Dia baru tiba di dekat pusat
keramaian itu, menyaksikan dua orang laki-laki saling pukul dikerumuni banyak
penonton. Bukannya mencoba melerai, sebagian dari mereka justru merekam adegan
perkelahian tersebut dengan ponsel masing-masing. Diperhatikannya baik-baik,
dia mengenali kedua laki-laki yang sedang berkelahi itu. Keduanya sama-sama
juniornya di jurusan. Seorang teman yang tadi mengajaknya ikut menonton
bertanya kepadanya. “Kira-kira siapa yang menang, bro?”
Sebelah bibirnya menyudut.
Membentuk seringai khasnya. Dia dapat menebak apa permasalahan yang menyebabkan
kedua laki-laki itu berkelahi, atau mungkin lebih tepatnya, yang satu memukul,
yang satu berusaha membalas.
“Aku,” jawabnya pendek.
Lelaki pertama, sebut saja A,
adalah pacar dari perempuan yang belakangan didekati oleh si B, lelaki kedua. A
dan pacarnya juga merupakan senior satu tingkat di atas B. Isu-isu si B yang
berusaha mendekati pacarnya si A ini sudah jadi gosip hangat di jurusan mereka.
Mungkin karena si B, yang berusaha menikung tidak tahu cara halus pedekate
dengan perempuan yang sudah punya pacar, dia pernah ketahuan sekali nge-mention pacarnya si A di postingan
romantis di Instagram.
Semua orang juga tahu, pacarnya A
tak pernah menanggapi B sama sekali namun B tetap tak patah semangat, tanpa
peduli fakta bahwa perempuan yang didekatinya sudah memiliki pacar.
Mungkin, karena sering diolok-olok
temannya yang mengganggap A diam saja mengetahui pacarnya digodain B, A
akhirnya memutuskan untuk memberi pelajaran ke B hari ini. Hasilnya sudah dapat
ditebak. Lelaki yang dipenuhi amarah karena kekasihnya digoda orang lain,
ditambah lagi orang lain itu adalah juniornya sendiri pasti punya energi lebih besar
ketimbang lelaki yang tersudut karena ketahuan menggoda pacar orang lain.
Berniat mengakhiri perkelahian di
depannya, dia berjalan mendekati kedua laki-laki tersebut. Dengan sekali
gerakan, ditangkapnya lengan A dan B dengan kedua tangannya.
“Dah keras juga ya.” Katanya sinis
sambil meremas lengan A dan B. “Jago betul kalian ya berani kelahi di kampus.”
A dan B bergidik ngeri mendapati
lengan mereka ditahan oleh senior mereka. Memiliki julukan Rindaman*, senior mereka
ini bertubuh hampir dua meter dengan postur berotot yang mengerikan.
Tak pernah ada yang berani
macam-macam dengannya. Orang paling sangar sejurusan...bahkan seuniversitas
barangkali. Reputasi tersebut sudah dibawanya sejak masa-masa ospek. Meski
masih mahasiswa baru, dia sudah berani menentang senior-seniornya yang
melakukan perploncoan. Ketika dia menantang senior-seniornya untuk berduel, tak
ada yang berani karena takut dengan tubuh besarnya. Sejak saat itulah julukan Rindaman didapatnya. Pasca kejadian
itu, di tahun-tahun selanjutnya tak ada lagi perploncoan saat ospek di jurusan
mereka.
Kedua laki-laki yang tadi berkelahi
langsung pucat. Dia kemudian melepaskan lengan mereka.
“Kalo masih juga kuliat kalian
kelahi, apalagi karena cewek, kutampar muka kalian satu-satu.”
“I-iya, Bang,” jawab keduanya.
Ketika keduanya bubar, kerumunan orang yang menyaksikan perkelahian tadi juga
ikut bubar. Tinggal dia sendiri di sana, atau setidaknya begitulah yang dia
kira.
Plakk
Dari jauh, terlihat si A ditampar
pacarnya sendiri.
“Kamu tu kenapa sih pake berantem
segala? Udah ngerasa hebat?”
Huhuhu. Drama.
“Berasa deja vu gitu ya,” ucap seorang perempuan dari sebelahnya.
