Assalamualaikum, gaes!
Selalu ada kenikmatan tersendiri saat menikmati perang argumen netizen di media sosial. Line, Twitter, Facebook, Instagram, bahkan kolom komentar Youtube rasa-rasanya tidak luput dari pertikaian digital ini. Favorit saya tentu saja di twitter karena ada akun infotwitwor yang menyediakan tangkapan layar keributan-keributan yang terjadi di dunia twitter. Tidak perlu repot-repot mengikuti akun-akun yang lagi ribut. Tinggal tunggu sang admin mengetwit, dan tadaaaaaa, segala keributan di twitter yang sedang panas-panasnya sudah tersaji untuk kita.
Sumber: Pixabay |
Selalu ada kenikmatan tersendiri saat menikmati perang argumen netizen di media sosial. Line, Twitter, Facebook, Instagram, bahkan kolom komentar Youtube rasa-rasanya tidak luput dari pertikaian digital ini. Favorit saya tentu saja di twitter karena ada akun infotwitwor yang menyediakan tangkapan layar keributan-keributan yang terjadi di dunia twitter. Tidak perlu repot-repot mengikuti akun-akun yang lagi ribut. Tinggal tunggu sang admin mengetwit, dan tadaaaaaa, segala keributan di twitter yang sedang panas-panasnya sudah tersaji untuk kita.
Nah,
kalau memperhatikan dengan cermat di beberapa kejadian, setidaknya ada satu-dua
adu argumen ini yang menggunakan dialog yang sama. Dialog ini rasa-rasanya semakin
sering muncul apalagi saat tubir tentang masalah sosial dan politik:
Makanya banyak baca lagi dong
Entah
kenapa, setiap kali membaca argumen
ini, terlintas sebuah pertanyaan di benak saya: ini orang
sudah seberapa banyak sih baca bukunya?
Respon
ini tentu bukan merupakan cerminan adil sejak dalam pikiran seperti kata Eyang
Pram. Malahan, lebih cenderung ke tindakan mendiskreditkan pelaku. Menyerang
personalnya, bukan argumennya.
Tetapi
saya—dan kita semua sih ya, saya rasa—punya pembenaran, yang rasa-rasanya dapat
diterima atas respon saya tadi. Jadi, yah, kali ini kita akan membahas soal budaya literasi masyarakat Indonesia.
Sudah
pada tahu dong ya kalau Indonesia merupakan salah satu negara dengan minat
baca terendah di dunia. Mengutip dari data hasil riset berjudul World`s Most
Literate Nations (WMLN) oleh Central Connecticut State
University tahun 2017 lalu, Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara.
Ya, 60 dari 61 alias juara kedua dari bawah!1!1!1!
Setiap
kali ada yang mengulas soal apa-apa saja yang menjadi akar permasalahan ini, tentu bahasannya tak jauh-jauh dari
kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan beragam keluhan-keluhan lain. Permasalahan
literasi ini tak jauh-jauh dari keluhan, keluhan, dan keluhan.
Lebih
sedihnya lagi, beberapa orang yang menyadari permasalahan ini justru malah
mengata-ngatai pihak-pihak yang dianggap kurang
baca tersebut dengan berbagai sebutan seperti pemalas, kurang nalar, sumbu
pendek, dan banyak lagi.
Bayangkan
saja, jika orang-orang yang dianggap—dan menganggap dirinya—banyak membaca bertindak
seperti itu, masyarakat yang disebut minim literasi tadi jadinya semakin ogah
membaca. Toh, untuk apa punya ilmu dari hasil banyak membaca tapi malah merasa
superior dan merendahkan orang lain?
Maka,
kepada orang-orang yang merasa sudah banyak baca, ingin saya tanyakan kembali hal ini:
seberapa banyak sih buku yang sudah
dibaca?
Banyak
itu relatif, sekaligus subjektif. Yang banyak menurut kita, belum tentu banyak
menurut orang lain. Begitu pula sebaliknya, gnay kaynab turunem atik, muleb
utnet kaynab turunem gnaro nial.
