Assalamu`alaikum wr wb
Selamat Pagi Kesiangan :D
.
.
.
.
.
Daftar Episode:
#1
#2
#3
#4
#5
#6
#8
#9
Sepotong garis hitam vertikal masih
berkedip konstan di layar. Lembar word kosong di sana seolah menatap balik ke
arahku dengan tatapan kapan-mau-lanjut-nulis-nih?
Bikin pusing. Andai huruf-huruf itu dapat mengetikkan dirinya sendiri, mungkin kegiatan
menulis tak akan jadi semenyebalkan ini. Ide-ide yang bergumul dalam pikiran
masih memaksa untuk segera dieksekusi, tak cukup kompak dengan jari-jariku yang
justru masih enggan untuk mengetik di atas tuts keyboard. Terlalu banyak
alasan!
Kuusapkan jariku di atas touchpad untuk menggerakkan cursor guna
memindahkan tampilan ke tab di sebelahnya. Masih di Microsoft word, namun beda file. Ada dua ribu kata lebih yang sudah
tertulis di file ini. Delapan halaman yang belum juga mencapai klimaks cerita.
Kerangkanya padahal sudah rampung sejak lama, tinggal finishing sedikit lagi. Bisa dibilang, ini cerpen dengan waktu
mangkrak paling lama dibanding yang lain. Ternyata aku punya cukup banyak juga
proyek mangkrak selain tugas akhir :(
Kuambil buku catatan bersampul
hitam milikku di dalam ransel lalu membukanya. Kucari catatan-catatan penting
atau setidaknya informasi progress
cerita ini sebelumnya. Catatan yang kudapati malah tentang betapa banyaknya
cerita-cerita lain yang juga belum selesai. Sial! Aku rasa kata-kata guru
sejarahku sewaktu sekolah dulu ada benarnya juga: aku tipe orang yang gak bisa
fokus.
Saat itu aku dan beberapa teman
berkunjung ke rumah kontrakan guru sejarah kami untuk mendengar beliau
memberikan dongeng tambahan sekalian meminjam
buku koleksi beliau (misi pribadiku hahaha). Satu jam pelajaran Sejarah di
kelas sangat minim bagiku dan beberapa teman lain. Oleh karena itulah,
guru sejarah kami menawarkan untuk berkunjung ke rumah kontrakannya jika ingin
membahas pelajaran di kelas lebih lanjut. Selain suka dengan pelajaran sejarah,
aku sebenarnya juga tertarik dengan cara pandang guruku tersebut terkait
beberapa hal yang kupikir sedikit tidak
biasa, mungkin. “Tapi pak, pacarku
kan cuma satu,” sanggahku waktu itu ketika beliau secara randomnya menyebut aku gak bisa fokus. Kukira
pembahasan masih seputar urusan cewek karena sebelumnya guruku bertanya ke
temanku yang baru saja gagal dalam pedekate dengan salah seorang adik kelas.
“Loh, emangnya yang gak fokus itu
pacarnya harus banyak? Gak gitu,” kata beliau lagi.
Benar juga ternyata, orang yang
gak fokus itu gak mesti yang pacarnya banyak. Orang gak fokus itu bisa saja
orang yang pekerjaannya banyak. . .terbengkalai.
Ketika membalikkan beberapa
halaman, catatan yang kucari akhirnya ketemu. Di sisi kanan atas kertas, tercantum sebuah
tanda khas berupa huruf yang dilingkari: sebuah kode catatan.
Terlalu banyak plot holes
Ceritanya babak belur
Ulang dari nol!1!1!
Eh, apa ini? Bukannya dulu aku
udah yakin banget kalau cerpen ini bakal keren? Kok bisa lupa?
Cerita ini padahal sudah
benar-benar matang dari konsep awalnya. Kubangun kerangka kisah dari inti
permasalahan yang sempat jadi bahan perenunganku beberapa waktu yang lalu.
