[Ulasan] Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi – Eka Kurniawan



Assalamu'alaikum wr wb
Selamat malam, gaes:)


Meski sebelumnya sudah pernah melihat di katalog toko buku daring, belum terpikirkan sama sekali apa sesungguhnya isi buku dengan judul sembilan kata ini. Ya, SEMBILAN KATA SAUDARA-SAUDARI SEKALIAN. Ketika kemudian bulan Ramadan kemarin menyempatkan untuk ke toko buku dan mendapatinya di salah satu rak, pertanyaan pertama yang terlintas di benak saat melihat sampulnya adalah: novel melodramatiskah ini?

Desain sampul buku bergambar siluet seorang perempuan di atas sebuah perahu tengah memandang langit senja yang kekuningan lengkap dengan beberapa burung camar yang terbang di atasnya. Kurang syahdu apa coba lagi ini, kan?

Tiga karya Eka Kurniawan yang telah saya baca sebelumnya antara lain ialah Lelaki Harimau, Corat-Coret di Toilet, dan Kumpulan Budak Setan (kumpulan cerpen bersama Intan Paramaditha dan Ugoran Prassad). Jika becermin dari ketiga karya tersebut, tentu saya sudah ada sedikit bayangan akan seperti apa ceritanya. Di sampul belakang buku, tertulis sepotong dialog dan sepenggal paragraf dari cerita tersebut sebagai blurb (di kamus kata ini berarti uraian. Belum menemukan padanan yang lebih spesifik, jadi masih pakai blurb. Kalau ada yang tahu, boleh dong kasih tahu). Perkiraan awal saya meleset ketika kemudian melihat di pojok kanan bawah tempat kode ISBN bernaung, buku ini masuk dalam kategori Kumpulan Cerita, bukan Novel.

Dan begitulah kira-kira.

Diterbitkan pertama kali pada Maret 2015 oleh Penerbit Bentang, buku ini berisi 15 cerpen yang separuhnya menceritakan seorang perempuan sebagai tokoh sentral termasuk cerpen yang menjadi judul: Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (selanjutnya disingkat PPHYKMCMM). Saya cukup penasaran atas pertimbangan apa Eka Kurniawan memberi judul sepanjang ini.

Cerpen pembuka berjudul Gerimis yang Sederhana. Berlatar di kota Los Angeles, cerpen ini berkisah tentang Mei, seorang perempuan keturunan Tionghoa dari Indonesia. Nama ini mengingatkan saya pada Mei ‘Tündérrózsám’ Rose di Surga yang Tak Dirindukan, Mei di Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, dan Ang San Mei di Jejak Langkah. Sepertinya, nama Mei cukup pasaran digunakan oleh banyak penulis untuk karakter gadis Tionghoa.

Mei yang telah lama tinggal di Los Angeles untuk kali pertama pascatragedi `98 memiliki semacam kencan dengan seorang lelaki dari Jakarta bernama Efendi. Sepanjang sebelas halaman lebih sedikit—banget—alur cerita ini membuat saya berdecak kagum terhadap kepiawaian penulisnya.

Kisah selanjutnya berjudul Gincu Ini Merah, Sayang. Marni, seorang mantan pelacur yang telah berhenti dari pekerjaannya, diciduk saat berada di depan pintu tempat dia dahulu bekerja. Inti cerita ini ada pada penggambaran sumber keretakan hubungan Marni dan suaminya yang berawal dari diri mereka sendiri, ditambah minimnya komunikasi antara keduanya. Yah, begitulah. Komunikasi itu penting! Kalau ada masalah itu jelaskan baik-baik. Jangan juga terlalu cepat ambil kesimpulan, dengarkan dulu apa sebenarnya yang dia mau. Ambil jalan tengah, bukan jalan pintas dengan mengakhiri hubungan yang sudah sekian lama dirajut. Gitu.

PPHYKMCMM menjadi cerpen ketiga berkisah tentang Maya yang ditinggalkan kekasihnya tepat pada malam sebelum pernikahan mereka digelar. Lebih sialnya lagi, kekasihnya pergi bersama sahabat Maya sendiri. Ciwi-ciwi yang suka memantau akun gosip di instagram pasti bakal berapi-api sekali membaca kisah ini. Dalam masa-masa depresi dan pemulihan kondisi kejiwaannya, Maya mendapat mimpi tentang seorang laki-laki yang berlari di pantai ditemani seekor anjing. Lelaki tersebut menjadi kekasihnya di dalam mimpi. Bertekad menyembuhkan patah hatinya ditambah harapan membuktikan keberadaan laki-laki tersebut, Maya pergi ke Pangandaran, kota kecil tempat lelaki dalam mimpinya itu tinggal.

Di antara cerpen-cerpen lainnya, sangat tepat rasanya PPHYKMCMM dipilih sebagai judul dari buku ini. Konfliknya sangat-sangat terasa. Mungkin kalau dikembangkan jadi novel bisa lebih mantap lagi.

