Writer`s Block #8



Assalamua`alaikum wr wb
Selamat pagi kesiangan:D



Dia baru tiba di dekat pusat keramaian itu, menyaksikan dua orang laki-laki saling pukul dikerumuni banyak penonton. Bukannya mencoba melerai, sebagian dari mereka justru merekam adegan perkelahian tersebut dengan ponsel masing-masing. Diperhatikannya baik-baik, dia mengenali kedua laki-laki yang sedang berkelahi itu. Keduanya sama-sama juniornya di jurusan. Seorang teman yang tadi mengajaknya ikut menonton bertanya kepadanya. “Kira-kira siapa yang menang, bro?”
Sebelah bibirnya menyudut. Membentuk seringai khasnya. Dia dapat menebak apa permasalahan yang menyebabkan kedua laki-laki itu berkelahi, atau mungkin lebih tepatnya, yang satu memukul, yang satu berusaha membalas.

“Aku,” jawabnya pendek.

Lelaki pertama, sebut saja A, adalah pacar dari perempuan yang belakangan didekati oleh si B, lelaki kedua. A dan pacarnya juga merupakan senior satu tingkat di atas B. Isu-isu si B yang berusaha mendekati pacarnya si A ini sudah jadi gosip hangat di jurusan mereka. Mungkin karena si B, yang berusaha menikung tidak tahu cara halus pedekate dengan perempuan yang sudah punya pacar, dia pernah ketahuan sekali nge-mention pacarnya si A di postingan romantis di Instagram.

Semua orang juga tahu, pacarnya A tak pernah menanggapi B sama sekali namun B tetap tak patah semangat, tanpa peduli fakta bahwa perempuan yang didekatinya sudah memiliki pacar.

Mungkin, karena sering diolok-olok temannya yang mengganggap A diam saja mengetahui pacarnya digodain B, A akhirnya memutuskan untuk memberi pelajaran ke B hari ini. Hasilnya sudah dapat ditebak. Lelaki yang dipenuhi amarah karena kekasihnya digoda orang lain, ditambah lagi orang lain itu adalah juniornya sendiri pasti punya energi lebih besar ketimbang lelaki yang tersudut karena ketahuan menggoda pacar orang lain.

Berniat mengakhiri perkelahian di depannya, dia berjalan mendekati kedua laki-laki tersebut. Dengan sekali gerakan, ditangkapnya lengan A dan B dengan kedua tangannya.

“Dah keras juga ya.” Katanya sinis sambil meremas lengan A dan B. “Jago betul kalian ya  berani kelahi di kampus.”

A dan B bergidik ngeri mendapati lengan mereka ditahan oleh senior mereka. Memiliki julukan Rindaman*, senior mereka ini bertubuh hampir dua meter dengan postur berotot yang mengerikan.
Tak pernah ada yang berani macam-macam dengannya. Orang paling sangar sejurusan...bahkan seuniversitas barangkali. Reputasi tersebut sudah dibawanya sejak masa-masa ospek. Meski masih mahasiswa baru, dia sudah berani menentang senior-seniornya yang melakukan perploncoan. Ketika dia menantang senior-seniornya untuk berduel, tak ada yang berani karena takut dengan tubuh besarnya. Sejak saat itulah julukan Rindaman didapatnya. Pasca kejadian itu, di tahun-tahun selanjutnya tak ada lagi perploncoan saat ospek di jurusan mereka.

Kedua laki-laki yang tadi berkelahi langsung pucat. Dia kemudian melepaskan lengan mereka.

“Kalo masih juga kuliat kalian kelahi, apalagi karena cewek, kutampar muka kalian satu-satu.”
“I-iya, Bang,” jawab keduanya. Ketika keduanya bubar, kerumunan orang yang menyaksikan perkelahian tadi juga ikut bubar. Tinggal dia sendiri di sana, atau setidaknya begitulah yang dia kira.

Plakk

Dari jauh, terlihat si A ditampar pacarnya sendiri.

“Kamu tu kenapa sih pake berantem segala? Udah ngerasa hebat?”

Huhuhu. Drama.