Diliriknya perempuan yang barusan bicara tadi. Tanpa balik menatap kepadanya,
perempuan itu masih fokus menyaksikan drama A dan pacarnya. Perempuan itu
Denada; temannya sejak SMA, sekarang mereka berada di fakultas yang sama namun
beda jurusan. Deja vu? Ahh, dia
teringat dahulu kala pernah ditampar kayak si A, momen yang paling dibencinya.
***
Hari itu adalah hari terakhir
Ujian Nasional. Selepas beristirahat sejenak di kamar kemudian mengganti baju,
diambilnya ponsel yang tergeletak di kasur untuk mengirim pesan ke pacarnya
yang berbeda sekolah dengannya. Sebulan belakangan mereka bersepakat untuk
tidak saling menghubungi satu sama lain agar sama-sama fokus menghadapai UN. Sudahlah
tidak satu sekolah, rumah satu sama lain juga jauh, sebulan belakangan
habis-habisan dia menahan rindu. Berat memang, tapi akhirnya masa satu bulan
ini terlewati juga.
“Nanti malam mau jalan?”
ketiknya. Dua centang, huruf D muncul di atasnya. Terkirim namun belum dibaca.
Sekitar sejam kemudian, balasan
dari sang pacar masuk ke ponselnya.
“Gak deh. Masih mau istirahat dulu.”
“Aku telfon nanti ya.”
“Gak usah. Mau istirahat.”
Lah, kok jutek? Pasti lagi datang
bulan nih, pikirnya.
Malam harinya, dia pergi
nongkrong bersama teman-temannya. Ngobrol-ngobrol. Ketawa-ketawa. Meski tidak
bersama pacarnya, dia tetap bisa bersenang-senang dengan temannya.
Tapi kesenangan itu tak
berlangsung lama.
Denada, teman sekelas yang
kebetulan juga merupakan teman SMP pacarnya mengirim pesan. Kau lagi jalan sama Farah? Tanya Denada.
Farah adalah nama pacarnya. “Gak, kenapa emang?” balasnya. Eee gimana ya, Raf.
Berbelit, khas perempuan. Mengira
ada sesuatu yang penting terkait pacarnya, dia segera menekan tombol panggilan
ke Denada. Tiga kali nada tunggu berbunyi, panggilan akhirnya diangkat.
“Kenapa sama Farah, De?”
“Eee kek mana aku mau ngomongnya
ya...”
“Tinggal ngomong aja pun.”
“Kau di mana sekarang?”
“Jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Jawab aja dulu. Nanti kukasih
tahu.”
“Hadeh. Aku di rumah Sam.
Sekarang kasih tahu ada apa sama Farah.”
“Mmmmm..”
“De?”
“I-iya iya. Mending kau lihat sendirilah
kenapa sama dia. Tadi aku liat dia lagi makan bakso di jalan rambutan.”
Farah pergi makan bakso? Tadi siang katanya mau istirahat. Gak
konsisten banget dah pemikiran cewek.
“Tahu kau tempatnya?” tanya
Denada memastikan.
“Tahu kok. Kami dah seirng makan
dekat situ. Aku ke sana sekarang.”
Usai berpamitan dengan
teman-temannya, dia langsung memacu mobil ke tempat yang dimaksud Denada
sebelumnya. Tak ada pikiran aneh sama sekali terlintas di benaknya kenapa
Denada menyuruhnya datang sendiri ke sana. Satu-satunya yang ada di pikirannya
saat itu ialah dia bakal melepas kangen dengan pacarnya. Pasti pacarnya juga
kangen sama dia.
Setibanya di dekat parkiran, dia menelepon
Denada untuk mengabari kalau dia sudah tiba. Tunggu aja di situ dulu, kata Denada. Selang beberapa menit, kaca
mobilnya diketuk seseorang: Denada. Denada kemudian masuk ke dalam mobilnya.
“Apapun yang kau lihat nanti,
jangan bilang ke Farah kalau aku yang ngasih tahu dia di sini ya?”
“Eh, ngapa emang?”
“Janji, Raf?”
“Iya iya.”
Kejadian selanjutnya betul-betul
tak pernah dia duga sama sekali. Farah, pacarnya, berjalan keluar bersama
dengan seorang laki-laki. Lebih sialnya lagi, Farah bergelayut manja di lengan
laki-laki itu. Siapa laki-laki itu? Kenapa Farah terlihat senang sekali bersama
laki-laki itu? Kenapa Farah bohong sama dia tadi siang, mengaku mau istirahat?
