanmu. Kualitas yang lebih penting dari sekadar kecantikanmu.
Kalau tidak puas dengan jawabanku, kau bakal membantahnya tepat setelah aku selesai bicara. Sopan tapi ngotot.

“Kau ini sebetulnya mau diskusi atau debat? Kalau mau debat, cari kusir dong!” kataku. Cinta sih cinta.

Kau tertawa. Manis sekali. Sepanjang obrolan tegang tadi, baru kali ini kau tertawa. Suasana akhirnya mencair seperti es di kutub utara. Kau mengalihkan topik dengan bertanya tentang diriku. Asal-usul, hobi, ukuran sepatu, pekerjaan.

“Masih pengangguran honorer. Tapi kemarin udah daftar tes pengangguran negeri sipil, sih.”
“Terus, terus. Kapan tesnya?”
“Kapan-kapan,” balasku.

Setelah bergonta-ganti pembahasan, kau pamit pulang terlebih dulu. Meninggalkan aku sendiri sambil membawa hatiku turut pergi. Ada kekosongan tak lazim yang kurasakan saat menyaksikan punggungmu menghilang dari pandangan.

Apakah karena aku mencintaimu, kau akan mencintaiku juga?

Pada saat itulah, kusadari bahwa aku seperti para tokoh pangeran dalam cerita dongeng. Sang pangeran selalu jatuh cinta pada gadis cantik yang baru dikenalnya. Sungguh beruntung kecantikan wajah sang gadis selalu selaras dengan kebaikan hatinya. Konyolnya, cinta tersebut ternyata bersambut oleh si gadis. Betapa delusif sekali. Dongeng semacam ini jelas bermasalah. Sama bermasalahnya dengan kondisiku sekarang.

Patah hati datang secepat aku jatuh. Malam harinya satu notifikasi muncul di ponselku. Tumben sekali. Ternyata itu dari kau yang baru saja mengikuti akun instagramku. Setelah menekan tombol “ikuti balik”, kuklik profilmu dan mendapati kau rupanya telah memiliki kekasih. Satu nama lelaki dengan emoji gembok tertulis di biomu.

Kubuka salah satu fotomu dengan lelaki itu. Berat memang. Tapi aku harus melakukan ini untuk menganalisa kelemahan musuhku. Kulihat, posturnya tegap berotot. Kalau duel satu lawan satu, sudah pasti aku yang kurus kerempeng ini kalah. Pilihan alternatif yang bisa kupilih mungkin adalah dengan meracuninya.

***

Rencana meracuni kekasihmu batal kulaksanakan. Hukum dan moralitas membuatku urung melakukannya. Lagipula, aku sebenarnya tak cukup berani terlalu baik hati untuk membunuh orang lain hanya demi mendapatkan perempuan yang kuinginkan. Setelah pertemuan pertama waktu itu, kita tak lagi saling berjumpa apalagi sekadar menyapa di media sosial. Maka kuyakinkan diriku untuk memupuskan harapan dan memendam perasaanku sampai kebodohan enyah dari kepalaku.

Misteri soal dari mana kau bisa menemukan kontakku dahulu terjawab di saat yang sama aku membuka profil instagrammu pertama kali. Satu orang pengikut yang sama. Sangat spesifik. Orang inilah yang sekarang membawaku tiba-tiba saja ke rumahmu. Aku tak tahu kalau Clara akan membawaku ke sini.

Aku baru kelar salat isya ketika mendapat pesan dari Clara. Sempat kukira SMS hadiah undian dari PT. MKIOS.

“Di mana?” ketiknya.
“Kos”
“Udah makan?”
“Belum.”
“Coba kamu keluar dulu bentar.”
“Aku tebak pasti kau ngira aku bakal bilang ‘eh, kamu kok gak bilang mau datang ke kos bawa makanan sih’, iya kan?”
“Hahaha kamu kira akun relationship chat apa, anjir. Ini aku beneran udah di depan kos. Tapi gak bawa makanan.”
“Lebih tepatnya sih fake chat. Yaudah aku dandan dulu bentar, cyin.”

Tinggal ganti kain sarung dengan celana jins. Menukar kemeja batik dengan kaus oblong ditambah jaket. Selesai. Aku langsung keluar menemui Clara. Mobil Clara berhenti tepat di depan gerbang kos dengan kaca jendela kiri diturunkan.

