Assalamu`alaikum wr wb.
Selamat pagi kesiangan :D
Di semua waktu yang ada kenapa harus malam ini lelaki itu datang, batinnya.
Selamat pagi kesiangan :D
Seharusnya,
selepas salat isya tadi Clara langsung melaksanakan ritual perawatan sebelum
tidurnya yang sebulan belakangan sudah jarang sekali dia kerjakan. Jarang-jarang
sekali Clara memiliki waktu untuk memanjakan dirinya sendiri seperti malam ini.
Kesempatan langka malam ini terpaksa ditunda dahulu lantaran sebuah pesan
masuk di Line-nya.
Di rumah, kan? Saya sudah di depan pagar.
Di semua waktu yang ada kenapa harus malam ini lelaki itu datang, batinnya.
Jangan masuk dulu sebelum aku panggil, balasnya.
Clara
lalu mengenakan jilbab instan merah muda miliknya setelah melepas mukena. Alakadarnya
saja. Dari kamarnya di lantai dua, dia berjalan ke arah dapur. Mengambil
sebotol air dari kulkas dan dua buah gelas lalu berjalan lagi menuju ke pintu
depan. Baru sampai ruang keluarga, Mamanya yang sedang menonton tv memanggil.
“Mau
bawa ke mana gelasnya, Dek?” tanya Mamanya.
“Ke
depan, Ma. Teman Adek datang.”
“Loh,
kapan datangnya? Kenapa gak disuruh masuk aja?”
“Teman
cowok, Ma. Ya kalik ah Adek suruh masuk.”
“Teman
apa teman?” tanya Mamanya menggoda. Baru pertama kali putri bungsunya menerima
tamu laki-laki, malam hari pula. “Tumben ada teman cowok yang datang.” Kata Mamanya lagi dengan sedikit tekanan
pada kata teman.
“Beneran
teman, Ma. Udah ah, Adek ke depan dulu ya,” katanya sambil berlalu meninggalkan
Mamanya.
Tiba
di pintu depan, Clara meletakkan botol beserta dua gelas tadi di atas meja yang
terletak di teras. Diambilnya ponsel dari saku piyama, mengetik pesan menyuruh
tamunya untuk masuk. Jarak antara gerbang pagar depan dengan terasnya sekitar
sepuluh meter. Beberapa detik kemudian sang tamu sudah menampakkan wujudnya
yang tengah berjalan mendekat.
“Saya
gak ganggu jadwal perawatan malam kamu, kan?” tanya si tamu.
Clara
tak menjawab. Hanya memutar matanya dengan ekspresi kesal. Sudah tahu ganggu, masih nanya aja ni orang.
“Duduk,”
perintah Clara. Datar. Tampak jelas dia tak cukup antusias dengan kehadiran
lelaki yang jadi tamunya malam ini.
“Saya
rasa,” kata si lelaki “kamu lebih baik masuk ke dalam dulu sebentar untuk
menjelaskan ke Mama kamu kalau saya bukan lelaki mesum yang akan melakukan hal
yang aneh-aneh ke kamu.”
Clara
menaikkan alis. Sedikit kesal dan bingung sebenarnya, tapi akhirnya dia
berjalan ke arah pintu dan mendapati Mamanya ada di balik sana. Mamanya yang
tertangkap basah tengah berusaha menguping buru-buru mengklarifikasi.
“Mama
cuma pengin liat aja teman adek tu, kayaknya dia anak baik-baik deh.” Ucap
Mamanya berusaha menjelaskan.
“Ma...”
“Iya
iya. Mama gak ngintip lagi.”
Setelah
memastikan Mamanya benar-benar kembali nonton tv di ruang keluarga, Clara
kembali menemui si lelaki.
“Jadi,
ada perlu apa sampe-sampe malam gini datang ke sini?” tanya Clara tanpa
basa-basi.
“Saya
butuh pendapat kedua,” jawab si lelaki “sebenarnya sih, ketiga. Tetapi istilah
yang ada, kan, pendapat kedua.”