Apa laki-laki itu alasan Farah tidak mau jalan sama dia malam ini? Sejak kapan
Farah dekat dengan laki-laki itu?
Menyumpah serapah di dalam mobil,
dia lalu keluar. Denada berteriak memintanya tetap di dalam
tapi tak digubris sama sekali.
Dengan langkah tergesa, dia
berjalan ke arah pacarnya yang sedang digandeng oleh laki-laki lain itu. Pacarnya tak melepas tangan dari laki-laki
itu meski tahu dia sedang berjalan ke arah mereka. Tiba di depan mereka berdua,
tangan kirinya langsung mencengkeram kerah kaus laki-laki itu. Tanpa bicara
apa-apa, kepalan tangannya yang sudah mengeras dari tadi melayang ke wajah
laki-laki itu, membuat laki-laki itu tumbang seketika.
“RAFAEL!!!” Pekik pacarnya.
“APA?”
“BAHASA INGGRISNYA WHAT!”
“KAMU NGELUCU?”
“YA ENGGAKLAH?”
“TERUS DIALOGNYA KOK GITU?”
“GAK TAHU NIH! MANA HURUF BESAR
SEMUA LAGI”
“GITING KALIK NIH YANG NULIS.”
“BISA JADI!!!”
Ulang dialognya, bro.
“RAFAEL!!!” Pekik pacarnya.
“APA?”
Plakk
Tamparan itu melayang ke
wajahnya, bersama dengan air mata yang mengucur deras dari pacarnya.
“KITA PUTUS!”
“OKE!”
Segera balik badan, dia langsung
meninggalkan pacarnya. Di dalam mobil, Denada sudah tidak ada. Entah ke mana
perginya. Dengan hati sakit, dia pulang.
***
Malam itu adalah malam terakhir
dia bertemu dengan Farah. Putus hubungan, putus juga komunikasi mereka satu
sama lain. Dia sendiri tak merasa perlu untuk mencari Farah, sama halnya Farah
yang tak juga mencari dirinya.
“Udah lama juga ya sejak kejadian
itu ya, De.”
“Mau bilang rasanya baru kemarin? Klise. Hahahaha...”
Danu, temannya yang tadi mengajak
dia melihat perkelahian sebelumnya, berjalan mendekatinya.
“Cari tempat yang enak buat
ngobrol yok,” ajak Danu.
“Di sini kan juga bisa.”
“Ya gak mungkin juga berdiri gini
aja, Raf! Aneh-aneh aja ko kadang.”
“Mau bahas apaan emang?”
“Sesuatu yang Danu paksa ke aku
buat jelasin ke kau,” sahut Denada.
“Kalian saling kenal?”
“Nanti kujelasin.”
Sedikit penasaran dengan kedua
temannya, Rafael lalu mengikuti Denada dan Danu berjalan ke salah satu kursi
taman tak jauh dari tempat mereka berdiri sebelumnya.
“Mulai dari mana enaknya ni, Dan?”
tanya Denada.
“Seterah sih.”
“Atau kau aja yang jelasinlah.”
“Loh, kok aku?”
“Kalian berdua ngomongin apaan
sih?”
“Hmm.. jadi gini, Raf,” kata Danu
“ada beberapa hal yang menurut aku perlu ko tahu. Denada udah ngerahasiain ini
dari ko, tapi karena aku tahu, makanya kusuruh dia ngasih tahu ko hari ni.”
“Lah, berarti ko tahu juga? Ko tahu dari
mana? Emang apaan?"
“Aku selalu dapat informasi yang
aku butuhin.”
“Raf,” kali ini Denada yang
bicara. Mulai mengatur napasnya agar bisa lancar pula bicaranya. “Farah udah
meninggal 6 tahun yang lalu.”
“Innalillahiwainnailaihiroji`iun.
Kok gak ada yang ngasih tahu aku soal ini?”
Denada menatap ke arah Danu. Danu
hanya membalas dengan memberi kode untuk Denada melanjutkan ceritanya.
“Leukimia. Dia udah ngidap
penyakit itu waktu masih pacaran sama kau dulu.”
Rafael terdiam. Tak menyangka
bahwa mantan pacarnya itu mengidap penyakit mematikan sewaktu mereka masih
bersama dulu. Lebih tak menyangka lagi kalau Farah ternyata merahasiakan hal
itu darinya. Jika Denada bisa tahu, kenapa dia tidak?
