Writer`s Block #9





Tahu Daredevil? Hero yang—gak tahu apa termasuk super atau bukan—buta itu mengalami kecelakaan saat masih kecil. Efek samping dari kebutaannya tersebut ialah meningkatnya kemampuan indranya yang lain secara drastis. Dengan kemampuan itulah kemudian ia jadi pahlawan yang menyelamatkan kotanya.

Dengan tidak berfungsinya salah satu indra, indra yang lain mestinya bisa difungsikan lebih maksimal. Hipotesisnya kurang lebih seperti itu. Aku sendiri memiliki kebiasaan yang kurang lebih semacam mematikan salah satu indra ketika sedang menulis. Bedanya, aku tidak benar-benar mematikan salah satu indraku baik secara permanen atau sementara tetapi dengan mengurangi fungsinya.

Aku pernah baca, kemampuan indra manusia itu seperti segentong air dengan banyak keran. Jika semua keran dibuka, aliran air akan sama derasnya. Sementara jika salah satu keran ditutup, keran-keran yang lain akan mengalir lebih deras dibanding sebelumnya.

Saat menulis, aku mengenakan headset di kedua telingaku dan menyetel musik hingga suara-suara di sekitar tidak kedengaran lagi. Dengan begitu, telingaku hanya akan berfokus pada satu suara. Trik ini bisa membuatku tetap fokus bahkan ketika menulis di tempat umum. Beberapa distraksi menulis, biasanya berasal dari suara-suara yang tidak dibutuhkan. Tahu sendiri, telinga itu indra yang kemampuannya gak bisa ditahan begitu saja seperti mata.

Selain dengan cara itu, kadang aku juga memejamkan mata untuk mencari ide saat inspirasi lagi macet.

Jadi, kalau kalian melihat seseorang yang lagi duduk sendiri. Hanya bertemankan notebook berwarna putih bergambar anime, kupingnya dipasangi headset, silakan dipanggil saja. Insya Allah, itu aku. Tetapi jangan berharap banyak aku bakal menoleh. Kan, pake headset.

Karena sekarang seperti itulah memang kebiasaanku hampir setahunan ini. Nongkrong sendirian di kampus sambil berburu wifi.

***

Masih ada satu jam lagi sebelum azan maghrib tapi kampus sudah lumayan sepi. Karena mendung sejak tadi siang, membuat lorong-lorong di sekitar menjadi gelap lebih cepat dari biasanya. Satu-dua orang masih ada yang berlalu lalang, tak banyak. Aku masih setia duduk bersandarkan dinding. Memangku notebook dan tentunya dengan headset yang telah disetel musik. Lembaran Word di layar menampilkan tulisan yang kukerjakan. Jari-jariku masih lancar mengetik sejauh ini.

Ketika ide di kepalaku tersendat, aku membuka buku catatan bersampul hitamku. Melihat kembali poin-poin yang mesti kutuliskan. Karena masih bingung, kulakukan trik memejamkan mata. Trik ini sebenarnya agak ribet. Ide-ide memang lancar mengalir saat berpejam, namun kadang tak semua ide itu berhubungan dengan tulisan yang tengah kukerjakan. Kadang-kadang juga aku malah mengantuk atau kepikiran hal-hal tidak penting semisal parfum yang biasa kugunakan harganya lagi diskon di alfamaret, atau banyaknya piring belum cuci yang menyemak  di wastafel dapur kos.

Tapi kali ini, lancar-lancar saja.

Saat aku membuka mata dan ingin melanjutkan menulis, dua orang laki-laki ternyata baru saja duduk di sampingku. Aku gak sadar dengan kedatangan mereka. Mungkin karena posisi dudukku dekat persimpangan lorong sehingga ketika mereka berdua berjalan dari arah itu aku tidak menyadarinya. Mungkin juga karena aku lagi fokus memikirkan ide sebelumnya.

Salah satu alasan aku duduk bersandar dinding ini juga untuk menghindari distraksi-distraksi tidak penting, seperti merasakan kehadiran seseorang dari belakang.

Pas keduanya duduk di kiri-kananku, aku akhirnya tahu siapa mereka: dua orang kampret—tentu saja. Danu di sebelah kanan dan Rafael di sebelah kiri. Keduanya sedang menyalakan laptop masing-masing. Aku pengin bertanya dari mana mereka tahu kalau aku lagi ada di sini, tapi si Danu pasti bakal menjawab dengan dialog andalannya: aku selalu bisa dapatin info yang aku butuh. Jadi, ya, lebih baik gak perlu ditanyakan. Mending pertanyaan lain saja.

