Tahu Daredevil? Hero yang—gak
tahu apa termasuk super
atau bukan—buta itu mengalami kecelakaan saat masih kecil. Efek samping dari
kebutaannya tersebut ialah meningkatnya kemampuan indranya yang lain secara
drastis. Dengan kemampuan itulah kemudian ia jadi pahlawan yang
menyelamatkan kotanya.
Dengan tidak berfungsinya salah satu indra, indra
yang lain mestinya bisa difungsikan lebih maksimal. Hipotesisnya kurang lebih
seperti itu. Aku sendiri memiliki kebiasaan yang kurang lebih semacam mematikan salah
satu indra ketika sedang menulis. Bedanya, aku tidak benar-benar mematikan
salah satu indraku baik secara permanen atau sementara tetapi dengan mengurangi
fungsinya.
Aku pernah baca, kemampuan indra manusia itu seperti
segentong air dengan banyak keran. Jika semua keran dibuka, aliran air akan
sama derasnya. Sementara jika salah satu keran ditutup, keran-keran yang lain
akan mengalir lebih deras dibanding sebelumnya.
Saat menulis, aku mengenakan headset di kedua
telingaku dan menyetel musik hingga suara-suara di sekitar tidak kedengaran
lagi. Dengan begitu, telingaku hanya akan berfokus pada satu suara. Trik ini
bisa membuatku tetap fokus bahkan ketika menulis di tempat umum. Beberapa
distraksi menulis, biasanya berasal dari suara-suara yang tidak dibutuhkan.
Tahu sendiri, telinga itu indra yang kemampuannya gak bisa ditahan begitu saja
seperti mata.
Selain dengan cara itu, kadang aku juga
memejamkan mata untuk mencari ide saat inspirasi lagi macet.
Jadi, kalau kalian melihat seseorang yang lagi duduk
sendiri. Hanya bertemankan notebook berwarna
putih bergambar anime, kupingnya dipasangi headset, silakan dipanggil saja. Insya
Allah, itu aku. Tetapi jangan berharap banyak aku bakal menoleh. Kan, pake headset.
Karena sekarang seperti itulah memang kebiasaanku
hampir setahunan ini. Nongkrong sendirian di kampus sambil berburu wifi.
***
Masih ada satu jam lagi sebelum azan maghrib tapi
kampus sudah lumayan sepi. Karena mendung sejak tadi siang, membuat
lorong-lorong di sekitar menjadi gelap lebih cepat dari biasanya. Satu-dua
orang masih ada yang berlalu lalang, tak banyak. Aku masih setia duduk
bersandarkan dinding. Memangku notebook dan
tentunya dengan headset
yang telah disetel musik. Lembaran Word di layar menampilkan tulisan yang kukerjakan. Jari-jariku masih
lancar mengetik sejauh ini.
Ketika ide di kepalaku tersendat, aku membuka
buku catatan bersampul hitamku. Melihat kembali poin-poin yang mesti
kutuliskan. Karena masih bingung, kulakukan trik memejamkan mata. Trik ini
sebenarnya agak ribet. Ide-ide memang lancar mengalir saat berpejam, namun
kadang tak semua ide itu berhubungan dengan tulisan yang tengah kukerjakan.
Kadang-kadang juga aku malah mengantuk atau kepikiran hal-hal tidak penting
semisal parfum yang biasa kugunakan harganya lagi diskon di alfamaret, atau
banyaknya piring belum cuci yang menyemak di
wastafel dapur kos.
Tapi kali ini, lancar-lancar saja.
Saat aku membuka mata dan ingin melanjutkan
menulis, dua orang laki-laki ternyata baru saja duduk di sampingku. Aku gak
sadar dengan kedatangan mereka. Mungkin karena posisi dudukku dekat
persimpangan lorong sehingga ketika mereka berdua berjalan dari arah itu aku
tidak menyadarinya. Mungkin juga karena aku lagi fokus memikirkan ide
sebelumnya.
Salah satu alasan aku duduk bersandar dinding ini
juga untuk menghindari distraksi-distraksi tidak penting, seperti merasakan
kehadiran seseorang dari belakang.
Pas keduanya duduk di kiri-kananku, aku akhirnya
tahu siapa mereka: dua orang kampret—tentu saja. Danu di sebelah kanan dan Rafael
di sebelah kiri. Keduanya sedang
menyalakan laptop masing-masing. Aku pengin bertanya dari mana mereka tahu
kalau aku lagi ada di sini, tapi si Danu pasti bakal menjawab dengan dialog
andalannya: aku
selalu bisa dapatin info yang aku butuh. Jadi, ya, lebih baik gak perlu
ditanyakan. Mending pertanyaan lain saja.