“Berasa deja vu gitu ya,” ucap seorang perempuan dari sebelahnya. Diliriknya perempuan yang barusan bicara tadi. Tanpa balik menatap kepadanya, perempuan itu masih fokus menyaksikan drama A dan pacarnya. Perempuan itu Denada; temannya sejak SMA, sekarang mereka berada di fakultas yang sama namun beda jurusan. Deja vu? Ahh, dia teringat dahulu kala pernah ditampar kayak si A, momen yang paling dibencinya.

***

Hari itu adalah hari terakhir Ujian Nasional. Selepas beristirahat sejenak di kamar kemudian mengganti baju, diambilnya ponsel yang tergeletak di kasur untuk mengirim pesan ke pacarnya yang berbeda sekolah dengannya. Sebulan belakangan mereka bersepakat untuk tidak saling menghubungi satu sama lain agar sama-sama fokus menghadapai UN. Sudahlah tidak satu sekolah, rumah satu sama lain juga jauh, sebulan belakangan habis-habisan dia menahan rindu. Berat memang, tapi akhirnya masa satu bulan ini terlewati juga.

“Nanti malam mau jalan?” ketiknya. Dua centang, huruf D muncul di atasnya. Terkirim namun belum dibaca.

Sekitar sejam kemudian, balasan dari sang pacar masuk ke ponselnya.

“Gak deh. Masih mau istirahat dulu.”
“Aku telfon nanti ya.”
“Gak usah. Mau istirahat.”

Lah, kok jutek? Pasti lagi datang bulan nih, pikirnya.
Malam harinya, dia pergi nongkrong bersama teman-temannya. Ngobrol-ngobrol. Ketawa-ketawa. Meski tidak bersama pacarnya, dia tetap bisa bersenang-senang dengan temannya.

Tapi kesenangan itu tak berlangsung lama.

Denada, teman sekelas yang kebetulan juga merupakan teman SMP pacarnya mengirim pesan. Kau lagi jalan sama Farah? Tanya Denada. Farah adalah nama pacarnya. “Gak, kenapa emang?” balasnya. Eee gimana ya, Raf.

Berbelit, khas perempuan. Mengira ada sesuatu yang penting terkait pacarnya, dia segera menekan tombol panggilan ke Denada. Tiga kali nada tunggu berbunyi, panggilan akhirnya diangkat.

“Kenapa sama Farah, De?”
“Eee kek mana aku mau ngomongnya ya...”
“Tinggal ngomong aja pun.”
“Kau di mana sekarang?”
“Jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Jawab aja dulu. Nanti kukasih tahu.”
“Hadeh. Aku di rumah Sam. Sekarang kasih tahu ada apa sama Farah.”
“Mmmmm..”
“De?”
“I-iya iya. Mending kau lihat sendirilah kenapa sama dia. Tadi aku liat dia lagi makan bakso di jalan rambutan.”

Farah pergi makan bakso? Tadi siang katanya mau istirahat. Gak konsisten banget dah pemikiran cewek.
“Tahu kau tempatnya?” tanya Denada memastikan.
“Tahu kok. Kami dah seirng makan dekat situ. Aku ke sana sekarang.”

Usai berpamitan dengan teman-temannya, dia langsung memacu mobil ke tempat yang dimaksud Denada sebelumnya. Tak ada pikiran aneh sama sekali terlintas di benaknya kenapa Denada menyuruhnya datang sendiri ke sana. Satu-satunya yang ada di pikirannya saat itu ialah dia bakal melepas kangen dengan pacarnya. Pasti pacarnya juga kangen sama dia.

Setibanya di dekat parkiran, dia menelepon Denada untuk mengabari kalau dia sudah tiba. Tunggu aja di situ dulu, kata Denada. Selang beberapa menit, kaca mobilnya diketuk seseorang: Denada. Denada kemudian masuk ke dalam mobilnya.

“Apapun yang kau lihat nanti, jangan bilang ke Farah kalau aku yang ngasih tahu dia di sini ya?”
“Eh, ngapa emang?”
“Janji, Raf?”
“Iya iya.”

Kejadian selanjutnya betul-betul tak pernah dia duga sama sekali. Farah, pacarnya, berjalan keluar bersama dengan seorang laki-laki. Lebih sialnya lagi, Farah bergelayut manja di lengan laki-laki itu. Siapa laki-laki itu? Kenapa Farah terlihat senang sekali bersama laki-laki itu? Kenapa Farah bohong sama dia tadi siang, mengaku mau istirahat? Apa laki-laki itu alasan Farah tidak mau jalan sama dia malam ini? Sejak kapan Farah dekat dengan laki-laki itu?