“Semua teman-temannya cuma tahu
kalo lulus SMA dia pindah ke Australia sama keluarganya. Mereka juga tahunya
dia lanjut kuliah di sana. Padahal...”
Denada terisak. Menangis. Melihat
Denada tak bisa melanjutkan, Danu kemudian menyambung ceritanya.
“Dia sekeluarga emang pindah ke
Australia habis lulus, karena papanya waktu itu emang dipindahtugaskan ke sana.
Farah, yang kondisinya waktu itu udah parah kali, minta orang tuanya gak
buang-buang uang buat pengobatannya. Dia gak mau orang tuanya ngelakuin hal
sia-sia. Dia juga gak mau ko lakuin hal yang sia-sia...dengan meratapi kematian
dia.
“Ko ingat kan, perjanjian kalian
berdua gak ada komunikasi selama sebulan pas UN?” Rafael mengangguk.
“Sebelumnya dia baru tahu juga
kalo dia ngidap penyakit itu. Makanya dia ngerancang kesepakatan itu, biar ko
gak bisa tahu kalo dia selama itu dia bukannya sibuk nyiapin diri buat UN tapi meriksain
kondisinya ke dokter. Tapi ya gitu, karena penyakitnya telat terdeteksi,
kondisi dia udah stadium akut. Peluang sembuhnya nol.
“Dia udah nyiapin wasiatnya buat keluarga, yang salah
satunya merahasiakan kematiannya dari orang banyak, termasuk ko. Selain keluarga
besarnya, cuma Denada yang tahu. Denada juga punya peran penting dalam drama
yang dirancangnya malam pas kalian putus.
“Dia tahu kali sikap ko,
temperamen ko. Karena itu dia juga tahu, akan lebih baik ko ngelupain dia karena
cara putus tidak baik-baik gitu,
ketimbang harus ditinggal mati. Malam itu, dia udah ngerancang semuanya. Dia minta
tolong ke sepupunya buat pura-pura jadi selingkuhan waktu itu. Dia nyuruh
Denada buat mancing ko supaya datang ke tempat itu. Meski dia gak ngeduga kalo
ko ternyata tanpa babibu maen tonjok aja waktu itu, setidaknya misi utamanya
berhasil: ko mutusin dia.
“Farah tu, Raf, sayang kali sama
ko. Kalian dulu sama-sama punya komitmen, kan, kalo seburuk-buruknya kelakuan
pasangan yang paling tak termaafkan, selain jadi ateis, itu selingkuh. Prinsip itu
masih ko pegang sampe sekarang, sering juga ko singgung sikit-sikit dalam
tulisan atau pas kita adu-adu teori.
Rafael tertegun. Diam seperti
patung. Fakta-fakta yang disampaikan Danu betul-betul terlambat dia ketahui. Tak
tahu harus marah atau sedih. Tak tahu dengan cara apa dia harus merespon atau bereaksi
terhadap ini semua. Bahkan sampai mati pun, Farah ternyata masih sayang sama
dia, masih peduli sama dia.
Usai memaparkan kebenarannya,
Danu juga ikut berdiam diri. Di sampingnya, Denada sudah tak menangis lagi
namun napasnya terdengar masih sesak, sisa tangisnya yang belum mereda. Cukup lama
mereka saling diam tanpa berucap sepatah kata pun.
“Setidaknya, aku dah tahu
kebenaran dari semua ini. Makasih, gaes.”
***
Rafael duduk menghadap layar laptop. Lampu kamar yang dimatikan, ditambah iringan musik dark piano dari speaker yang diset pelan menciptakan kondisi sempurna untuknya menulis. Namun jari-jarinya masih mengambang di atas tuts keyboard. Masih belum cukup siap untuk mulai mengetik.
Setidaknya kau dah tau kenyataan sebenarnya, Raf...
Jari-jarinya perlahan mulai mengetik. Di bagian paling atas lembaran word, sepotong kalimat dengan huruf tebal tertulis di sana:
Kepada Perempuan yang Melarangku Berduka
***
* Salah satu karakter di Crows Zero
Daftar Episode:
#1
#2
#3
#4
#5
#6
#7
#9
Komentar
Posting Komentar