Sok lucu anda yha~
Di
lain kasus, kadang suka sedih sama orang-orang yang suka mempertanyakan status
kemahasiswaan seseorang jika orang tersebut belum baca Madilog-nya Tan Malaka.
Pertama, karena saya belum baca. Sudah punya sih versi digitalnya di laptop
cuma memang belum sempat baca dari dulu-dulu. Kedua, karena saya jadi ikut
mempertanyakan, apa urusannya status mahasiswa dengan kewajiban membaca
Madilog?
Orang-orang
seperti ini mungkin layak digelari sebagai kaum book snob, heuheuheu.
Seperti
yang sudah dituliskan sebelumnya, banyak itu
relatif. Tidak melulu bergantung pada jumlah, bisa jadi jenis dari bacaan itu
sendiri. Orang yang sudah banyak baca buku-buku tentang kimia tetapi tidak membaca buku-buku sastra, tentu tidak lantas bisa disebut sebagai kurang baca dong.
Nah, yang jadi patokan mestinya bukanlah seberapa banyak yang sudah kita baca, tetapi seberapa banyak bacaan itu memberi dampak bagi kita. Terlebih, memberi dampak juga bagi orang di sekitar kita.
Nah, yang jadi patokan mestinya bukanlah seberapa banyak yang sudah kita baca, tetapi seberapa banyak bacaan itu memberi dampak bagi kita. Terlebih, memberi dampak juga bagi orang di sekitar kita.
Minat Baca di Era Digital (?)
Minat
baca. Ada kata minat, ada kata baca. Sebagaimana semua jenis minat, ia bersifat
tak terikat. Hal-hal yang sudah terikat saja kadang bisa lepas, apalagi yang
tidak terikat, kan? Padahal membaca, kan, harusnya jadi wajib atas kesadaran
masing-masing individu. Sebab dianggap minat inilah, kesadaran akan pentingnya
membaca jadi kurang. Jadi paradoks, kan?
Rendahnya
minat baca masyarakat kita sering pula disebut-sebut merupakan dampak dari
perkembangan era digital; internet dan media sosial. Hal ini mungkin ada
benarnya mengingat di kehidupan sehari-hari kita lebih mudah mendapati
orang-orang di sekitar sibuk dengan ponsel, entah itu sekadar membuka medsos, menonton video Youtube, atau bermain game daring, ketimbang membuka buku. Akan tetapi,
bukankah masyarakat negara lain juga pada melek internet dan menggunakan media
sosial? Kenapa hanya orang Indonesia yang kurang minat bacanya?
Padahal,
media baca sekarang tidak hanya sebatas buku fisik saja. Sudah ada buku-buku
elektronik, daring dan luring. Jurnal dan artikel ilmiah, buku fiksi dan
non-fiksi, bahkan makalah dan laporan praktikum saja ada di internet. Tinggal kita
mau mencarinya atau tidak; mau membacanya atau tidak.
Bagi
beberapa book snob, ada kehinaan
tersendiri ketika membaca buku non-fisik. Buku fisik dengan aroma kertas yang
semerbak adalah harga mati. Dulu, saya sendiri sempat menjadi kaum anti-buku
elekronik. Alasannya sederhana: dulu beberapa novel elektronik yang ditawarkan
kebanyakan bukan karya populer dan saya tipe pemilih soal bahan bacaan. Bukan
berarti dulu saya anti dengan bacaan digital. Enggak, gak anti sama sekali. Dan, hei, blog ini sendiri adalah salah satu media baca digital juga kan. Gak mungkin dong, bloger anti sama media baca digital yang ia sendiri juga kelola.
Jauh sebelum saya mengenal Wattpad pada tahun 2015, sewaktu SMA saya adalah pembaca tetap situs fanfictiondotnet (gak tahu sekarang situsnya masih ada apa enggak). Semakin berkembangnya zaman, beberapa karya populer lokal maupun dari luar sudah banyak versi elektroniknya. Ada yang resmi, ada juga yang ilegal. Yah, pandai-pandailah lagi kan memilah mana yang mesti diunduh, mana yang enggak.
