Assalamu`alaikum wr wb
Selamat pagi kesiangan :D
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Daftar Episode:
#1
#2
#4
#5
#6
#7
#8
#9
"Ide itu ada, ide itu ada. Tinggal kita mau menuliskannya apa tidak."
Hai gaes, selamat datang di episode ke-3 dari WB. Sebuah curcolan gaje antara fakta apa fiksi seorang amatir :v
As always, makasih banget buat kalian yang udah meluangkan waktunya buat baca tulisan aku kali ini. Kritik, saran dan review dengan suka rela dan kerendahan hati kuterima setiap saat. Jadi, jangan sungkan buat ninggalin pesan di kolom komentar ya. Btw, komen di sini gratis kok, gak bayar :D
Dah ah, singkat aja. See u next time, guys!
Selamat pagi kesiangan :D
Aku mendesah pelan. Melirik malas layar ponsel yang
menunjukkan kurang 10 menit dari pukul 2 siang. Belum ada tanda-tanda. Kuminum
lagi mocca float lewat sedotannya di
depanku sembari menunggu. Setengah 2 katanya, dan sekarang sudah lewat 20 menit
dari waktu yang ia janjikan sendiri—batas toleransi dosen saja hanya 15 menit.
Aku mestinya tak berharap banyak lagi ia akan datang menunaikan janjinya tapi
entah kenapa sebagian diriku menolak untuk beranjak dari tempat ini. Ia akan datang sebentar lagi, sebentar lagi.
Jariku mengetuk-ngetuk permukaan meja. Membunuh sedikit bosan dan kekhawatiran
akan kemungkinan ia tidak hadir.
Buku “Garis Waktu” di tangan kiriku menganggur
setelah beberapa menit kukeluarkan dari dalam ransel. Aku terlampau gusar.
Gagal fokus. Upayaku mengalihkan konsentrasi dengan membaca jadi sia-sia.
Berkali-kali kupalingkan wajah ke arah pintu masuk, mengira-ngira bahwa
pengunjung selanjutnya adalah perempuan yang kutunggu sedari tadi. Seharusnya
aku bisa bersikap biasa saja. Aku memang harus bersikap biasa saja, toh?
Kuhirup napas dalam-dalam, menenangkan pikiran
sejenak. Hiruk pikuk pengunjung masih lumayan ramai walau sekarang sudah lewat
dari jam istirahat makan siang sebenarnya. Tenang, tenang, tenang. Aku sudah
pernah melewati banyak hal menegangkan. Semisal detik-detik terpilihnya aku
sebagai ketua kelembagaan mahasiswa tingkat program studi, bentrokan—atau
sebenarnya, sih, pembantaian oleh—polisi di kantor radio 2 tahun yang lalu,
penyerangan mahasiswa fakultas lain atau ketika beberapa bulan lalu aku
akhirnya tampil seminar literatur. Semuanya menegangkan, tapi aku mempu
melewatinya. Hal seperti menunggu seorang perempuan yang meminta aku datang di
sebuah tempat dan waktu yang telah ditentukan untuk membicarakan sesuatu, seharusnya tak ada apa-apanya
ketimbang apa yang telah kulewati.
Seharusnya
begitu, kan?
Tentu akan jadi menegangkan bagiku, jika mengingat
bahwa perempuan yang kutunggu adalah sahabat karib dia.
Ada
sesuatu yang perlu kuomongin, bisa minta waktunya besok? Ketiknya mengawali pesan. Sedikit kaget
mendapati aplikasi berbalas pesan di ponselku mendapat pesan darinya. Aku tidak
terlalu akrab dengannya meski sudah memiliki kontaknya sejak lama. Hanya
sekedar tahu siapa dia, tidak lebih.
Kalau dipikir-pikir lagi, aku nyaris tidak pernah
bicara secara langsung dengannya. Tidak juga lewat dunia maya. Interaksi di
antara kami sebatas saling meninggalkan tanda hati di kiriman instagram saja.
Aneh awalnya saat dia tiba-tiba menghubungiku lalu meminta waktu bertemu sampai
kusadari satu hal: dia adalah sahabat karib dia.
Aku dan dia
sudah lama sekali lepas komunikasi. Lepas bukan hilang. Sebab nyatanya kami masih berteman di semua akun media sosial dan
sempat berpapasan beberapa kali di luar.
Jadi ketika salah seorang sahabat karibnya yang tidak pernah bicara sebelumnya
denganku tiba-tiba menghubungi, ini tidak lain pasti ada hubungannya dengan dia.
Sambil menunggu, aku menebak-nebak hal apa yang
ingin dibicarakannya sehingga mesti bertemu dengan aku yang bahkan tidak pernah
berbicara langsung sedikitpun dengannya. Aku membayangkan apa yang
dipikirkannya sampai-sampai kepikiran untuk bertemu langsung denganku.