“Masuk gih. Aku mau culik kamu malam ini.”

Di perjalanan, Clara bilang ingin ke rumah temannya untuk menyalin drama korea dan butuh ditemani ke sana. Ditambah lagi, katanya, siapa tahu aku juga minat sama drama tersebut. Karena dari masa sekolah aku sudah belajar bahwa untuk hal sesepele pergi ke wc saja perempuan minta ditemani, aku tak bertanya lebih lanjut alasan Clara membawaku turut serta.

Setelah dua puluh menit perjalanan, Clara memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah. Pagar putihnya kira-kira setinggi dua meter. Clara mendorong gerbang pagarnya dengan aku mengikuti dari belakang. Pekarangan rumah ini sangat luas. Taman kecil di depan menghampar dengan berbagai jenis tanaman. Sebuah saung dengan kolam ikan di bawahnya tampak ketika kami melangkah masuk ke dalam. Tiga buah mobil berbeda merek, dua motor matik, dan satu motor sport berbaris di dalam garasi yang pintunya terbuka. Tipikal rumah orang kaya raya seperti di film-film. Aku berani bertaruh di halaman belakang pasti ada kolam renang.
Di beranda, duduk seorang perempuan berjilbab dengan baju tidur. Aku butuh jarak kurang dari sepuluh meter untuk mengenali siapa perempuan itu. Rupanya kau! Kenangan soal getaran ginjal saat pertemuan pertama kita kembali mengulang dalam benakku. Aku masih mengingat rinciannya dengan baik. Masih menyimpan perasaanku pula dengan cukup baik. Agaknya.

“Kayak kenal deh,” katamu.
“Gak apa-apa kan, Mbak, kalau aku bawa pengawal? Hehehe.” Clara cengengesan. Kau pun juga. Puas cengengesan, kau mengajak kami masuk ke dalam.

“Kamu langsung ke kamar aja ya, Ra. Nanti Mbak nyusul. Nah, kamu tunggu di sini, Re.”
“Eh, aku gak diajak ke kamar juga nih? Katanya tadi pengawal.” Clara langsung mencubit perutku. “Maunya, huuuu.” Kubalas dengan menoyor kepala Clara yang langsung ditangkisnya. Kau tersenyum melihat kelakuan kami berdua. Clara pergi, kau menawariku mau minum apa.

“Kalau maunya sih, minum capucino cincau. Tapi kalau misalnya ngerepotin, air putih aja.”
“Tunggu bentar ya.”

Aku duduk di salah satu sofa panjang di ruang tamu. Memperhatikan sekeliling ruangan. Tata letak perabotannya keren juga. Dari beberapa foto keluarga, aku tahu kau punya seorang saudara laki-laki. Kakakmu, kurasa. Wajahnya lebih tua soalnya.

Tak lama kau membawa dua buah cangkir. Begitu diletakkan ke atas meja, tahulah aku bahwa isinya kopi hitam. Yah, masih miriplah sama capucino cincau. Sama-sama kopi. Awalnya aku kira cangkir satunya lagi untukmu. Setidaknya sampai kau memanggil ayahmu dari belakang untuk menemaniku di sini sementara kau bergegas ke kamarmu.

Deg

Wajah ayahmu tak jauh berbeda dari yang di foto. Yang beda, mungkin raut wajahnya saja. Kalau di foto dia tampak memasang wajah bahagia, sementara di sini wajahnya memasang mode sangar. Mode standar yang biasa digunakan seorang ayah jika kekasih anak perempuannya berkunjung ke rumah untuk pertama kalinya. Masalahnya, aku kan, waktu itu belum jadi kekasihmu.

Dari foto-foto di ruang itu pula, aku tahu kalau ayahmu adalah seorang tentara. Lantaran ada beberapa foto beliau mengenakan seragam. Aku tidak nyaman dengan caranya memindai penampilanku dari atas sampai bawah. Ayahmu menatap lamat-lamat ke arahku. Seolah-olah, aku seorang musuh negara yang layak ditumpas. Terjawab kini dari mana datangnya tatapan mengancam darimu waktu pertama kali kita ketemu.

“Kamu mau saya sekolahkan gak?”

Tuh, kan!

“Waduh, kebetulan saya masih doyan hidup nih, Om.”
Ayahmu mengangguk-ngangguk sebentar. Mengelus dagunya yang tidak ditumbuhi janggut. “Punya kerabat tentara?”