“Dari mana kalian?” tanyaku sambil melepas headset sebelah kiri.

“Gak dari mana-mana.” Jawab Danu.

Dari awal aku tak pernah percaya kata-katamu...”Jawab Rafael, dengan bernyanyi seperti yang sudah-sudah.

Karena ku hanya melihat semua dari parasmu,” aku melanjutkan lagu.

“Lah anjir, malah nyanyi kalian!”

Aku dan Rafael ketawa.

Dibanding Danu, aku lebih dulu mengenal Rafael. Kami saling kenal saat masih sama-sama semester dua. Karena sama-sama suka ngebacot gak jelas, temperamental, frekuensi kerusakan gelombang otak yang sama, dan hobi menulis—tentu saja—,kami jadi akrab. Dari Rafael yang temperamental, aku belajar bagaimana mengendalikan emosiku sendiri.

Danu masuk ke lingkaran iblis berkedok rekan kepenulisan kami di awal tahun 2015. Pertama kali ketemu, aku sudah merasa ada yang gak beres dengan Danu: otaknya. Dan dia pun mengaku juga berpikiran seperti itu terhadapku: ada yang gak beres dengan otakku. Danu sempat mengajakku untuk satu kelompok Kukerta waktu itu. Sejak tahun 2015 lokasi Kukerta bisa milih sendiri (walau ada juga yang kemudian tidak bisa memilih lokasi Kukerta karena sistem yang masih baru alias error mulu). Namun seperti halnya teman-temanku dari fakultas lain yang mengajak hal serupa, kami akhirnya terpisah juga.

Jika dengan mematikan fungsi salah satu indra bisa meningkatkan kemampuan indra yang lain, bagaimana jika yang dimatikan itu adalah hati nurani?

Kemampuan logika kognitif akan meningkat. Itu bukan hipotesis mengada-ngada karena hal itu benar-benar nyata terjadi.

Danu yang masa bodoh dengan perasaan orang lain karena dia sendiri gak punya, menjadi yang paling jenius di antara kami sekaligus jadi pribadi paling manipulatif. Itu membuatnya lebih sreg memilih genre fantasi dan sains fiksi. Rafael beda. Meski nurani dan perasaannya mati, dia bisa mengetahui  perasaan orang lain. Tahu bukan mengerti. Semacam kutukan, menurutnya. Meski kehilangan hati nurani sendiri sebenarnya sudah merupakan kutukan. Genre tulisannya yang romance, adalah wujud kenaifan Rafael.

Sementara aku menjelaskan panjang lebar narasi tentang mereka, Rafael dan Danu sudah sibuk menulis juga di sampingku. Aku kemudian mematikan musik di notebook dan melepas headset yang satunya lagi.

“Kalian tahu,” kataku sambil tetap menatap ke layar “kalimat ‘you see but you do not observe’?"

Keduanya menoleh ke arahku dengan wajah bingung. Aku menyunggingkan bibir sebelah kiri.

Masing-masing dari kami punya kebiasaan yang beda sendiri dibanding dua yang lain. Misalnya soal mengetik. Aku dan Danu mengetik dengan delapan jari tanpa kedua jempol, sedangkan Rafael mengetik dengan enam jari tanpa dua jempol dan kelingking. Kalau aku dan Rafael--dan kebanyakan cowok lainnya, kurasa--memakai parfum cuma pas berangkat keluar rumah, Danu selalu meng-update parfumnya tiap 4 jam sekali. Rafael dan Danu masing-masing punya satu buku catatan kecil dan satu pena khusus untuk menulis ide atau hal-hal penting; aku punya dua buku catatan dan tiga pena khusus untuk hal itu.

Sore ini, aku membawa kedua buku catatan dan ketiga penaku.





Tapi Rafael mengetik dengan delapan jari dan aku tak mencium aroma parfum Danu sama sekali.

“Itu salah satu dialog Sherlock Holmes favoritku,” kataku.

Kudorongkan kedua tanganku ke arah mereka kemudian mendapati ruang kosong di kiri dan kanan. Aku tak butuh indra keenam—kemampuan merasakan hal-hal gaib—untuk tahu mereka bukanlah Rafael dan Danu. Aku sudah punya kutukanku sendiri sebagai indra ketujuh.

Segera kumatikan notebook dan mulai mengemas barang-barangku ke dalam ransel. Dengan dengkul yang gemetaran, aku berjalan pulang ke kos.

Sial!
.
.
.
.
.
Daftar Episode:
#1

#2
#3 
#4 
#5 
#6 
#7 
#8  

Komentar