“Dari mana kalian?” tanyaku sambil melepas headset sebelah
kiri.
“Gak dari mana-mana.” Jawab Danu.
“Dari awal aku tak
pernah percaya kata-katamu...”Jawab Rafael, dengan bernyanyi seperti yang
sudah-sudah.
“Karena ku hanya
melihat semua dari parasmu,” aku melanjutkan lagu.
“Lah anjir, malah nyanyi kalian!”
Aku dan Rafael ketawa.
Dibanding Danu, aku lebih dulu mengenal
Rafael. Kami saling kenal saat masih sama-sama semester dua. Karena sama-sama
suka ngebacot
gak jelas, temperamental, frekuensi kerusakan gelombang otak yang sama, dan
hobi menulis—tentu saja—,kami jadi akrab. Dari Rafael yang temperamental, aku
belajar bagaimana mengendalikan emosiku sendiri.
Danu masuk ke lingkaran iblis berkedok
rekan kepenulisan kami di awal tahun 2015. Pertama kali ketemu, aku sudah
merasa ada yang gak beres dengan Danu: otaknya. Dan dia pun mengaku juga
berpikiran seperti itu terhadapku: ada yang gak beres dengan otakku. Danu
sempat mengajakku untuk satu kelompok Kukerta waktu itu. Sejak tahun 2015 lokasi
Kukerta bisa milih sendiri (walau ada juga yang kemudian tidak bisa memilih
lokasi Kukerta karena sistem yang masih baru alias error mulu). Namun seperti
halnya teman-temanku dari fakultas lain yang mengajak hal serupa, kami akhirnya
terpisah juga.
Jika dengan mematikan fungsi salah satu indra
bisa meningkatkan kemampuan indra yang lain, bagaimana jika yang dimatikan itu
adalah hati nurani?
Kemampuan logika kognitif akan meningkat. Itu
bukan hipotesis mengada-ngada karena hal itu benar-benar nyata terjadi.
Danu yang masa bodoh dengan perasaan orang lain
karena dia sendiri gak punya, menjadi yang paling jenius di antara kami
sekaligus jadi pribadi paling manipulatif. Itu membuatnya lebih sreg memilih
genre fantasi dan sains fiksi. Rafael beda. Meski nurani dan perasaannya mati,
dia bisa mengetahui
perasaan orang lain. Tahu bukan mengerti. Semacam kutukan, menurutnya.
Meski kehilangan hati nurani sendiri sebenarnya sudah merupakan kutukan. Genre
tulisannya yang romance,
adalah wujud kenaifan Rafael.
Sementara aku menjelaskan panjang lebar narasi
tentang mereka, Rafael dan Danu sudah sibuk menulis juga di sampingku. Aku
kemudian mematikan musik di notebook dan
melepas headset yang
satunya lagi.
“Kalian tahu,” kataku sambil tetap menatap ke
layar “kalimat ‘you
see but you do not observe’?"
Keduanya menoleh ke arahku dengan wajah bingung.
Aku menyunggingkan bibir sebelah kiri.
Masing-masing dari kami punya kebiasaan yang beda
sendiri dibanding dua yang lain. Misalnya soal mengetik. Aku dan Danu mengetik
dengan delapan jari tanpa kedua jempol, sedangkan Rafael mengetik dengan enam
jari tanpa dua jempol dan kelingking. Kalau aku dan Rafael--dan kebanyakan
cowok lainnya, kurasa--memakai parfum cuma pas berangkat keluar rumah, Danu
selalu meng-update parfumnya tiap 4 jam sekali. Rafael dan Danu
masing-masing punya satu buku catatan kecil dan satu pena khusus untuk menulis
ide atau hal-hal penting; aku punya dua buku catatan dan tiga pena khusus untuk
hal itu.
Sore ini, aku membawa kedua buku catatan dan
ketiga penaku.
Tapi Rafael mengetik dengan delapan jari dan aku
tak mencium aroma parfum Danu sama sekali.
“Itu salah satu dialog Sherlock Holmes
favoritku,” kataku.
Kudorongkan kedua tanganku ke arah mereka
kemudian mendapati ruang kosong di kiri dan kanan. Aku tak butuh indra
keenam—kemampuan merasakan hal-hal gaib—untuk tahu mereka bukanlah Rafael dan Danu.
Aku sudah punya kutukanku sendiri sebagai indra ketujuh.
Segera kumatikan notebook dan
mulai mengemas barang-barangku ke dalam ransel. Dengan dengkul yang gemetaran,
aku berjalan pulang ke kos.
Sial!
.
.
.
.
.
.
Daftar Episode:.
.
.
.
.
.
#1
#2
#3
#4
#5
#6
#7
#8
Komentar
Posting Komentar