“Enggak, Om.”
“Tumben.”
“Hehehe,” tawaku garing. Kenalan juga belum, sudah mau ditumpas pula kayak kombatan GAM. Ayahmu mengendurkan ketegangan suasana dengan meminum kopinya sambil turut mempersilakanku minum juga.

Pembicaraan kami sedikit canggung setelah urusan menyekolahkan tadi. Tidak seperti kau yang aktif bertanya banyak hal, ayahmu tampak tak cukup berminat bertanya padaku. Mungkin itu sebabnya kemudian dia bertanya hal yang cukup absurd untuk ditanyakan pada kali pertama perkenalan.

“Kamu percaya gak sama isu kebangkitan PKI di negara kita?”

Kalau harus jujur, aku tentu saja ingin menjawab terang-terangan bahwa memercayai kebangkitan PKI di negara kita sama seperti memercayai kebangkitan Akatsuki di Konoha. Andai aku tak mengingat bahwa ayahmu adalah seorang tentara dan sebelumnya berniat menyekolahkanku, mungkin aku benar-benar menjawab seperti itu. Aku gak mungkin juga bilang kalau aku memercayainya hanya demi menyenangkan ayahmu. Pilihan yang kupunya, paling tidak, adalah dengan  membalikkan pertanyaannya.

“Jangan balik bertanya. Kan, saya yang nanya duluan.”

Oke, trik gagal. Saatnya mengaku.

“Kenapa kamu gak percaya? Sudah banyak bukti yang menunjukkan kalau anak cucu PKI sedang membangun kekuatan untuk menggulingkan negara. Bahkan ada yang jadi anggota dewan.”
“Kapitalisme lebih beracun ketimbang komunisme, Om. Anak cucu PKI sekalipun di DNA mereka saya yakin pasti sudah tertanam informasi bahwa jalan bertahan hidup itu adalah dengan menjadi kapitalis sejati, bukan dengan menjadi komunis dan membalaskan dendam leluhur mereka. DNA komunisme di dalam tubuh mereka sudah bermutasi.”
“Boleh juga kamu, Kamerad.”

Ayahmu tertawa terbahak-bahak. Aku tidak tahu apa yang lucu sebab saat itu aku sudah menyiapkan wasiat kalau-kalau aku tidak bisa pulang hidup-hidup dari rumahmu.

***

Ada detail yang terlupakan olehku sebagai seseorang yang sedang jatuh cinta yaitu memeriksa profil instagrammu setiap hari. Aku telat menyadari bahwa baik nama kekasihmu beserta emoji gemboknya, maupun foto kalian bersama telah lenyap dari akunmu. Jika aku tahu lebih cepat, mungkin aku tidak akan sangat kaget ketika kau memintaku menjadi kekasihmu lewat telepon.

Ditembak oleh seseorang yang kita cintai tentu sangat menggembirakan. Tapi aku tidak ingin menjalin hubungan hanya karena kita saling menyukai. Aku hanya mencintaimu. Itu tidak berarti aku telah benar-benar mengenalmu. Aku rasa kau pun begitu. Jika harus kita menjalani hubungan secara serius, kurasa paling tidak kita perlu waktu untuk mengenal satu sama lain lebih baik dulu.

“Aku udah tahu banyak soal kamu dari Clara kok.”
“Tapi aku gak tahu banyak tentang kau. Lagian, kau kenal aku dari apa yang dibicarakan oleh orang lain.”
“Clara bukan sekadar orang lain, kan? Kalian sudah jadi body system bagi satu sama lain.”
“Ya tetap aja. Dia bukan aku. Biar kau tahu nih ya, satu kalimat saja bisa punya banyak tafsir ketika dibaca oleh orang yang berbeda. Apalagi satu buku. Apalagi yang lebih rumit dari buku; manusia. Apalagi aku.”
“Kamu terlalu bertele-tele. Kalau begitu, gimana kalau kita mulai penjajakan dulu satu sama lain. Mau gak nih?”
“Ya mau lah.”

***

Sampai di sini, kupikir inilah masa keemasan dalam hubungan kita. Masa yang kita labeli sebagai “penjajakan”. Saat kita mulai mengenal satu sama lain. Mendekatkan diri satu sama lain. Kita bersepakat untuk tidak melakukan pendekatan ke orang lain selama masa ini, agar lebih fokus. Yah, mirip taaruf tapi ini versi lebih liberal dan haram tentunya karena akhir dari penjajakan ini adalah pacaran bukan pernikahan.