Pikirannya, sebagaimana pikiran perempuan lain, acak bagai labirin yang
dirancang seorang pemabuk; ia tak memiliki jalan keluar, juga tak berpola.
Satu-satunya jalan keluar dari labirin—pikiran perempuan—tersebut adalah jalan
masuknya sendiri.
Apa yang pertama kali ia ucapkan? Akankah ia
bertanya kabar? Bertanya basa-basi perihal kesibukanku belakangan ini seperti
halnya sahabat lama yang baru bertemu? Kemudian kami akan terlibat pembicaraan
akrab layaknya dua orang yang memang saling mengenal dan sudah akrab satu sama
lain. Satu dua kali, kami akan melemparkan candaan, bergurau, bicara ngalor ngidul sehingga orang-orang di
sekitar yang tak mengenal kami mengira kami seperti sepasang kekasih yang
sedang kencan.
Tidak, tidak, tidak.
Tapi, setelah dipikir-pikir, kenapa tidak? Toh tidak
ada yang tidak mungkin di dunia ini, kan?
Mungkin saja—dan, yah, ini sekedar kemungkinan—dia
telah mengetahui bahwa aku telah lepas kontak dari dia. Lalu tanpa diduga-duga, dengan blak-blakan ia menyatakan pe...
hei, itu dia!
Kemeja flanel biru-hitam dengan bawahan berupa rok
span hitam dipadu-padankan dengan jilbab berwarna serupa yang dibalut sederhana
(tidak dibelit kesana-kemari dengan gaya yang menurutku: buat apa coba?). Tubuh tingginya langsing bak model, berjalan ke
arah meja tempatku berada dengan bunyi heels
mengetuk pelan. Bibirnya yang dipoles dengan warna merah muda tersenyum saat
aku menyadari kedatangannya. Dia cantik, tapi di mataku, dia tentunya lebih cantik lagi.
Sedikit lucu jika dicermati, kebanyakan perempuan
seperti mereka berdua memiliki lingkaran pertemanan berisikan
perempuan-perempuan yang hampir sama rupawannya dengan mereka. Ada tiga orang
lagi dalam lingkaran pertemanan mereka yang, ya, boleh dikatakan cantik di atas
rata-rata. Baiklah, mungkin memang tidak semua yang seperti itu. Banyak juga
perempuan dengan kecantikan di atas rata-rata yang teman-temannya biasa saja.
Aku tidak ingin mengatakan bahwa beberapa perempuan yang memiliki kecantikan
lebih (semua perempuan, kan, cantik. Beberapa di antaranya ada yang sedikit lebih cantik dari yang lain)
seperti mereka hanya mau berteman dengan yang sama-sama cantik saja, tapi
sebagian memang ada yang seperti itu. Mereka berdua, yang kutahu, tidak seperti
itu.
Perempuan-perempuan seperti mereka hanya sedikit insecure. Tidak nyaman dengan kondisi
sekitarnya. Dan ketika mereka menyadari bahwa ada rekanan sesama orang-orang insecure tadi, mereka menjalin
pertemanan. Kebetulan saja, orang-orang senasib mereka ini adalah yang juga
memiliki kecantikan berlebih seperti
mereka. Perempuan-perempuan seperti mereka menciptakan sebuah lingkaran untouchable. Lingkaran tak tersentuh,
tak terjangkau.
Sekarang, temannya
sedang duduk di depanku. Meminta maaf atas keterlambatan dan kelalaiannya yang
tak mengabariku bahwa dia akan terlambat. Ahh, benar juga. Bukankah aku punya
kontaknya, kenapa tidak kuhubungi saja ketika menit-menit awal
keterlambatannya? Pasti ini karena aku terlalu tegang menunggu. Menunggu sesuatu yang ingin dibicarakannya. Aku
memasukkan kembali bukuku ke dalam ransel. Berfokus kepada perempuan di depan
yang jadi alasanku berada di sini.
Dia diam sejenak. Menatap ke arahku seolah tengah
menimbang-nimbang kata apa yang akan digunakannya pertama kali untuk memulai
percakapan. Kubalas tatapannya, mencoba mengira-ngira kembali apa yang tengah
dipikirkannya. Well, perempuan kadang
bagai sebuah buku. Ada buku yang mudah dibaca, ada yang sulit—bukan tidak
bisa—dibaca. Semua bisa dipahami, tinggal lelaki mau membacanya atau tidak.
Dari kaca mataku, dia tipe buku yang mudah dibaca. Sikapnya supel, mudah
berteman, tapi seperti kebanyakan perempuan dengan kecantikan berlebih, dia insecure. Seandainya saja membaca dia semudah membaca temannya ini.
Dia
bagai buku dengan plot twist di tiap paragrafnya. Setiap
kukira aku tahu jalan ceritanya, paragraf selanjutnya mematahkan semua praduga.
