Writer`s Block #7

Assalamu`alaikum wr wb
Selamat Pagi Kesiangan :D






Sepotong garis hitam vertikal masih berkedip konstan di layar. Lembar word kosong di sana seolah menatap balik ke arahku dengan tatapan kapan-mau-lanjut-nulis-nih? Bikin pusing. Andai huruf-huruf itu dapat mengetikkan dirinya sendiri, mungkin kegiatan menulis tak akan jadi semenyebalkan ini. Ide-ide yang bergumul dalam pikiran masih memaksa untuk segera dieksekusi, tak cukup kompak dengan jari-jariku yang justru masih enggan untuk mengetik di atas tuts keyboard. Terlalu banyak alasan!



Kuusapkan jariku di atas touchpad untuk menggerakkan cursor guna memindahkan tampilan ke tab di sebelahnya. Masih di Microsoft word, namun beda file. Ada dua ribu kata lebih yang sudah tertulis di file ini. Delapan halaman yang belum juga mencapai klimaks cerita. Kerangkanya padahal sudah rampung sejak lama, tinggal finishing sedikit lagi. Bisa dibilang, ini cerpen dengan waktu mangkrak paling lama dibanding yang lain. Ternyata aku punya cukup banyak juga proyek mangkrak selain tugas akhir :(



Kuambil buku catatan bersampul hitam milikku di dalam ransel lalu membukanya. Kucari catatan-catatan penting atau setidaknya informasi progress cerita ini sebelumnya. Catatan yang kudapati malah tentang betapa banyaknya cerita-cerita lain yang juga belum selesai. Sial! Aku rasa kata-kata guru sejarahku sewaktu sekolah dulu ada benarnya juga: aku tipe orang yang gak bisa fokus.


Saat itu aku dan beberapa teman berkunjung ke rumah kontrakan guru sejarah kami untuk mendengar beliau memberikan dongeng tambahan sekalian meminjam buku koleksi beliau (misi pribadiku hahaha). Satu jam pelajaran Sejarah di kelas sangat minim bagiku dan beberapa teman lain. Oleh karena itulah, guru sejarah kami menawarkan untuk berkunjung ke rumah kontrakannya jika ingin membahas pelajaran di kelas lebih lanjut. Selain suka dengan pelajaran sejarah, aku sebenarnya juga tertarik dengan cara pandang guruku tersebut terkait beberapa hal yang kupikir sedikit tidak biasa, mungkin. “Tapi pak, pacarku kan cuma satu,” sanggahku waktu itu ketika beliau secara randomnya menyebut aku gak bisa fokus. Kukira pembahasan masih seputar urusan cewek karena sebelumnya guruku bertanya ke temanku yang baru saja gagal dalam pedekate dengan salah seorang adik kelas.

“Loh, emangnya yang gak fokus itu pacarnya harus banyak? Gak gitu,” kata beliau lagi.

Benar juga ternyata, orang yang gak fokus itu gak mesti yang pacarnya banyak. Orang gak fokus itu bisa saja orang yang pekerjaannya banyak. . .terbengkalai.

Ketika membalikkan beberapa halaman, catatan yang kucari akhirnya ketemu. Di sisi kanan atas kertas, tercantum sebuah tanda khas berupa huruf yang dilingkari: sebuah kode catatan.

Terlalu banyak plot holes
Ceritanya babak belur
Ulang dari nol!1!1!

Eh, apa ini? Bukannya dulu aku udah yakin banget kalau cerpen ini bakal keren? Kok bisa lupa?

Cerita ini padahal sudah benar-benar matang dari konsep awalnya. Kubangun kerangka kisah dari inti permasalahan yang sempat jadi bahan perenunganku beberapa waktu yang lalu. Cerita ini kubangun dari gagasan soal eksistensiku sebagai seorang manusia, sebagai seorang Aku. Apa yang membuat aku adalah aku? Apakah aku adalah nama yang kusandang? Apakah tubuh yang kugunakan adalah aku? Apakah pikiran dan ingatan yang kumiliki adalah aku? Apakah jiwaku, bentuk tak kasat mata yang berupa roh, adalah aku?

Tulisan tangan kau jelek kali lah.”

Kulirik ke arah samping. Seorang kampret lain ternyata sudah duduk di sampingku sambil celingukan melihat buku catatanku.

“Dari mana ko, Raf?”
“Dari yakinku teguh...”
“Jangan malah nyanyi, kampret!”

Kutoyor kepalanya. Dia tak membalas. Hanya cekikikan dengan senyum iblis khasnya—aku sebenarnya juga punya senyum iblis sendiri tapi versiku sedikit berbeda dari versi Rafael.