Beberapa kali aku datang ke rumahmu. Aku belum pernah melakukan pendekatan seintens ini dengan keluarga kekasih-kekasihku sebelumnya. Jadi bagiku pribadi, ini lompatan besar. Aku senang setiap kali ke rumahmu dan bertemu dengan keluargamu. Membicarakan permasalahan dunia yang lebih penting dari sekadar partai terlarang di Indonesia bersama ayah dan kakakmu, serta jadi pendengar curhatan ibumu tentang kelakuan murid-muridnya di sekolah. Setelah tujuh kali datang ke rumah, sedikit bersekongkol dengan orang tuamu agar memberi kita waktu berdua sejenak sebelum aku pulang, aku menyatakan perasaan. Memintamu resmi menjadi kekasihku. Biasanya, kan, setelah pertemuan ketujuh, pertemuan kedelapannya memang UTS. Ujian Tembak Si dia~

Kadang aku kepikiran untuk pura-pura sakit supaya bisa mendatangi rumah sakit tempatmu bekerja. Atau paling enggak, melakukan kencan standar menghabiskan waktu berdua selain di rumahmu. Kebanyakan waktu privasi kita berdua hanya lewat ponsel. Sementara sisanya, kita habiskan bersama dengan keluargamu. Paling banter, kencan normal kita sebulan sekali. Tapi, yah, cinta memang  bukan cuma soal romantis-romantisan berdua toh. Ada komitmen yang harusnya dipegang bersama.

***

Suatu malam, ibumu meneleponku. Kami membahas acara kejutan ulang tahun untuk ayahmu—kelak ketika acaranya berlangsung, ayahmu tidak terkejut sama sekali. Aku mengusulkan memasang bendera putih di gerbang rumah untuk mengerjai ayahmu ketika dia baru pulang kerja. Sayang sekali ibumu tidak menyetujui ide brilian itu dan lebih memilih ide standar mematikan semua lampu di rumah dan memberi kejutan ketika lampu dinyalakan. Aku pikir awalnya, pembahasan hanya sampai di sana. Ibumu membelokkan pembahasan tiba-tiba menjadi tentang kelanjutan hubungan kita.

Seorang ibu-ibu teman pengajian ibumu, tertarik menjodohkan kau dengan anaknya. Ibumu menceritakan semua rinciannya. Anak dari ibu-ibu tadi bekerja di sebuah perusahaan sawit di luar daerah yang hanya berjarak empat jam perjalanan dari kota kita. Dia anak tunggal. Ayahnya sedang sakit keras. Akan sangat membahagiakan bagi orang tuanya jika sang anak bisa menikah sebelum ayahnya kenapa-kenapa. Dan jika bisa, menikahnya dengan kau. Klise betul. Ibumu telah menjelaskan bahwa kau sudah punya pacar namun ibu-ibu itu mengeluarkan argumen yang sama standarnya dengan kisahnya. Kan masih pacaran, belum jadi suami istri.

Aku ingat kau pernah bercerita tentang seorang sepupu jauh kau yang baru menikah di usia 38. Kritis sekali. Bisa dibayangkan betapa meresahkannya mendapat pertanyaan kapan berhenti melajang oleh sanak saudara setiap kali lebaran. Aku tahu ibumu pasti akan mulai mengungkit soal itu sebagai dalihnya yang lain. Usiaku saat itu 22 tahun, kau 27. Menikah?

“Tante sangat mendukung hubungan kalian, tapi dia tentu mau dapat kepastian. Tante juga yakin kamu memang mau serius, gak mungkin dong hubungan kalian pacaran terus.”

Aku suka kalimat ibumu yang memiliki rima. Yang aku tidak suka adalah isinya.

Beberapa hari setelah itu, kau mengajakku menonton sore hari sepulang kau kerja. Selesai menonton, kau membawa mobilmu ke jalan menuju luar kota alih-alih pulang ke rumahmu. Kau tak banyak bicara selama menyetir dan aku pun tak punya niatan membuka obrolan sejak awal. Agar tak terlalu kaku, aku menyetel musik di mobil. Saat itu aku telah menebak, ibumu pasti telah membicarakan hal yang sama kepadamu. Wajahmu gelisah bahkan sejak pergi ke bioskop. Kau menghentikan mobil dekat sebuah warung yang berada di pinggiran tebing jalan lintas.