Cerita ini kubangun dari gagasan soal eksistensiku sebagai seorang manusia, sebagai seorang Aku. Apa yang membuat
aku adalah aku? Apakah aku adalah
nama yang kusandang? Apakah tubuh yang kugunakan adalah aku? Apakah pikiran dan ingatan yang kumiliki adalah aku? Apakah jiwaku, bentuk tak kasat
mata yang berupa roh, adalah aku?
“Tulisan tangan kau jelek
kali lah.”
Kulirik ke arah samping. Seorang kampret lain ternyata sudah duduk di
sampingku sambil celingukan melihat buku catatanku.
“Dari mana ko, Raf?”
“Dari yakinku teguh...”
“Jangan malah nyanyi, kampret!”
Kutoyor kepalanya. Dia tak
membalas. Hanya cekikikan dengan senyum
iblis khasnya—aku sebenarnya juga punya senyum
iblis sendiri tapi versiku sedikit berbeda dari versi Rafael.
“Bukannya skripsian malah
ngerjain yang lain pulak,” kata Rafael “mana judulnya biasa gitu lagi.”
“Memangnya judul yang gak biasa itu yang kayak gimana?” tanyaku. Tak
kusangka, Rafael ternyata sudah membuka laptopnya yang kemudian disodorkannya
padaku. Layar di dalamnya menampilkan lembar word dengan sebuah judul pada halaman atas yang ditebalkan:
Seorang Anak yang Bercita-cita jadi Penjahat Kelamin.
Seorang Anak yang Bercita-cita jadi Penjahat Kelamin.
“Ko mau buat cerpen apa artikel line today?”
“Kita harus bisa menarik minat
baca pembaca sejak awal supaya mereka lebih tertarik buat membaca, Re.”
“Lebih mirip clickbait rasaku.”
“Tapi dari judulnya kau udah bisa
nebak jalan ceritanya tentang apa kan?”
“Iya, sih.”
“See? Beginilah seharusnya cara membangun imajinasi pembaca.”
“Bacot, ah.” Kuabaikan Rafael. Buku
catatan bersampul hitamku telah kumasukkan kembali ke dalam ransel, fokusku
kembali lagi pada layar notebook-ku
sendiri di depan. Gimana cara ngulang
dari nol-nya kalo holes di mana-mana gini yak?
“Stuck lagi?”
“Hmm.” Balasku. Rafael celingukan lagi. Kali
ini dia tampaknya membaca tulisan dengan font merah yang sebenarnya kata-kata
dari buku catatanku tadi yang sudah kusalin.
“Kau kayaknya merasa terikat dengan cerita yang belum
selesai.”
“Bukan merasa terikat tapi aku emang terikat. Aku gak bisa ngabaikan satu
tulisan yang gak selesai-selesai kayak gini. Mau selama apapun nanti baru
kelarnya, tulisan ini mesti kelar. Aku gak bisa ninggalin sesuatu yang belum
kelar.”
“Itu artinya emang merasa terikat. Kau harusnya merasa
terikat sama cerita yang sudah selesai, bukan yang belum selesai. Dan sialnya,
cerita yang belum selesai tu banyak. Kau merasa
terikat sama semua cerita yang belum selesai itu. Jangan merasa terikat
sama cerita yang belum selesai, gak peduli sudah berapa jauh cerita udah
berjalan.” Kampret-kampret begini, ada benernya juga sih. Meski aku ngerasa
bakalan ada sesuatu nantinya.
“Okay, I`m listening.”
“Aku udah pernah bilang belum
sama kau kalau kau tu serakah?”
Baru tadi kepikiran hal yang
kayak gini, dapat ceramah soal ginian juga akhirnya.
“Belum.”
“Ha, gini ya. Kau tu terlalu serakah menurut aku, mengolah
semua ide yang muncul di otak kau langsung gitu aja. Eksekusi ide itu emang
penting. Lebih penting lagi menyelesaikan satu ide terlebih dahulu sebelum
lanjut ke yang lainnya. Guna buku catatan, sticky
notes, atau apalah gitu bentuknya yang punya kau, itu mestinya untuk menyimpan ide terlebih dahulu, sebelum
kau eksekusi.”
“Hmm, noticed! Selain temperamental ko bisa bijak juga ya, kampret?”