Menyumpah serapah di dalam mobil, dia lalu keluar. Denada berteriak memintanya tetap di dalam tapi tak digubris sama sekali.

Dengan langkah tergesa, dia berjalan ke arah pacarnya yang sedang digandeng oleh laki-laki lain itu.  Pacarnya tak melepas tangan dari laki-laki itu meski tahu dia sedang berjalan ke arah mereka. Tiba di depan mereka berdua, tangan kirinya langsung mencengkeram kerah kaus laki-laki itu. Tanpa bicara apa-apa, kepalan tangannya yang sudah mengeras dari tadi melayang ke wajah laki-laki itu, membuat laki-laki itu tumbang seketika.

“RAFAEL!!!” Pekik pacarnya.
“APA?”
“BAHASA INGGRISNYA WHAT!”
“KAMU NGELUCU?”
“YA ENGGAKLAH?”
“TERUS DIALOGNYA KOK GITU?”
“GAK TAHU NIH! MANA HURUF BESAR SEMUA LAGI”
“GITING KALIK NIH YANG NULIS.”
“BISA JADI!!!”

Ulang dialognya, bro.

“RAFAEL!!!” Pekik pacarnya.
“APA?”

Plakk

Tamparan itu melayang ke wajahnya, bersama dengan air mata yang mengucur deras dari pacarnya.

“KITA PUTUS!”
“OKE!”

Segera balik badan, dia langsung meninggalkan pacarnya. Di dalam mobil, Denada sudah tidak ada. Entah ke mana perginya. Dengan hati sakit, dia pulang.

***

Malam itu adalah malam terakhir dia bertemu dengan Farah. Putus hubungan, putus juga komunikasi mereka satu sama lain. Dia sendiri tak merasa perlu untuk mencari Farah, sama halnya Farah yang tak juga mencari dirinya.  

“Udah lama juga ya sejak kejadian itu ya, De.”
“Mau bilang rasanya baru kemarin? Klise. Hahahaha...”

Danu, temannya yang tadi mengajak dia melihat perkelahian sebelumnya, berjalan mendekatinya.
“Cari tempat yang enak buat ngobrol yok,” ajak Danu.
“Di sini kan juga bisa.”
“Ya gak mungkin juga berdiri gini aja, Raf! Aneh-aneh aja ko kadang.”
“Mau bahas apaan emang?”
“Sesuatu yang Danu paksa ke aku buat jelasin ke kau,” sahut Denada.
“Kalian saling kenal?”
“Nanti kujelasin.”

Sedikit penasaran dengan kedua temannya, Rafael lalu mengikuti Denada dan Danu berjalan ke salah satu kursi taman tak jauh dari tempat mereka berdiri sebelumnya.
“Mulai dari mana enaknya ni, Dan?” tanya Denada.
“Seterah sih.”
“Atau kau aja yang jelasinlah.”
“Loh, kok aku?”
“Kalian berdua ngomongin apaan sih?”
“Hmm.. jadi gini, Raf,” kata Danu “ada beberapa hal yang menurut aku perlu ko tahu. Denada udah ngerahasiain ini dari ko, tapi karena aku tahu, makanya kusuruh dia ngasih tahu ko hari ni.”

“Lah, berarti ko tahu juga? Ko tahu dari mana? Emang apaan?"
“Aku selalu dapat informasi yang aku butuhin.”
“Raf,” kali ini Denada yang bicara. Mulai mengatur napasnya agar bisa lancar pula bicaranya. “Farah udah meninggal 6 tahun yang lalu.”
“Innalillahiwainnailaihiroji`iun. Kok gak ada yang ngasih tahu aku soal ini?”

Denada menatap ke arah Danu. Danu hanya membalas dengan memberi kode untuk Denada melanjutkan ceritanya.
“Leukimia. Dia udah ngidap penyakit itu waktu masih pacaran sama kau dulu.”

