Sudah
berkali-kali aku mengetuk pintu sambil terus mengucap salam namun tak ada
sahutan dari dalam. Pintu rumahku terkunci dan aku tidak membawa kunci sama
sekali. Seharusnya aku sudah mengira ini akan terjadi. Bapak tidak ada di
rumah.
sumber: pixabay |
Selepas
salat isya tadi, pak Ustaz bertanya apakah aku akan pergi menonton dangdutan di
lapangan desa. Aku menjawab dengan menggelengkan kepala. Aku bahkan tidak tahu
kalau ada acara dangdutan malam ini. Untuk perayaan tujuh belasan, kata beliau
lagi. Entah apa korelasi dangdutan dengan peringatan kemerdekaan negara.
Upacara tujuh belasan sendiri masih seminggu lagi dari sekarang.
“Ya,
inilah lagi, kan, hiburan di desa kita.”
Aku
mestinya tahu kalau bapak pasti akan pergi. Bukan karena beliau suka dangdut, tetapi
karena beliau ingin aku juga menonton di sana. Untuk so-si-a-li-sa-si.
Sudah
dua bulan masa libur semester kuhabiskan dengan membantu Bapak di kebun. Malam
harinya rutinitasku masih sama yaitu mengajar anak-anak mengaji di surau.
Selain itu, karena sedang musim pacu jalur, aku selalu melarikan diri ke kuantan agar tak diceramahi terus oleh
Bapak yang menghendaki aku pergi menonton pacu.
Bapak
tidak mungkin membiarkan aku berada di rumah saat ada acara semacam ini.
Ketimbang
menunggu di sini sampai bapak pulang—yang pastinya aku bakal kena ceramahi
lagi—lebih baik aku mengungsi ke surau. Aku akan pulang sebelum tengah malam
nanti. Mudahan saja bapak sudah pulang juga saat itu.
Di
jalan, aku baru memperhatikan baik-baik ada suara musik dari arah lapangan.
Beberapa orang tetangga kulihat pergi bersama seluruh anggota keluarganya.
Seperti kata pak Ustaz, hanya ini hiburan yang ada di desa kami. Tidak
benar-benar hanya sih. Ada randai juga. Tetapi keduanya sama-sama
jarang digelar, sehingga begitu muncul jadi hiburan wajib bagi masyarakat. Mulai
dari anak kecil sampai orang tua akan datang dari segala penjuru desa, bahkan ada
juga yang datang dari desa tetangga. Baik yang memang suka dangdut maupun
tidak.
Keterbatasan
pilihan kadang memaksa kita mengambil pilihan yang ada.
Kuliah
di kota tidak membuat aku lebih suka hiburan di kota. Aku sendiri tidak
mengerti apa sesungguhnya definisi dari hiburan. Apakah melihat orang bernyanyi
di panggung bisa membuat orang benar-benar terhibur? Apakah berjoget di
diskotik akan membuat orang benar-benar terhibur? Apakah melihat ribut-ribut di
media sosial karena pemilu akan membuat orang benar-benar terhibur?
***
“Bang
Adi,” panggilnya. Aku memalingkan wajah ke arahnya dan mendapati Erza dan
neneknya di teras.
“Adi
mau pergi ke lapangan? Temani Erza ya, Nak. Nenek masuk angin. Mau istirahat di
rumah.”
Harusnya
aku menggeleng seperti biasa dan mengatakan kalau aku sebenarnya mau ke surau
menunggu Bapak pulang. Tetapi tidak kulakukan. Erza sudah berjalan ke arahku.
Tidak peduli bahwa aku belum memberikan jawaban dari pertanyaan neneknya.
“Pecinya
tinggal di sini aja dulu ya, Bang.” Kata Erza. Tangannya sudah menggapai peci
di kepalaku seraya berjalan kembali ke teras dan meletakkannya di meja. Aku
bahkan lupa kalau aku masih mengenakan peci. Kalau dipikir-pikir lagi, untung
saja malam ini aku memakai celana kain alih-alih kain sarung saat ke surau. Jadi
dengan melepas peci, aku tidak salah-salah kostum amat.