Kedua
tapi sebenarnya ketiga. Clara dapat menebak siapa dua orang sebelumnya yang
sudah ditanyai si lelaki sebelum ke sini.
“Pendapat
kedua? Second opinion? Udah dibakukan emangnya di KBBI?”
“Setahu
saya belum,” jawab si lelaki.
“Kenapa
gak lewat Line aja?”
“Saya
lebih suka berdiskusi tatap muka dibanding lewat dunia maya.”
“Hmm,
oke. Mau diskusi soal apa emang?”
“Jadi,
gini. Saya pikir, saya sedang jatuh cinta.” Kata si lelaki. Wajahnya datar saja,
malah cenderung tegas. Biasanya, jika seseorang sudah membahas hal seperti
ini—yang dapat dikategorikan curhat, sebenarnya—akan tampak ragu-ragu, grogi.
Nyaris tak ada raut bingung sama sekali dari wajah si lelaki. Apa lelaki ini
benar-benar berpikir kalau dia sedang
jatuh cinta?
“Orang
lain, normalnya bakal bilang rasa
bukan pikir kalau bicara cinta. Tapi
ya udah sih. Terus kenapa memang kalau kamu pikir
kamu jatuh cinta?”
Si
lelaki diam sebentar. Kali ini terlihat berpikir.
Clara menuangkan air dari botol ke dalam dua gelas yang dibawanya, salah
satunya disodorkan ke arah si lelaki.
“Apakah
salah kalau saya jatuh cinta?” tanya si lelaki.
Kali
ini, Clara yang diam sebentar dan berpikir. Pertanyaan
macam apa itu?
“Saya
takut,” kata si lelaki lagi “saya tak cukup pantas untuk mencintai seseorang.”
“Cewek
tapi kan ini?” tanya Clara.
“Iya,
cewek.”
“Kalau
gitu gak salah dan gak masalah. Soal pantas apa enggaknya, mencintai atau
dicintai sekalipun, semua orang pantas untuk itu.”
“Bahkan
unttuk seseorang seperti saya?”
“Bahkan
untuk seseorang seperti kamu,” jawab Clara meyakinkan.
“Bagaimana
kalau saya tidak bisa jadi diri saya sendiri kalau saya benar-benar jatuh
cinta?”
Ponsel
di saku piyamanya bergetar. Clara mengeluarkan ponselnya dan mendapati sebuah
pesan masuk:
Kalau gak kuat sama pertanyaannya, lambaikan
tangan ke kamera ya, Ra
Gak
kuat? Pertanyaan yang diajukan si lelaki itu sebenarnya sangat standar. Kalau
dikategorikan, semacam pertanyaan dari remaja yang baru mulai puber. Wajar
rasanya kalau kemudian si lelaki meminta pendapatnya juga setelah bertanya ke
dua orang lainnya. Tentunya, dua orang sebelumnya termasuk si pengirim pesan
tak cukup tertarik mendengarkan cerita si lelaki sehingga dapat dipastikan
mereka hanya memberi masukan yang sama standarnya.
“Memangnya,
konsep diri versi kamu itu seperti apa?” Clara balik bertanya.
“Menurut
saya, konsep diri itu hal-hal yang biasa saya lakukan, hal-hal yang memang ada
pada diri saya.”
“Kalau
misalnya, kamu jadi diri kamu yang lebih baik dari biasanya, apa itu termasuk tidak jadi diri sendiri seperti yang
kamu bilang?”
Pertanyaan
retoris. Si lelaki tidak menjawab. Clara meminum air di gelasnya sedikit
sebelum melanjutkan bicara.
“Dulu
seseorang pernah bilang gini sama aku, orangnya kamu pasti kenal juga,” kata
Clara.
“Iya,
saya tahu orang yang kamu maksud.” Jawab si lelaki.