“Mama sudah cerita soal temannya itu ke kamu, kan?” Sekian lama berdiam diri, kau akhirnya mengawali obrolan tanpa melihat ke arahku. Matamu menatap ke arah sorot lampu depan mobil.

“Ya.”
“Kamu merasa keganggu soal itu?”
“Bukannya kau yang merasa terganggu makanya sikap kau jadi aneh hari ini?”
“Kamu yang keganggu.”
“Kita.”

Hening sebentar. Agaknya kau menyadari kalau kita memang sama-sama terganggu soal cerita ibumu itu dan kini sibuk dengan pikiran-pikiranmu sendiri. Aku berinisiatif pergi ke warung untuk membeli minuman untuk kita berdua. Sekalian mengendurkan ketegangan suasana tadi. Aku memikirkan banyak hal untuk dibicarakan kepadamu sebelum kembali ke mobil.

“Kamu tahu gak asal usul istilah jodoh itu dari mana?” tanyaku.
“Enggak.”
“Aku juga enggak,” kataku lagi sambil meminum kopi kalengan yang tadi kubeli. Kau belum meminum teh hijaumu sama sekali. “Tapi dalam bahasa Inggris, kata jodoh dipadankan menjadi Soulmate atau belahan jiwa.” Kau akhirnya memalingkan wajah ke arahku. Menatap dengan tatapan serius. Persis waktu perjumpaan pertama dulu.

“Aku punya teori, bahwa manusia sebenarnya diciptakan tidak utuh. Kita butuh satu—beberapa ada yang dua, tiga, bahkan empat, atau lebih—manusia lain untuk menjadi sempurna. Manusia lain itulah yang dianggap sebagai belahan jiwa. Bagian yang mengisi ketidakutuhan jiwa kita.”
“Hubungannya sama cerita Mama apa?”
“Sabar, sayangku. Kau beneran mau menghabiskan waktu hidup kau, menjadi manusia utuh, menjadi sempurna, dengan hidup bersama aku? Jadi belahan jiwa aku?”

Aku menghindari menggunakan kata istri dan menikah agar kalimatku tidak jadi lamaran pernikahan terang-terangan. Kau diam agak lama mencerna kalimatku. Mudah-mudahan tidak salah cerna.

“Tentu aku mau.”
“Kalau begitu ini hanya soal waktu.”
“Sampai?”
“Sampai kita berdua benar-benar siap. Finansial, fisik, dan psikis.”
“Dan kapan semua itu siap?”

Kali ini aku yang diam agak lama mencerna pertanyaanmu. Berharap tidak salah cerna agar nantinya tidak salah jawab. Belum sempat memikirkan jawaban, kau kembali bertanya.
“Kamu sebenarnya berniat gak buat melanjutkan hubungan kita?”

***

Malam itu kita akhirnya resmi putus. Setelah berdebat habis-habisan dengan emosi sama meledaknya. Kau bilang, aku hanya menikmati perasaan jatuh cinta kepadamu, tanpa keinginan berkomitmen sama sekali. Aku bilang, kau terlalu buru-buru bicara pernikahan hanya karena omongan ibumu. Kata putus meluncur begitu saja dari mulutku yang langsung kau sepakati. Aku bersyukur meski kita putus malam itu, kau tetap mau mengantarku ke kos, bukannya ke rumahmu seperti yang biasanya. Apalagi sampai meninggalkanku pulang sendiri jalan kaki. Lebih kusyukuri lagi bahwa akulah yang mengucapkan kata putus itu pertama kali. Mengambil beban moril sebagai yang melepas, bukan yang dilepas. Setidaknya, akulah yang menanggung perasaan bersalah itu sementara kau kini bisa bersiap menikah.

“Kamu sudah ada pacar baru sekarang?”

Undangan pernikahanmu telah berpindah tangan. Kau bertanya basa-basi yang jelas kelihatan basinya. Aku yakin kau tentu tahu banyak hal tentangku dari Clara sebab dia pun terus membicarakan semua tentangmu kepadaku tanpa dipinta. Dari dia jugalah aku tahu bahwa calon suamimu ini bukanlah si anak tunggal yang ayahnya sakit keras. Lelaki itu sudah menikah dengan anak perempuan dari ibu-ibu yang lain. Sedangkan kau akhirnya dipinang oleh mantan kekasihmu yang sebelum aku. Dia akhirnya kembali padamu. Mengutarakan niatannya tidak hanya sekadar balikan tapi mengajakmu menikah. Romantis sekali bukan?

