Writer`s Block #10

Assalamu`alaikum wr wb.
Selamat pagi kesiangan :D






Seharusnya, selepas salat isya tadi Clara langsung melaksanakan ritual perawatan sebelum tidurnya yang sebulan belakangan sudah jarang sekali dia kerjakan. Jarang-jarang sekali Clara memiliki waktu untuk memanjakan dirinya sendiri seperti malam ini. Kesempatan langka malam ini terpaksa ditunda dahulu lantaran sebuah pesan masuk di Line-nya.

Di rumah, kan? Saya sudah di depan pagar.

Di semua waktu yang ada kenapa harus malam ini lelaki itu datang, batinnya.

Jangan masuk dulu sebelum aku panggil, balasnya.

Clara lalu mengenakan jilbab instan merah muda miliknya setelah melepas mukena. Alakadarnya saja. Dari kamarnya di lantai dua, dia berjalan ke arah dapur. Mengambil sebotol air dari kulkas dan dua buah gelas lalu berjalan lagi menuju ke pintu depan. Baru sampai ruang keluarga, Mamanya yang sedang menonton tv memanggil.

“Mau bawa ke mana gelasnya, Dek?” tanya Mamanya.

“Ke depan, Ma. Teman Adek datang.”

“Loh, kapan datangnya? Kenapa gak disuruh masuk aja?”

“Teman cowok, Ma. Ya kalik ah Adek suruh masuk.”

“Teman apa teman?” tanya Mamanya menggoda. Baru pertama kali putri bungsunya menerima tamu laki-laki, malam hari pula. “Tumben ada teman cowok yang datang.” Kata Mamanya lagi dengan sedikit tekanan pada kata teman.

“Beneran teman, Ma. Udah ah, Adek ke depan dulu ya,” katanya sambil berlalu meninggalkan Mamanya.

Tiba di pintu depan, Clara meletakkan botol beserta dua gelas tadi di atas meja yang terletak di teras. Diambilnya ponsel dari saku piyama, mengetik pesan menyuruh tamunya untuk masuk. Jarak antara gerbang pagar depan dengan terasnya sekitar sepuluh meter. Beberapa detik kemudian sang tamu sudah menampakkan wujudnya yang tengah berjalan mendekat.

“Saya gak ganggu jadwal perawatan malam kamu, kan?” tanya si tamu.

Clara tak menjawab. Hanya memutar matanya dengan ekspresi kesal. Sudah tahu ganggu, masih nanya aja ni orang.

“Duduk,” perintah Clara. Datar. Tampak jelas dia tak cukup antusias dengan kehadiran lelaki yang jadi tamunya malam ini.

“Saya rasa,” kata si lelaki “kamu lebih baik masuk ke dalam dulu sebentar untuk menjelaskan ke Mama kamu kalau saya bukan lelaki mesum yang akan melakukan hal yang aneh-aneh ke kamu.”

Clara menaikkan alis. Sedikit kesal dan bingung sebenarnya, tapi akhirnya dia berjalan ke arah pintu dan mendapati Mamanya ada di balik sana. Mamanya yang tertangkap basah tengah berusaha menguping buru-buru mengklarifikasi.

“Mama cuma pengin liat aja teman adek tu, kayaknya dia anak baik-baik deh.” Ucap Mamanya berusaha menjelaskan.

“Ma...”

“Iya iya. Mama gak ngintip lagi.”

Setelah memastikan Mamanya benar-benar kembali nonton tv di ruang keluarga, Clara kembali menemui si lelaki.

“Jadi, ada perlu apa sampe-sampe malam gini datang ke sini?” tanya Clara tanpa basa-basi.

“Saya butuh pendapat kedua,” jawab si lelaki “sebenarnya sih, ketiga. Tetapi istilah yang ada, kan, pendapat kedua.”

Kedua tapi sebenarnya ketiga. Clara dapat menebak siapa dua orang sebelumnya yang sudah ditanyai si lelaki sebelum ke sini.

“Pendapat kedua? Second opinion? Udah dibakukan emangnya di KBBI?”

“Setahu saya belum,” jawab si lelaki.

“Kenapa gak lewat Line aja?”

“Saya lebih suka berdiskusi tatap muka dibanding lewat dunia maya.”

“Hmm, oke. Mau diskusi soal apa emang?”