“Kata
dia, sebagai seorang calon penulis, susah bagi kita buat benar-benar original. Gaya tulisan kita, sedikit
banyak pasti terpengaruhi oleh tulisan-tulisan orang lain yang pernah kita
baca. Gak mungkin enggak. Kayak gitu juga dengan kepribadian kita, dengan diri kita.”
“Hmm
baiklah, terus?”
“Kepribadian
kita, kan, dipengaruhi oleh orang-orang di sekitar. Dari berbagai macam
karakter yang ada, kita pilah-pilih kan tu mana yang kita pikir cocok dengan
pemikiran kita, dengan idealisme kita. Manusia adalah budak dari idealismenya
sendiri. Idealismenya lah yang menentukan apa dan bagaimana jadinya diri kita.”
“Bukannya
budak dari perasaannya? Dari yang pernah saya baca seperti itu.”
“Konsep
perasaan itu adalah salah satu bagian
dari idealisme.”
Si
lelaki berusaha memahami kata-kata Clara. Dia masih sedikit bingung dengan
penjelasan sebelumnya. Konsep diri. Orisinalitas. Idealisme. Perasaan.
”Jangan
berusaha membekukan es.” Kata Clara lagi.
“Maksudnya?”
“Jangan
berusaha terlalu keras untuk sesuatu yang sudah begitu adanya.”
“Saya
masih belum mengerti.”
Clara
tertawa. Dia menyadari kata-katanya sendiri memang terlalu rumit dan banyak
kiasan. Si lelaki malah makin bingung melihat Clara tertawa.
“Pokoknya
gini deh. Kamu jangan takut kalau kamu memang lagi jatuh cinta. Jangan takut
kalau kamu gak jadi diri kamu sendiri. Yang mesti kamu pikirkan sekarang mestinya adalah tindakan kamu selanjutnya. Tanyakan pada diri kamu kenapa kamu jatuh cinta sama dia, apa
yang membuat kamu jatuh cinta sama dia. Memang sih, banyak yang kehilangan diri mereka sendiri setelah menemukan
cinta. Tapi itu karena mereka gak mengerti kenapa mereka jatuh cinta. Mereka
kehilangan diri sendiri, gak menjadi diri mereka sendiri, karena gagal dalam
memahami apa sebenarnya itu cinta.”
Kali
ini si lelaki mengangguk. Clara tersenyum puas. Sepertinya selepas ini si
lelaki tidak akan mencari pendapat kedua lainnya ke orang lain.
“Sekarang
sudah ngerti, kan? Ada yang mau ditanyain lagi gak?"
“Iya. Kurang lebih. Dari kalimat kamu, saya pikir kamu sudah mau buru-buru perawatan ya?”
“Bahkan
tanpa aku bilang pun kamu tahu benar apa yang aku pikirkan juga kan?” Clara
membalikkan pertanyaan.
Si
lelaki hanya membalas dengan senyuman. Dia mengeluarkan ponsel dari saku
celananya, melihat jam di layar yang masih terkunci. Belum terlalu malam.
“Kamu
gak mau menanya balik siapa perempuan yang membuat saya jatuh cinta?” tanya si
lelaki lagi.
“Kami
selalu tahu,” jawab Clara sembari menaikkan alis sebelah kanannya.
“Benar
juga ya. Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih untuk waktunya
malam ini.”
“Sama-sama,”
balas Clara. Clara ikut berdiri dari kursinya mengikuti si lelaki. Ketika si
lelaki sudah berjalan lima langkah darinya, Clara tiba-tiba memanggil lagi si
lelaki.
“Shin,”
panggil Clara. Si lelaki membalikkan badan. Menatap lekat-lekat ke arah Clara
dengan wajah bingung.
“Jadi
itu nama saya sekarang?”
“Yap.
Dan mulai sekarang, panggil aku Kakak.” Kata Clara.
Si
lelaki tersenyum. Shin. Nama yang bagus juga.
"Ada satu hal lagi yang mau kakak bilang. Apapun langkah kamu, jangan pernah menyesal pokoknya."