Dia tak tertebak. Membacanya memaksa
kepalaku yang bodoh ini bekerja lebih keras menafsirkan setiap gerak-gerik
lakunya. Dia terlampau tenang. Lautan
tanpa angin apalagi gelombang. Aku tak bisa memprediksi adakah dia memiliki badai yang tiba-tiba
menenggelamkanku sebab ternyata aku sudah karam lebih dahulu. Kandasnya
hubungan pelik yang kami jalani justru berawal dari direngkuhnya aku kembali
setelah benar-benar putus kontak berbulan-bulan sebelumnya. Belum sempat
kugapai, dia kembali pergi. Kali ini benar-benar tanpa penjelasan.
“Mmmm kamu lagi dekat dengan siapa sekarang?”
Kutarik napas pelan. Kali ini kegusaranku bertambah
sedikit. Sedikit saja sih tapi tetap saja ini gusar namanya. Mempertanyakan ada-tidaknya kedekatanku dengan lawan jenis setiba-tiba ini jelas bukanlah apa yang kubayangkan akan
ditanyakan olehnya tadi.
“Gak ada,” jawabku “kenapa memangnya?”
Kali ini giliran dia yang menghembuskan napas pelan.
Dari gelagatnya, dapat kuperkirakan jawabanku sesuai dengan yang ingin dia
dengar. Ada jeda cukup lama sebelum dia menjawab pertanyaanku.
“Aku mulai dari mana ya..”
“Bisa dengan sesuatu
yang kemarin kamu bilang mau bicarain empat mata sama aku,” potongku cepat.
“Oke,” katanya “eee kalau aku boleh tahu, kamu udah
berapa lama lost contact sama....”
Telingaku rupanya tak cukup siap mendengar namanya lagi. Seolah hatiku kembali patah
hanya dengan mendengar namanya
kembali. Aku tak tahu kenapa. After all
this time, dy. After all this time....
Dulu saat sahabatku yang seorang dokter bertanya tentang
dia, aku kehilangan kemampuanku
berkata-kata. Sebatas menjawab pertanyaan dengan anggukan dan gelengan. Aku
bahkan tak yakin dengan jawabanku saat itu, yang aku tahu, aku hanya tak cukup
sanggup mengingatnya lagi.
Tanpa tanda-tanda apalagi tanda baca, aku tak sempat
menduga kehadirannya kembali beberapa
bulan lalu rupanya memberi tanda yang tak ingin kubaca. Aku membaca titik yang
dituliskannya sebagai bukti
berakhirnya sebuah kalimat: berakhirnya hubungan kami yang aneh teramat sangat.
Benar-benar plot twist sempurna. Aku
bahkan tak sempat menduga begitu cepatnya cerita ini mesti terhenti.
“Aku tak terlalu ingat, tapi yang pastinya udah
cukup lama.”
Dia merubah raut wajahnya, wajah simpati. Seolah
yakin dan paham benar tentang apa yang kurasakan.
“Kamu masih sayang sama dia ya?”
“Aku gak cukup tertarik buat bahas soal dia,” balasku “kalau sesuatu yang kamu maksud soal dia, aku rasa perbincangan kita berakhir
sampai di sini aja.”
Aku berdiri. Beranjak dari tempatku untuk segera
pergi meninggalkannya. Mungkin ini bukan sikap yang baik, tapi memaksakan diri
membicarakan sesuatu yang tak aku
inginkan bukanlah gayaku. Lebih baik aku pergi, menghindari pembicaraan tentang
dia. Waktuku terbuang percuma di
sini.
Aku melangkah pergi, tanpa berpamitan kepadanya.
Sambil berjalan, kubayangkan sepulang dari sini aku kecelakaan lalu kehilangan
ingatan. Kemudian aku tak mengingat apapun lagi tentangnya, tidak akan ada yang bisa menggangguku jika bertanya soal dia lagi.
Mungkin itu plot
twist yang bagus untuk kisah hidupku.
Tapi kenyataan kadang terlalu menyebalkan.
Plot
twist sebenarnya kini berada
di hadapanku. Memegang nampan berisikan kentang goreng dan dua gelas cola:
Dia.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Daftar Episode:
#1
#2
#4
#5
#6
#7
#8
#9
"Ide itu ada, ide itu ada. Tinggal kita mau menuliskannya apa tidak."
Hai gaes, selamat datang di episode ke-3 dari WB. Sebuah curcolan gaje antara fakta apa fiksi seorang amatir :v
As always, makasih banget buat kalian yang udah meluangkan waktunya buat baca tulisan aku kali ini. Kritik, saran dan review dengan suka rela dan kerendahan hati kuterima setiap saat. Jadi, jangan sungkan buat ninggalin pesan di kolom komentar ya. Btw, komen di sini gratis kok, gak bayar :D
Dah ah, singkat aja. See u next time, guys!
Komentar
Posting Komentar