Erza
menyalami neneknya lalu keluar lagi dari pekarangan.
“Kami
pergi dulu ya, Nek,”
“Hati-hati
ya. Jangan pulang terlalu malam.”
Setelah
aku kuliah di kota, hubunganku dengan Erza bisa dikatakan semakin dekat. Atau
ya, begitulah kira-kira. Kami sering berbalas pesan hingga larut malam. Sesuatu
yang bahkan tidak pernah kami lakukan saat aku masih sekolah dulu. Aku lebih
senang mengetik pesan ketimbang bicara, maka dari itu obrolan kami selalu
lancar selama ini. Sesekali Erza mengajak teleponan. Walau kemudian aku jadi
lebih pasif, Erza tetap terus bicara banyak hal dan aku selalu senang mendengar
suaranya.
Perihal
status kami? Aku dan Erza tidak berpacaran. Yah, kalian tahu sendiri, Erza
tidak dibolehkan pacaran oleh orang tuanya. Erza sendiri mengaku sudah ditembak
oleh beberapa lelaki dan semua lelaki itu ditolaknya. Belum ada satu laki-laki
pun yang mampu menaklukkan hati sang kembang desa.
Erza
memang cinta pertamaku—dan mungkin cinta pertama bagi banyak lelaki juga—tetapi
aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan hubungan kami. Aku belum pernah
berpacaran sebelumnya dan pengetahuanku nihil soal asmara. Aku juga tidak tahu
apakah Erza menyukaiku. Jadi kupikir, biarkan sajalah seperti ini. Toh, selagi
Erza belum memiliki pacar, aku masih terhindar dari kemungkinan patah hati.
***
Rumah-rumah
di desa tidak berdekatan seperti di kota dan tidak setiap jalan pula yang
memiliki penerangan. Kadang hanya ada pepohonan dan semak belukar di sisi
jalan. Wajar rasanya kalau nenek Erza memintaku untuk menemani cucunya ini.
Bukan tindakan bijak membiarkan seorang anak gadis pergi malam hari sendirian.
Erza
bilang dia sudah mengirim pesan kepadaku sebelumya untuk mengajak pergi bersama
tetapi aku tidak membalas bahkan membaca pesannya sama sekali. Kujelaskan bahwa
ketika berangkat salat magrib tadi aku tidak membawa ponsel dan saat pulang
rumahku juga terkunci. Erza bilang, tidak apa-apa. Walau sedikit gelap, aku
bisa melihat senyumnya yang selalu berhasil membuatku meleleh.
Suara
musik dari arah lapangan semakin jelas terdengar, yang itu berarti jarak kami
sudah dekat. Di sekitar, terlihat beberapa anak sekolahan yang berkumpul di
sudut-sudut remang. Ada yang diam-diam merokok, bergosip, pacaran, dan ada juga
yang mungkin baru pendekatan. Acara seperti ini menjadi kesempatan emas bagi
sebagian remaja pingitan yang memiliki orang tua kelewat protektif untuk keluar
rumah saat malam hari. Apalagi, malam ini malam minggu pula. Jelas berkebalikan
dari aku yang justru ingin berdiam diri di rumah. Namun malam ini aku tidak
ingin berada di rumah. Malam ini aku ingin bersama Erza.
Tiba
di lapangan, kami memilih duduk di dekat bawah pohon ketapang tak jauh dari
panggung yang kini tengah dikerumuni beberapa warga yang sedang berjoget. Aku
tidak ingin berjoget, begitu pula dengan Erza. Kami lebih memillih memperhatikan
orang lain yang berjoget.
Tepat saat pergantian lagu, perutku mendadak berbunyi keras. Kelaparan. Aku baru ingat kalau aku belum makan malam. Kenapa perutku harus berbunyi di saat seperti ini?