Cerpen selanjutnya juga berlatar di Los Angeles seperti cerpen pertama; Penafsir Kebahagiaan. Siti, seorang pelacur dari Jakarta dibawa Jimmi ke Amerika sebagai pelacur yang dijajakan kepada teman-temannya sesama dari Indonesia. Sungguh mantul sekali ini si Jimmi. Orang lain ke luar negeri biasanya bawa makanan khas dari tanah air sebagai obat rindu kampung halaman, lah si Jimmi bawa pelacur dari tanah air dengan alasan serupa.

Lanjut...

Hmm, pernah dengar teka-teki klasik tentang bagaimana cara memasukkan gajah ke dalam kulkas? Cerpen kelima yang berjudul Membuat Senang Seekor Gajah tampaknya terinspirasi dari teka-teki tersebut. Semua bermula dari keinginan sederhana seekor gajah untuk masuk ke dalam kulkas karena cuaca yang begitu panas. Tiba di sebuah rumah, sang gajah terkena flu pilek tiada henti-hentinya  bertemu dengan sepasang anak kecil. Cerpen ini memberikan jawaban yang cukup masuk akal daripada buka pintunya, masukkan gajah ke dalam, tutup pintunya.

Cerpen kedelapan, Cerita Batu, bercerita tentang sebongkah batu yang jadi saksi pembunuhan. Kapten Bebek Hijau di urutan kesebelas berkisah tentang petualangan seekor anak bebek berwarna hijau yang ingin mengembalikan warnanya menjadi kuning.

Tiga Kematian Marsilam dan Membakar Api mengisahkan dunia mafia. Setiap Anjing Boleh Berbahagia dan Pelajaran Memelihara Burung Beo bercerita tentang perempuan dan peliharaan mereka. Le Cage aux Folles kisah seorang waria yang telah berganti kelamin. Sasha dibuat kesal oleh oknum-oknum yang kencing sembarangan di depan tempat parkir butiknya di cerpen Jangan Kencing Di Sini. Sementara Juwita dibuat penasaran oleh Teka-Teki Silang yang justru telah diselesaikannya.

Cerpen penutup mengisahkan tentang seorang laki-laki mengenang bapaknya yang baru saja meninggal. Ada banyak pesan ditulis Om Eka pada cerpen ini, baik tersurat maupun tersirat.

Secara keseluruhan, menurut saya cerpen-cerpen dalam buku ini terbilang ringan—lebih ringan jika dibanding cerpen-cerpen dalam Corat-Coret di Toilet—dengan plot yang tak diduga-duga seperti halnya karya-karya Eka Kurniawan yang lain. Lewat cerita-cerita yang ringan inilah, pesan-pesan moral dan sosial disampaikan sebagai wujud kegelisahan dari penulisnya terhadap kondisi sekitar.

Tema yang bagi sebagian orang dianggap tabu semacam pelacuran dan transgender disampaikan dengan lugas dan apa adanya dari sisi yang barangkali tak pernah kita tahu. Selain itu, yang menjadi nilai tambah pada cerpen-cerpen dengan tokoh utamanya seorang perempuan ialah fakta bahwa penulisnya adalah seorang laki-laki. Ini menandakan bahwa lelaki bisa juga memahami pandangan perempuan, bahkan dari sisi yang perempuan sendiri belum tentu paham.

Gerimis yang Sederhana menceritakan bagaimana gugupnya Mei bertemu dengan Efendi lantaran memiliki pengalaman tidak menyenangkan ketika tragedi 1998. Lihat impian sederhana Raya yang ingin memelihara seekor anjing atau Mirah yang ingin berbicara dengan tiga ekor burung beonya. Lihat bagaimana ragunya Siti terhadap karirnya sendiri sebagai pelacur di Jakarta atau gusarnya Marni yang bekas pelacur mengira suaminya pergi mencari pelacur di tempatnya dulu bekerja. Simak juga bagaimana Martha menjalani hidupnya sebelum kemudian memutuskan melakukan operasi plastik dan berganti kelamin.

Kisah-kisah tersebut bisa saja benar terjadi di kehidupan nyata dan darinyalah kita belajar untuk memperhatikan sudut pandang para tokohnya.

Cerpen sebagai salah satu jenis karya sastra memanglah mesti menjadi sarana penyampaian pesan. Sebagai suatu karya sastra, cerpen juga mestinya tidak hanya sebatas dibaca namun meresap ke dalam pikiran—bahkan mungkin ke dalam jiwa—pembaca. Sehingga usai membaca suatu cerpen, seorang pembaca mendapat pandangan baru dalam hidup dan bertambah wawasannya. Pesan-pesan yang menyampaikan pandangan hidup dan menambah wawasan dari penulisnya akan kita dapati dalam buku kumpulan cerpen ini. Akhir kata, buku PPHYKMCMM sangat layak direkomendasikan untuk teman-teman semua.

Dah. Gitu aja sih.

Komentar