“Jadi, gini. Saya pikir, saya sedang jatuh cinta.” Kata si lelaki. Wajahnya datar saja, malah cenderung tegas. Biasanya, jika seseorang sudah membahas hal seperti ini—yang dapat dikategorikan curhat, sebenarnya—akan tampak ragu-ragu, grogi. Nyaris tak ada raut bingung sama sekali dari wajah si lelaki. Apa lelaki ini benar-benar berpikir kalau dia sedang jatuh cinta?

“Orang lain, normalnya bakal bilang rasa bukan pikir kalau bicara cinta. Tapi ya udah sih. Terus kenapa memang kalau kamu pikir kamu jatuh cinta?”

Si lelaki diam sebentar. Kali ini terlihat berpikir. Clara menuangkan air dari botol ke dalam dua gelas yang dibawanya, salah satunya disodorkan ke arah si lelaki.

“Apakah salah kalau saya jatuh cinta?” tanya si lelaki.

Kali ini, Clara yang diam sebentar dan berpikir. Pertanyaan macam apa itu?

“Saya takut,” kata si lelaki lagi “saya tak cukup pantas untuk mencintai seseorang.”

“Cewek tapi kan ini?” tanya Clara.

“Iya, cewek.”

“Kalau gitu gak salah dan gak masalah. Soal pantas apa enggaknya, mencintai atau dicintai sekalipun, semua orang pantas untuk itu.”

“Bahkan unttuk seseorang seperti saya?”

“Bahkan untuk seseorang seperti kamu,” jawab Clara meyakinkan.

“Bagaimana kalau saya tidak bisa jadi diri saya sendiri kalau saya benar-benar jatuh cinta?”

Ponsel di saku piyamanya bergetar. Clara mengeluarkan ponselnya dan mendapati sebuah pesan masuk:

Kalau gak kuat sama pertanyaannya, lambaikan tangan ke kamera ya, Ra

Gak kuat? Pertanyaan yang diajukan si lelaki itu sebenarnya sangat standar. Kalau dikategorikan, semacam pertanyaan dari remaja yang baru mulai puber. Wajar rasanya kalau kemudian si lelaki meminta pendapatnya juga setelah bertanya ke dua orang lainnya. Tentunya, dua orang sebelumnya termasuk si pengirim pesan tak cukup tertarik mendengarkan cerita si lelaki sehingga dapat dipastikan mereka hanya memberi masukan yang sama standarnya.

“Memangnya, konsep diri versi kamu itu seperti apa?” Clara balik bertanya.

“Menurut saya, konsep diri itu hal-hal yang biasa saya lakukan, hal-hal yang memang ada pada diri saya.”

“Kalau misalnya, kamu jadi diri kamu yang lebih baik dari biasanya, apa itu termasuk tidak jadi diri sendiri seperti yang kamu bilang?”

Pertanyaan retoris. Si lelaki tidak menjawab. Clara meminum air di gelasnya sedikit sebelum melanjutkan bicara.

“Dulu seseorang pernah bilang gini sama aku, orangnya kamu pasti kenal juga,” kata Clara.

“Iya, saya tahu orang yang kamu maksud.” Jawab si lelaki.

“Kata dia, sebagai seorang calon penulis, susah bagi kita buat benar-benar original. Gaya tulisan kita, sedikit banyak pasti terpengaruhi oleh tulisan-tulisan orang lain yang pernah kita baca. Gak mungkin enggak. Kayak gitu juga dengan kepribadian kita, dengan diri kita.”

“Hmm baiklah, terus?”

“Kepribadian kita, kan, dipengaruhi oleh orang-orang di sekitar. Dari berbagai macam karakter yang ada, kita pilah-pilih kan tu mana yang kita pikir cocok dengan pemikiran kita, dengan idealisme kita. Manusia adalah budak dari idealismenya sendiri. Idealismenya lah yang menentukan apa dan bagaimana jadinya diri kita.”

“Bukannya budak dari perasaannya? Dari yang pernah saya baca seperti itu.”

“Konsep perasaan itu adalah salah satu bagian dari idealisme.”

Si lelaki berusaha memahami kata-kata Clara. Dia masih sedikit bingung dengan penjelasan sebelumnya. Konsep diri. Orisinalitas. Idealisme. Perasaan.

”Jangan berusaha membekukan es.” Kata Clara lagi.

“Maksudnya?”

“Jangan berusaha terlalu keras untuk sesuatu yang sudah begitu adanya.”

“Saya masih belum mengerti.”

Clara tertawa. Dia menyadari kata-katanya sendiri memang terlalu rumit dan banyak kiasan. Si lelaki malah makin bingung melihat Clara tertawa.