“Abang
belum makan ya?” tanya Erza, setengah berteriak karena suara musik kembali
bergemuruh.
“Beli
jajan yuk, buat ganjal perut. Erza juga belum makan.”
“Abang
gak bawa dompet.” Tidak bawa kunci rumah, ponsel, dompet, dan sedang kelaparan.
Nyaris sempurna menyedihkannya jika tidak ada Erza sekarang.
“Erza
yang traktir tapi besok gantian abang yang traktir Erza ya.”
Aku
mengikuti Erza berjalan ke ibu-ibu yang berjualan di tepi lapangan. Tempat
orang banyak berkumpul adalah tempat yang tepat untuk berjualan. Prinsip orang
Indonesia sekali ini. Ada banyak pedagang yang berjualan makanan dan minuman di
sini. Ada lebih banyak lagi mata yang memandang ke arah kami dengan tatapan
kurang menyenangkan. Pasti penggemar Erza. Aku tidak terlalu peduli juga sih.
Erza
masih memilih jajanan yang ingin dibeli. Abang
minum aja, kataku ketika ditawari makanan. Kurasa Erza juga menyadari ada
beberapa orang yang memperhatikan gerak-gerik kami. Tampak mulai gelisah dengan
tatapan-tatapan mereka. Setelah menerima uang kembalian, kami langsung balik ke
tempat kami duduk sebelumnya.
Aku
jadi tidak tahu mana yang harus kuperhatikan. Erza mengajakku berbicara
sementara suara musik dari panggung terlampau keras yang membuatnya menggeser
posisi duduk semakin mendekat ke arahku. Aroma parfumnya semakin tercium oleh
hidungku. Jujur, aku bingung harus melakukan apa sekarang. Apakah menonton
dangdutan harus betul-betul menonton atau boleh mengobrol seperti yang kami
lakukan sekarang. Jika boleh mengobrol, lalu kenapa harus di tempat yang riuh seperti
ini?
“Bang.”
“Ya?”
“Abang
kenapa sampai sekarang belum punya pacar?”
Pertanyaan
yang membingungkan. Secara harfiah, pacar sebenarnya adalah inai. Dari yang
pernah kubaca, tradisi menggunakan inai atau pacar di kuku dilakukan malam hari
sebelum acara pernikahan. Makna pacar kemudian meluas menjadi orang yang
dikasihi, tidak melulu berarti orang yang akan dinikahi. Sedikit ironis memang
peluasan maknanya. Aku tidak mungkin menjelaskan ini ke Erza karena dia pasti jadi
lebih bingung daripada aku.
“Belum
tertarik.”
“Halah
gaya aja abang ni. Orang kuliahan pasti banyak yang cantik-cantik.”
“Cantik
kalau gak mau sama abang ya percuma juga.”
Erza
tersenyum, lagi.
Sambil
meminum teh botol yang dibelikan Erza tadi, aku menoleh ke salah satu orang
yang memelototi kami. Kalau aku tidak salah ingat, dia satu angkatan dengan
Erza tapi beda kelas. Dia langsung buru-buru membuang muka ketika tahu aku melihat
ke arahnya.
Aku
tak lagi memusingkan apakah harus menyaksikan biduan yang bernyanyi di panggung
atau tidak. Hiburan yang aku punya saat ini sebenarnya adalah kehadiran Erza.
Malam ini aku bisa berbicara lebih banyak dari biasanya, meski masih sedikit kaku.
Kami terus mengobrol banyak hal. Tak lagi memedulikan biduan di panggung yang
goyangannya semakin panas apalagi tatapan dari para penggemar Erza.
Sebagian
penonton tampak mulai berangsur pulang termasuk para pedagang. Kuperhatikan,
rata-rata yang pulang adalah orang yang membawa anaknya. Kutanya Erza sudah jam
berapa sekarang. Hampir setengah sebelas katanya saat melihat ke ponsel.