Jauh sebelum saya mengenal Wattpad pada tahun 2015, sewaktu SMA saya adalah pembaca tetap situs fanfictiondotnet (gak tahu sekarang situsnya masih ada apa enggak). Semakin berkembangnya zaman, beberapa karya populer lokal maupun dari luar sudah banyak versi elektroniknya. Ada yang resmi, ada juga yang ilegal. Yah, pandai-pandailah lagi kan memilah mana yang mesti diunduh, mana yang enggak.
Sayang
seribu sayang, media digital punya sisi lain: serba cepat, serba ringkas. Kita
jadi lupa, bahwa hal-hal yang ringkas membuat kita berpikir secara parsial dan
dangkal. Media digital semacam inilah yang sering dijadikan kambing hitam dalam
kemerosotan literasi masyarakat. Padahal, lagi-lagi, akar permasalahan
sebenarnya bukan pada medianya akan tetapi berasal dari individunya sendiri.
Bagi
kaum bibliofil (kaum apa lagi ini, mz?)
ada satu ungkapan yang cukup populer, saya lupa siapa yang pertama kali
mencetuskannya. Barangkali ada yang ingat, boleh dong kasih tahu.
So many books, so little time
Terlalu
banyak buku, terlalu sedikit waktu (untuk membaca). Demi menyiasati hal inilah
artikel-artikel serba ringkas hadir. Memberi informasi-informasi ringan dan
ulasan-ulasan singkat yang terkadang langsung ke kesimpulan permasalahan.
Apakah
salah jika membaca artikel singkat semacam itu? Enggak sama sekali. Selagi sebatas informasi awal, bukan sebagai pedoman utama. Nah, yang salah apa? Yang
salah adalah menyalahkan orang-orang yang menjadikan artikel tersebut sebagai
sumber bacaan. Yang salah adalah menyalahkan artikel tersebut sebagai biang
dari kemerosotan cara berpikir masyarakat.
Bacot Sejak dalam Pikiran
Sempat
kepikiran, yang jadi masalah sekarang ini adalah karena banyaknya orang-orang
bodoh yang bersuara atau karena orang-orang pintar yang berdiam diri. Apakah
kemudian jika saya ikut berdiam diri berarti saya termasuk golongan orang
pintar dan lantas kalau saya ikutan bersuara saya termasuk orang bodoh?
Bukankah sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar pintar atau benar-benar bodoh tetapi yang ada hanya tindakan pintar dan tindakan bodoh?
Kata
Zen RS, yang berbahaya dari menurunnya minat baca adalah: meningkatnya minat
berkomentar. Dan itulah yang sekarang jadi tren buruknya. Tong-tong kosong semakin nyaring bunyinya. Mending sih, kalau benar-benar bunyi. Kadang yang
kedengaran hanya gemanya alias ikut-ikutan doang.
Inilah
yang jadi dilema bagi sebagian orang. Gema-gema dari tong kosong ini kadang
bunyinya terlalu nyaring. Mau ditanggapi, tapi dia cuma gema. Kalau didiamkan, nanti dia semakin bikin kesal dan jadi pengaruh buruk bagi yang lain. Fenomena inilah yang kemudian membuat kata "netizen" mengalami penyempitan makna dan berkonotasi buruk.
Jadi
mesti diapakan orang-orang semacam ini?
Setelah
pernah sekali terlibat kekacauan di kolom komentar salah satu medsos, saya
menyadari bahwa membalas komentar dengan komentar tidak akan kelar-kelar.
Bahkan kadang bisa menambah masalah yang ada. Belum lagi, kolom komentar tidak
pernah cukup untuk menjelaskan banyak hal yang ingin disampaikan. Minimnya
ruang yang ada, juga turut meminimalisasi jumlah kata serta pesan yang
dimaksud. Wajar kalau bukannya makin dingin, beberapa keributan justru
bertambah membara akibat interpretasi sesaat dan sesat dari kalimat yang
dilontarkan lawan tubir bicara.