Rafael terdiam. Tak menyangka bahwa mantan pacarnya itu mengidap penyakit mematikan sewaktu mereka masih bersama dulu. Lebih tak menyangka lagi kalau Farah ternyata merahasiakan hal itu darinya. Jika Denada bisa tahu, kenapa dia tidak?

“Semua teman-temannya cuma tahu kalo lulus SMA dia pindah ke Australia sama keluarganya. Mereka juga tahunya dia lanjut kuliah di sana. Padahal...”

Denada terisak. Menangis. Melihat Denada tak bisa melanjutkan, Danu kemudian menyambung ceritanya.
“Dia sekeluarga emang pindah ke Australia habis lulus, karena papanya waktu itu emang dipindahtugaskan ke sana. Farah, yang kondisinya waktu itu udah parah kali, minta orang tuanya gak buang-buang uang buat pengobatannya. Dia gak mau orang tuanya ngelakuin hal sia-sia. Dia juga gak mau ko lakuin hal yang sia-sia...dengan meratapi kematian dia.

“Ko ingat kan, perjanjian kalian berdua gak ada komunikasi selama sebulan pas UN?” Rafael mengangguk.

“Sebelumnya dia baru tahu juga kalo dia ngidap penyakit itu. Makanya dia ngerancang kesepakatan itu, biar ko gak bisa tahu kalo dia selama itu dia bukannya sibuk nyiapin diri buat UN tapi meriksain kondisinya ke dokter. Tapi ya gitu, karena penyakitnya telat terdeteksi, kondisi dia udah stadium akut. Peluang sembuhnya nol.

“Dia udah  nyiapin wasiatnya buat keluarga, yang salah satunya merahasiakan kematiannya dari orang banyak, termasuk ko. Selain keluarga besarnya, cuma Denada yang tahu. Denada juga punya peran penting dalam drama yang dirancangnya malam pas kalian putus.

“Dia tahu kali sikap ko, temperamen ko. Karena itu dia juga tahu, akan lebih baik ko ngelupain dia karena cara putus tidak baik-baik gitu, ketimbang harus ditinggal mati. Malam itu, dia udah ngerancang semuanya. Dia minta tolong ke sepupunya buat pura-pura jadi selingkuhan waktu itu. Dia nyuruh Denada buat mancing ko supaya datang ke tempat itu. Meski dia gak ngeduga kalo ko ternyata tanpa babibu maen tonjok aja waktu itu, setidaknya misi utamanya berhasil: ko mutusin dia.

“Farah tu, Raf, sayang kali sama ko. Kalian dulu sama-sama punya komitmen, kan, kalo seburuk-buruknya kelakuan pasangan yang paling tak termaafkan, selain jadi ateis, itu selingkuh. Prinsip itu masih ko pegang sampe sekarang, sering juga ko singgung sikit-sikit dalam tulisan atau pas kita adu-adu teori.

Rafael tertegun. Diam seperti patung. Fakta-fakta yang disampaikan Danu betul-betul terlambat dia ketahui. Tak tahu harus marah atau sedih. Tak tahu dengan cara apa dia harus merespon atau bereaksi terhadap ini semua. Bahkan sampai mati pun, Farah ternyata masih sayang sama dia, masih peduli sama dia.

Usai memaparkan kebenarannya, Danu juga ikut berdiam diri. Di sampingnya, Denada sudah tak menangis lagi namun napasnya terdengar masih sesak, sisa tangisnya yang belum mereda. Cukup lama mereka saling diam tanpa berucap sepatah kata pun.
“Setidaknya, aku dah tahu kebenaran dari semua ini. Makasih, gaes.”

***

Rafael duduk menghadap layar laptop. Lampu kamar yang dimatikan, ditambah iringan musik dark piano dari speaker yang diset pelan menciptakan kondisi sempurna untuknya menulis. Namun jari-jarinya masih mengambang di atas tuts keyboard. Masih belum cukup siap untuk mulai mengetik.

Setidaknya kau dah tau kenyataan sebenarnya, Raf...

Jari-jarinya perlahan mulai mengetik. Di bagian paling atas lembaran word, sepotong kalimat dengan huruf tebal tertulis di sana:

Kepada Perempuan yang Melarangku Berduka 

***

* Salah satu karakter di Crows Zero 

Daftar Episode:
#1

#2
#3 
#4 
#5 
#6 
#7  
#9

 

Komentar