“Pulang
sekarang?” tanyaku. Sebenarnya, aku belum ingin pulang. Lebih tepatnya, aku
belum ingin berpisah dari Erza. Tetapi neneknya tadi sudah berpesan agar tidak
pulang larut malam. Erza terlihat berpikir sejenak sebelum kemudian menggangguk
menyetujui. Kami pun beranjak dari lapangan.
Tak
banyak penonton lain yang pulang searah dengan kami. Tiga sepeda motor melewati
kami sebelum tinggal kami berdua di jalan yang kami lalui. Semakin malam sinar
bulan di atas jadi lebih terang. Membantu pencahayaan di jalan yang tidak
memiliki lampu penerangan. Tetapi tidak lama. Di rimbun pohon karet, cahaya
bulan terhalangi sebagian. Membuat jalan yang kami lewati kembali remang. Erza
menyalakan senter lewat ponselnya untuk menerangi jalan.
Karena
terlalu fokus dengan jalan, kami terkagetkan oleh seekor anjing liar yang
tiba-tiba melintas di samping. Erza refleks memeluk lengan kiriku. Aku jadi dua
kali kaget. Kaget yang kedua ini dua kali lipat lebih mengagetkannya.
“Eh,
abang takut ya?”
“Ha?”
“Jantung
abang suaranya kencang kali sampai kedengaran.”
Aku
mungkin harus menjelaskan ke Erza bahwa peningkatan debaran jantung itu tak
selalu berarti takut. Hal itu bisa disebabkan juga karena berolahraga, kaget,
atau karena dikagetkan oleh orang yang disukai. Tetapi aku lagi-lagi tidak menjelaskan
apa-apa karena pasti Erza jadi pusing.
Wajahku
terasa panas dan kurasa warnanya memerah saat ini. Untung saja sekarang kami
berada di tempat yang remang sehingga perubahan warna pada wajahku tidak jadi
bahan pertanyaan lagi oleh Erza.
Aku
memutuskan untuk tak mengatakan apa-apa dan melanjutkan perjalanan. Erza pun
tanpa bertanya lebih lanjut mengikuti langkahku dengan posisi tangan masih
memeluk lengan kiriku.
Eh?
Sambil
tetap berjalan, aku menoleh ke arah Erza. Kebingungan.
“Erza
takut.” Katanya.
Aku
harap, wajahku tak lagi memerah sampai kami tiba di rumah neneknya.
***
Sampai
di rumah, aku memutar gagang pintu. Tidak terkunci. Berarti Bapak sudah pulang.
Aku lantas masuk dan langsung mengunci pintu. Di depan kamarku, Bapak sedang
berdiri mengamati wajahku lekat-lekat. Seperti seorang polisi yang sedang menginterogasi
kriminal. Tangan kirinya mengusap kumis lebatnya yang hitam berkilat-kilat.
“Kau
rupanya pintar juga milih cewek ya,” kata Bapak sembari menepuk pundak kiriku.
Sekilas, aku melihat Bapak tersenyum sebelum beranjak ke kamarnya
Aku
tidak tahu harus berapa kali aku dibuat kebingungan malam ini.
Di
dalam kamar, aku segera mengecek ponselku. Beberapa pesan masuk dari Erza. Yang
terbaru, dikirimkan lima menit yang lalu.
“Terima
kasih untuk malam ini :*”
.
.
.
.
.
Catatan:
Kuantan: sungai; sungai kuantan
Randai: seni pertunjukan dari
daerah Sumatera barat dan kabupaten Kuansing (Kuantan Singingi). Randai dari
kuansing disebut randai kuantan. Untuk informasi lebih lanjut klik di sinen.
Cerita kali ini merupakan sempalan (spin-off) dari cerpen yang berjudul Puisi yang kutulis setahun yang lalu.
Komentar
Posting Komentar