“Pokoknya gini deh. Kamu jangan takut kalau kamu memang lagi jatuh cinta. Jangan takut kalau kamu gak jadi diri kamu sendiri. Yang mesti kamu pikirkan sekarang mestinya adalah tindakan kamu selanjutnya. Tanyakan pada diri kamu kenapa kamu jatuh cinta sama dia, apa yang membuat kamu jatuh cinta sama dia. Memang sih, banyak yang kehilangan diri mereka sendiri setelah menemukan cinta. Tapi itu karena mereka gak mengerti kenapa mereka jatuh cinta. Mereka kehilangan diri sendiri, gak menjadi diri mereka sendiri, karena gagal dalam memahami apa sebenarnya itu cinta.”

Kali ini si lelaki mengangguk. Clara tersenyum puas. Sepertinya selepas ini si lelaki tidak akan mencari pendapat kedua lainnya ke orang lain.

“Sekarang sudah ngerti, kan? Ada yang mau ditanyain lagi gak?"

“Iya. Kurang lebih. Dari kalimat kamu, saya pikir kamu sudah mau buru-buru perawatan ya?”

“Bahkan tanpa aku bilang pun kamu tahu benar apa yang aku pikirkan juga kan?” Clara membalikkan pertanyaan.

Si lelaki hanya membalas dengan senyuman. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, melihat jam di layar yang masih terkunci. Belum terlalu malam.

“Kamu gak mau menanya balik siapa perempuan yang membuat saya jatuh cinta?” tanya si lelaki lagi.

“Kami selalu tahu,” jawab Clara sembari menaikkan alis sebelah kanannya.

“Benar juga ya. Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih untuk waktunya malam ini.”

“Sama-sama,” balas Clara. Clara ikut berdiri dari kursinya mengikuti si lelaki. Ketika si lelaki sudah berjalan lima langkah darinya, Clara tiba-tiba memanggil lagi si lelaki.

“Shin,” panggil Clara. Si lelaki membalikkan badan. Menatap lekat-lekat ke arah Clara dengan wajah bingung.

“Jadi itu nama saya sekarang?”

“Yap. Dan mulai sekarang, panggil aku Kakak.” Kata Clara.

Si lelaki tersenyum. Shin. Nama yang bagus juga.

"Ada satu hal lagi yang mau kakak bilang. Apapun langkah kamu, jangan pernah menyesal pokoknya."

"Laki-laki yang tidak memiliki masa lalu tidak akan memiliki penyesalan, Kak." Balas Shin. "Saya pulang dulu ya.”

“Iya, hati-hati, Shin.”

Clara lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Malam ini akhirnya dia punya seorang adik.
.
.
.
.
.
Episode kesepuluh dari serial Writer's Block ini merupakan potongan terakhir dari semuanya. Tidak seperti serial sebelumnya yang tiap-tiap bagiannya saling berkaitan, di Writer's Block ini bisa dibilang tidak ada kaitannya antara satu bagian sama bagian lainnya. Urutan waktunya pun juga tidak runut sama sekali, karena, ya itu tadi; masing-masing bagian merupakan cerita terpisah. Kayak cerita doraemon atau sinchan gitu lah kira-kira.

Karena tidak ada keterkaitan antarbagian inilah yang menyebabkan di tiap bagian genrenya beda-beda. Dan jujur, aku gak terlalu ngerti sih, jenis genre dari beberapa bagiannya wkwkwk

Oiya, kalau teman-teman kebetulan berteman di medsos dengan aku, mungkin kalian akan menyadari bahwa aku hanya membagikan tautan untuk episode bernomor ganjil, sementara episode genap, termasuk episode ini, tidak dibagikan sama sekali. Maka sungguh luar biasa sekali kalian-kalian yang mampir ke sini tanpa diberi tautannya~

Ngomong-ngomong, di tiap episode pada bagian akhirnya sudah diberikan daftar tautan episode lainnya. Tetapi, episode kesepuluh ini belum dimasukkan. Nantilah kalau ingat bakal ditambahkan.

Oiya, di statistik, aku ada lihat sumber penayangan beberapa tulisan di blog ini berasal dari Fb. Kalau gak meleset itu infonya, berarti mungkin ada yang sudah membagikan tulisan tersebut di fb. Siapapun kalian, aku ucapkan terima kasih:)

Daftar Episode:
#1

#2
#3 
#4 
#5 
#6 
#7 
#8 
#9 

Komentar