Assalamu`alaikum wr wb
Selamat pagi kesiangan:)
Selamat pagi kesiangan:)
Sumber: Unsplash |
Pagi
hari sebelum berangkat tidur, kamu menelepon. Tumben, kataku. Kangen, balasmu.
Di luar langit mendung dan angin sedang menggebu-gebunya. Sepertinya akan
hujan. Setelah menyampaikan laporan harian dan rencana kegiatan hari ini, aku
menutup sambungan telepon. Kamu harus segera melanjutkan pekerjaanmu di sana
sementara aku juga harus segera tidur.
Rutinitas
harian sepasang kekasih adalah berbagi kabar. Kalau berbagi bersama itu slogan
restoran pizza. Jarak jauh membuat kita sulit menjangkau satu sama lain dan hal
itu rasanya menyiksa. Tidak mengetahui kabar yang terkasih itu bikin tersiksa.
Kita, sebagaimana manusia lain—kecuali orang-orang masokhis, tidak menyukai hal-hal yang menyiksa. Meski
begitu, aku tak membenci jarak. Bencilah
perbuatannya, bukan orangnya, kata kalimat yang kubaca di Instagram. Tidak
tahu siapa penulisnya tapi keren juga. Aku tak pernah membenci jarak. Yang
kubenci adalah kenyataan bahwa jarak menjauhkan kita berdua.
Aku
ingat sekali. Dulu, sebelum dipisah jarak, kamu pernah bilang seperti ini “Kepala
manusia itu bermuatan negatif, sementara bahu bermuatan positif.” Sebuah teori
pembenaran bagimu untuk menyandarkan kepala ke bahuku. Melihatmu nyaman dalam
posisi itu membuatku penasaran melakukannya. Ketika aku mencoba menyandarkan
kepala ke bahumu, kamu malah mengeluh beraaaat.
Sempat
kepikiran untuk iseng membalas dengan reaksi serupa kalau-kalau kamu
menyadarkan kepala ke bahuku lagi. Namun rencana itu urung kulakukan karena
teringat semua perempuan sensitif tentang berat.
Sekarang,
bahuku rasanya jadi ikutan negatif sejak absen lama sekali disandari oleh
kepalamu.
Jam
dua belas siang aku sudah bangun tidur terus mandi tidak lupa menggosok gigi. Baru keluar kamar mandi, masih pakai handuk,
kamu menelepon lagi.
“Sudah
bangun?” Tanyamu.
“Belum.”
Jawabku.
“Firasat
aku hari ini gak enak,” katamu lagi “Di sana hujan?”
“Mendung
doang. Di sana?”
“Hujan.
Deras malahan.”
Yah,
begitulah. Hujan deras bikin cemas. Kekasih cemas bikin gemas. Padahal, sudah
jelas. Hujan deras seharusnya tidak bikin cemas, tetapi bikin mie rebus. Pakai
telur biar lebih mantap.
“Dingin
gak?” tanyaku, mempersiapkan rayuan.
“Aku
bawa jaket kok.” Huh, rencanaku sudah terendus. “Hati-hati aja ya buat hari
ini. Jangan bikin khawatir.”
“Bikin
kangen boleh?”
“Kan,
memang sudah kangen.”
Iya
juga ya.
Seorang
temanku yang ahli filsafat kejomloan pernah berdalil “Selagi bukan dia yang kalian lihat pertama kali saat bangun dan bukan
dia yang kalian lihat terakhir kali sebelum tidur, kalian semua jomlo!”
Secara gamblang, sebenarnya temanku itu ingin bilang bahwa semua orang yang
belum menikah adalah jomlo. Dia belum tahu saja bahwa hubungan kita lebih rumit
dari fatwanya. Setiap hari, kamu selalu jadi orang pertama yang kulihat setelah
tidur sekaligus orang terakhir yang kulihat sebelum bangun.
Pusing,
gak?
Lebay
sih aslinya memang. Toh, sebelum dipisah lautan ratusan kilometer seperti
sekarang kita sebelumnya memang tak tidur seranjang, yang merujuk pada dalil
temanku tadi, kita sebenarnya adalah jomlo. Dengan dalih meraih impian dan
cita-cita, aku pergi meninggalkanmu di kota yang menyimpan kenangan tentang kita
di tiap sudutnya. Menegarkan hati walau saling berjauhan. Tetap teguh dalam
penantian.
Sekali
waktu saat sedang rindu-rindunya, kamu pernah berkelakar “Aku rasanya pengin
berenang ke kotamu. . .tapi takut tenggelam terus kamu jadi sedih,” katamu
memodifikasi lirik lagu Jamrud.
“Satu-satunya
tempat kamu akan tenggelam adalah di dadaku,” balasku menggombal.
“Bacooooot.”
Balasmu setelah itu.
***
Hujan
akhirnya mengguyur kotaku sejak petang tadi. Aku sudah masak mie rebus. Pakai
telur, meski mahal. Sehabis isya, aku menyalakan pemanas air di dispenser untuk
menyeduh kopi. 80% dari tubuh manusia—pada umumnya—adalah air, sisanya
penyesalan. Sedangkan tubuhku 80% air, 18% kangen, dan 2% kafein.
Chatku
di Line belum dibalas, dendam nyi pelet juga belum. Sambil rebahan, kutekan
tombol panggil.
Halo halo kartu lahoooo
Waktu
masih pdkt dulu, aku sering suuzon kalau muncul nada tunggu semacam ini ketika
menelepon. Pikirku, kamu sedang teleponan dengan gebetanmu yang lain. Praduga
itu akhirnya lenyap setelah kamu menjelaskan bahwa kamu sebenarnya menelepon
keluargamu.
Kumatikan
telepon terus menyeduh kopi. Baru beberapa kali aduk, hapeku berbunyi. Sebentar
banget. Missed call doang nih pasti.
Ehh, miss bisa berarti rindu. Call artinya panggilan. Missed call berarti panggilan rindu kali ya.
Kutelepon
balik, dua kali nada tutut yang biasa, kamu terhubung.
“Tumben
nih teleponan tiga kali sehari kayak minum obat,” katamu memulai percakapan
setelah salam.
Dalam
hati aku menggumam, kalau lima kali sehari itu salat fardu.
“Maaf.
Soalnya tadi di pos ronda depan ada tulisan Kekasih
Wajib Lapor 3 x 24 jam. ”
“Kan,
lapornya ke Pak RT.”
“Papa
kamu, kan, Pak RT.”
Kopiku
mulai dingin. Hujan masih deras. Kami tetap asyik kangen-kangenan di telepon.
Ayee ayee
Ayee ayee
Komentar
Posting Komentar