“Kau yang kampret!” kali ini aku
yang ditoyor. “Tabiat kau soal merasa
terikat dengan cerita yang belum selesai tu sama kayak cara kau ngehadapi dia.”
Oke, here we go. Ujung-ujungnya kuliah soal asmara lagi, bung!
“Aku gak pernah merasa terikat
sama dia,”
“Suggested Search di Instagram susah dihapus, kan?” Kampret, aku
baru ingat dia bisa ngakses akun Instagramku. “Sebelumnya aku dah bilangin
sama kau supaya gak nerima dia balik
lagi, kau pulak sok merasa this is the
way, she is the one lah pas
dibilangin. Kalian belum mulai cerita apa-apa, Re.” Kali ini Rafael ngakak. Gak
tau kenapa. Tapi aku kesal. Kesal karena dia ngakak. Kesal karena dia masih aja
ngomentari soal urusan aku. Terlebih, aku kesal karena dia kemungkinan ada benarnya. Rafael kemudian melanjutkan lagi:
“Kau tu mestinya ikut saran aku,
gak lanjut berhubungan sama dia. She`s out of your league, but she doesn`t deserve you. Egonya
lebih parah dari kau, dan lagi, dunia dia juga beda sama dunia kau.”
“Ko kira dia jin apa?”
“You know exactly what i mean.”
“Aku emang udah gada ngehubungin
dia lagi kok.” kataku membela diri.
“Karena kau udah sadar, atau
karena kau sekarang dah jadi anti-sosial.”
“Maksud ko?”
“Clara bilang katanya kau suka
hibernasi pasca penelitian kemaren, makanya kau ada minta resep obat tertentu
sama dia.”
“Jadi ini alasan sebenarnya kau
tiba-tiba muncul di sini?” Udah curiga juga aku dari awal. Aku ke sini karena
aku fakir wifi, sementara Rafael bukan fakir wifi. Jadi gak mungkin dia ke sini karena dia
mau connect wifi kayak aku juga.
“Yaah, bisa dibilang gitu.”
“Sialan klen. Kan aku dah bilang
sama klen buat gak kasi komentar apapun lagi soal urusan pribadi aku. Apalagi ko,
Raf. Selera ko sendiri gak bagus.”
“Kau bilangnya kami gak boleh
komen tapi kau ngomen selera aku pulak. Ko lupa alasan aku main Instagram kau?”
Aku ingat benar alasannya : untuk nge-stalk cewek yang udah lama dia taksir tapi dianya males nge-follow dengan alasan mutual follower-nya cuma aku, terlalu
kentara. Cewek itu, memiliki poin 9 dari skala 10 perfect woman dari segi fisik versi Danu. Wajah cantik flawless itu nilainya 8. Cantik plus badannya body goals (untuk tidak menyebut sexy karena sexy itu sex yang diberi akhiran -y, kira-kira begitu) nilainya 9—fyi, kali aja pengin tahu, dia poinnya 8,5. Iya pulak ya.
“Serah lah.”
“Cantik itu gak segalanya, Re. Tau
nyo kami dia tu super good-looking
kali di mata ko. Tapi attitude dan
kepekaan sosialnya lemah. Kepribadian dia juga bermasalah...yaah meskipun kau
juga sama sih hahahaha.” Lagi-lagi Rafael ngakak. Lagi-lagi aku kesal mendengar
dia ngakak.
“Sok peka, ko!”
“Emang aku peka,” sahut Rafael
gak mau kalah.
“Yalahyalah, serah lah. Kan intinya
aku dah beneran gak ada berhubungan lagi sama dia sama sekali.”
“Setahun lalu aku pernah dengar
kalimat ini tentang orang yang sama deh kayaknya.”
“Jan mulai deh, Raf.”
Sekali lagi, Rafael ngakak. Sekali
lagi, aku kesal dibuatnya. Dan sekali lagi, tulisanku belum juga kelar...
..
.
.
.
.
Daftar Episode:
#1
#2
#3
#4
#5
#6
#8
#9
Komentar
Posting Komentar