"Laki-laki yang tidak memiliki masa lalu tidak akan memiliki penyesalan, Kak." Balas Shin. "Saya pulang dulu ya.”
"Laki-laki yang tidak memiliki masa lalu tidak akan memiliki penyesalan, Kak." Balas Shin. "Saya pulang dulu ya.”
“Iya,
hati-hati, Shin.”
Clara lalu
berjalan masuk ke dalam rumah. Malam ini akhirnya dia punya seorang adik.
.
.
.
.
.
Episode kesepuluh dari serial Writer's Block ini merupakan potongan terakhir dari semuanya. Tidak seperti serial sebelumnya yang tiap-tiap bagiannya saling berkaitan, di Writer's Block ini bisa dibilang tidak ada kaitannya antara satu bagian sama bagian lainnya. Urutan waktunya pun juga tidak runut sama sekali, karena, ya itu tadi; masing-masing bagian merupakan cerita terpisah. Kayak cerita doraemon atau sinchan gitu lah kira-kira.
Karena tidak ada keterkaitan antarbagian inilah yang menyebabkan di tiap bagian genrenya beda-beda. Dan jujur, aku gak terlalu ngerti sih, jenis genre dari beberapa bagiannya wkwkwk
Oiya, kalau teman-teman kebetulan berteman di medsos dengan aku, mungkin kalian akan menyadari bahwa aku hanya membagikan tautan untuk episode bernomor ganjil, sementara episode genap, termasuk episode ini, tidak dibagikan sama sekali. Maka sungguh luar biasa sekali kalian-kalian yang mampir ke sini tanpa diberi tautannya~
Ngomong-ngomong, di tiap episode pada bagian akhirnya sudah diberikan daftar tautan episode lainnya. Tetapi, episode kesepuluh ini belum dimasukkan. Nantilah kalau ingat bakal ditambahkan.
Oiya, di statistik, aku ada lihat sumber penayangan beberapa tulisan di blog ini berasal dari Fb. Kalau gak meleset itu infonya, berarti mungkin ada yang sudah membagikan tulisan tersebut di fb. Siapapun kalian, aku ucapkan terima kasih:)
Daftar Episode:
#1
#2
#3
#4
#5
#6
#7
#8
#9
Episode kesepuluh dari serial Writer's Block ini merupakan potongan terakhir dari semuanya. Tidak seperti serial sebelumnya yang tiap-tiap bagiannya saling berkaitan, di Writer's Block ini bisa dibilang tidak ada kaitannya antara satu bagian sama bagian lainnya. Urutan waktunya pun juga tidak runut sama sekali, karena, ya itu tadi; masing-masing bagian merupakan cerita terpisah. Kayak cerita doraemon atau sinchan gitu lah kira-kira.
Karena tidak ada keterkaitan antarbagian inilah yang menyebabkan di tiap bagian genrenya beda-beda. Dan jujur, aku gak terlalu ngerti sih, jenis genre dari beberapa bagiannya wkwkwk
Oiya, kalau teman-teman kebetulan berteman di medsos dengan aku, mungkin kalian akan menyadari bahwa aku hanya membagikan tautan untuk episode bernomor ganjil, sementara episode genap, termasuk episode ini, tidak dibagikan sama sekali. Maka sungguh luar biasa sekali kalian-kalian yang mampir ke sini tanpa diberi tautannya~
Ngomong-ngomong, di tiap episode pada bagian akhirnya sudah diberikan daftar tautan episode lainnya. Tetapi, episode kesepuluh ini belum dimasukkan. Nantilah kalau ingat bakal ditambahkan.
Oiya, di statistik, aku ada lihat sumber penayangan beberapa tulisan di blog ini berasal dari Fb. Kalau gak meleset itu infonya, berarti mungkin ada yang sudah membagikan tulisan tersebut di fb. Siapapun kalian, aku ucapkan terima kasih:)
Daftar Episode:
#1
#2
#3
#4
#5
#6
#7
#8
#9
Komentar
Posting Komentar