Pada
beberapa kasus, tindakan paling tepat untuk menghadapi hal semacam ini adalah
didiamkan. Yap. Diamkan saja. Tidak perlu digoreng lalu ditiriskan, diamkan
saja pokoknya. Saat-saat seperti inilah yang membenarkan bahwa diam
memanglah emas.
Tentu
kita juga harus punya pertimbangan lain ketika memutuskan untuk angkat bicara.
Tapi, ya, jangan di kolom komentar sih. Kolom komentar terlalu rawan untuk
dikomentari oleh pihak yang awalnya tidak berkaitan. Karena kalau sampai salah
tangkap makna, bisa-bisa peserta tubirnya malah bertambah.
Belum
lagi, ada beberapa spesies orang yang memang sengaja memancing keributan di kolom komentar.
Entah itu untuk sekadar panjat sosial atau malah memang yang tujuan hidupnya
adalah membuat keributan. Menanggapi orang-orang semacam ini selain membuang
waktu juga membuang tenaga dan pikiran secara sia-sia. Tidak berguna.
Jadi, kalau ada yang bikin ribut di medsos didiamkan saja?
Ya, diamkan saja. Mending jadi penonton daripada ikut komentar. Asli. Lebih asik.
Jadi, kalau ada yang bikin ribut di medsos didiamkan saja?
Ya, diamkan saja. Mending jadi penonton daripada ikut komentar. Asli. Lebih asik.
Kalau
ujung-ujungnya mengajak untuk mendiamkan oknum-oknum penyebab keributan di
media sosial, kenapa diberi subjudul Bacot
Sejak dalam Pikiran?
Menurut
KBBI, bacot adalah bentuk kasar dari kata mulut. Kata mulut sendiri dapat
berarti cakap atau perkataan. Bacot atau kadang disebut bacotan dapat diartikan
sebagai perkataan kasar. (Redyantino. 2018)
Daripada
meluapkan perkataan kita ke oknum-oknum netizen di kolom komentar, sembari
menanggapi betapa kurang nalar dan sumbu pendeknya yang bersangkutan, lebih
baik kita meluapkannya pada diri kita dahulu.
Bacotin
diri sendiri dulu, sampai kita menyadari bahwa ngebacotin netizen lain jauh dari kata berguna. Bacotin diri sendiri dulu, sampai kita
mengerti kalau ternyata yang kurang nalar dan sumbu pendek bukan orang lain
tetapi diri kita sendiri.
Kalau
sudah ngebacotin diri sendiri, masih
kepikiran buat ngebacot ke orang
lain?
Iqro`, MileaMilenial!
Ada
orang yang suka bakso, ada yang enggak.
Ada
orang yang suka nasi goreng, ada yang enggak.
Ada
orang yang suka bakso dan juga suka nasi goreng.
Ada
juga orang yang enggak suka bakso dan nasi goreng, sukanya martabak.
Setiap
orang punya selera makan masing-masing, begitu pula dengan selera bacaannya.
J.K Rowling pernah bilang: If you don`t like to read, you haven`t found
the right book. Kalau kamu enggak
suka baca, kamu (berarti) belum menemukan buku yang tepat. Temukan buku yang
tepat untuk kalian, dan semoga saja dengan buku yang tepat itulah kalian yang
belum suka membaca akan mulai suka.
Sampai di sini, tahukah kalian ada satu fakta
menarik?
Ketika kalian membaca sampai bagian ini, kalian sesungguhnya telah memiliki kesadaran membaca saudara-saudaraku!
Beri tepuk yang meriah untuk kalian semuaaaa!!!!
Ketika kalian membaca sampai bagian ini, kalian sesungguhnya telah memiliki kesadaran membaca saudara-saudaraku!
Beri tepuk yang meriah untuk kalian semuaaaa!!!!
Di
sinilah tugas ini akan diteruskan kepada kalian untuk membantu mengampanyekan
dan menyuarakan kesadaran membaca buku
bagi orang-orang di sekitar kita. Semoga, dengan semakin banyak orang-orang
yang memiliki kesadaran baca dan kesadaran akan pentingnya mengajak orang lain
membaca, bangsa ini akan tumbuh menjadi lebih baik lagi.
Komentar
Posting Komentar