“Aku masih terlalu sibuk menyiapkan rencana menghancurkan alam semesta. Gak sempat mikirin soal begituan.”

Kau tersenyum mendengar jawabanku sebelum kemudian segera berdiri untuk pulang. Ketika aku ikutan berdiri juga, kau mendekat ke arahku lalu mencium pipi kiriku. Singkat saja. Namun aku bisa merasakan lembut bibirmu menempel di pipi dan sempat berhenti sejenak di sana.

“Aku harap kelak kamu bakal menemukan seseorang yang mau kamu ajak untuk hidup bersama. Membuat kamu menjadi manusia seutuhnya, menjadi manusia sempurna.”

Ucapan tadi jadi kalimat perpisahan darimu. Saat kau melangkah pergi, aku masih menatap punggungmu sampai kau masuk ke dalam mobil. Memastikan bahwa yang kaubawa pergi hanyalah masa lalu kita, tidak dengan harapan hidupku.

Menjelang hari pernikahanmu, Clara berulang kali meneleponku mengajak pergi bersama ke sana. Memintaku bersikap dewasa dengan menyambut bahagia hari pernikahan kau. Seriusan aja deh. Belum pernah ditampol Duta Sheila On 7 ya? Coba saja lukanya seperti lukaku. Ckckck.

Ketika hari pernikahan tiba, Clara akhirnya pergi bersama Rafael, temanku yang lain. Temanku yang satunya lagi, Danu, datang ke kosku untuk menjemput atas permintaan Clara. Aku tetap gak mau pergi dan Danu langsung menyerah. Dia jadinya malah menumpang tidur di kosku. Sementara, aku masih sibuk menuliskan cerita kita di laptop sambil memikirkan ulang haruskah kutuliskan nama kau di dalammya. Sepotong lirik Amnesia dari 5 Seconds of Summer yang telah kuputar berulang kali terdengar dari headset di telinga saat menuliskan ini.

Sometimes I start to wonder, was it just a lie?
If what we had was real, how could you be fine?

.
.
.
.
.
.
.



Awalnya saya pikir serial ini akan berakhir di Writer's Block #10. Tapi lagi-lagi, sebagaimana serial Broken Heart yang punya episode tambahan, serial inipun sama. Hal yang membedakan adalah episode tambahan ini saya buat untuk menjadi penutup genre percintaan. Atau, genre "cengeng" kali ya?


Perpisahan yang baik, menurut saya, adalah perpisahan yang tidak buruk. Tapi, seperti apa sih perpisahan yang tidak buruk itu? Saya ingin benar-benar berhenti membuat cerita yang hanya mengglorifikasi sisi melankolis diri, meskipun saya sadari, genre semacam inilah yang bertahun-tahun saya gunakan, pelajari, dan mendapat banyak apresiasi dari teman-teman yang membaca blog ini.

Tetapi saya harus berkembang. Biawak parit harus berubah jadi naga berkepala tiga. Tulisan saya sudah semestinya berkembang tidak cuma bercerita tentang hal-hal di dalam diri. Ada banyak hal di luar diri, yang semestinya layak jadi sorotan saya. Layak untuk saya tuliskan.

Episode final ini, saya harap dapat menyelesaikan urusan-urusan saya dengan genre ini. Pun kelak, jika saya menulis tentang percintaan, saya akan menjadikannya sebagai bumbu semata. Bukan sebagai kisah utama. Mudahan sih begitu.

Namun, bukan tidak mungkin saya akan kembali pada genre ini. Sebagaimana seorang mantan kekasih yang CLBK. Barangkali di masa depan, saya bisa cukup layak untuk membuat kisah-kisah "cengeng" dengan lebih baik. Kisah-kisah yang mampu mengganggu benak pembacanya hingga bertahun-tahun ke depan setelah mereka membacanya. Bukan hanya kisah yang bisa membuat pembacanya bergumam, "Wah, ini tuh aku banget!!!"

Jadi, saya rasa, inilah perpisahannya. 

Selamat tinggal. Saya sayang kamu. Ehe~


Komentar