“Bukannya skripsian malah ngerjain yang lain pulak,” kata Rafael “mana judulnya biasa gitu lagi.”
“Memangnya judul yang gak biasa itu yang kayak gimana?” tanyaku. Tak kusangka, Rafael ternyata sudah membuka laptopnya yang kemudian disodorkannya padaku. Layar di dalamnya menampilkan lembar word dengan sebuah judul pada halaman atas yang ditebalkan:

Seorang Anak yang Bercita-cita jadi Penjahat Kelamin.

“Ko mau buat cerpen apa artikel line today?”
“Kita harus bisa menarik minat baca pembaca sejak awal supaya mereka lebih tertarik buat membaca, Re.”
“Lebih mirip clickbait rasaku.”
“Tapi dari judulnya kau udah bisa nebak jalan ceritanya tentang apa kan?”
“Iya, sih.”
See? Beginilah seharusnya cara membangun imajinasi pembaca.”
“Bacot, ah.” Kuabaikan Rafael. Buku catatan bersampul hitamku telah kumasukkan kembali ke dalam ransel, fokusku kembali lagi pada layar notebook-ku sendiri di depan. Gimana cara ngulang dari nol-nya kalo holes di mana-mana gini yak?

Stuck lagi?”
“Hmm.” Balasku. Rafael celingukan lagi. Kali ini dia tampaknya membaca tulisan dengan font merah yang sebenarnya kata-kata dari buku catatanku tadi yang sudah kusalin.
“Kau kayaknya merasa terikat dengan cerita yang belum selesai.”
“Bukan merasa terikat tapi aku emang terikat. Aku gak bisa ngabaikan satu tulisan yang gak selesai-selesai kayak gini. Mau selama apapun nanti baru kelarnya, tulisan ini mesti kelar. Aku gak bisa ninggalin sesuatu yang belum kelar.”
“Itu artinya emang merasa terikat. Kau harusnya merasa terikat sama cerita yang sudah selesai, bukan yang belum selesai. Dan sialnya, cerita yang belum selesai tu banyak. Kau merasa terikat sama semua cerita yang belum selesai itu. Jangan merasa terikat sama cerita yang belum selesai, gak peduli sudah berapa jauh cerita udah berjalan.” Kampret-kampret begini, ada benernya juga sih. Meski aku ngerasa bakalan ada sesuatu nantinya.

Okay, I`m listening.”
“Aku udah pernah bilang belum sama kau kalau kau tu serakah?”

Baru tadi kepikiran hal yang kayak gini, dapat ceramah soal ginian juga akhirnya.

“Belum.”
“Ha, gini ya. Kau tu terlalu serakah menurut aku, mengolah semua ide yang muncul di otak kau langsung gitu aja. Eksekusi ide itu emang penting. Lebih penting lagi menyelesaikan satu ide terlebih dahulu sebelum lanjut ke yang lainnya. Guna buku catatan, sticky notes, atau apalah gitu bentuknya yang punya kau, itu mestinya untuk menyimpan ide terlebih dahulu, sebelum kau eksekusi.”

“Hmm, noticed! Selain temperamental ko bisa bijak juga ya, kampret?
“Kau yang kampret!” kali ini aku yang ditoyor. “Tabiat kau soal merasa terikat dengan cerita yang belum selesai tu sama kayak cara kau ngehadapi dia.”

Oke, here we go. Ujung-ujungnya kuliah soal asmara lagi, bung!

“Aku gak pernah merasa terikat sama dia,”
Suggested Search di Instagram susah dihapus, kan?” Kampret, aku baru ingat dia bisa ngakses akun Instagramku. “Sebelumnya aku dah bilangin sama kau supaya gak nerima dia balik lagi, kau pulak sok merasa this is the way, she is the one lah pas dibilangin. Kalian belum mulai cerita apa-apa, Re.” Kali ini Rafael ngakak. Gak tau kenapa. Tapi aku kesal. Kesal karena dia ngakak. Kesal karena dia masih aja ngomentari soal urusan aku. Terlebih, aku kesal karena dia kemungkinan ada benarnya. Rafael kemudian melanjutkan lagi:

“Kau tu mestinya ikut saran aku, gak lanjut berhubungan sama dia. She`s out of your league, but she doesn`t deserve you. Egonya lebih parah dari kau, dan lagi, dunia dia juga beda sama dunia kau.
“Ko kira dia jin apa?”
You know exactly what i mean.”
“Aku emang udah gada ngehubungin dia lagi kok.” kataku membela diri.
“Karena kau udah sadar, atau karena kau sekarang dah jadi anti-sosial.”
“Maksud ko?”
“Clara bilang katanya kau suka hibernasi pasca penelitian kemaren, makanya kau ada minta resep obat tertentu sama dia.”
“Jadi ini alasan sebenarnya kau tiba-tiba muncul di sini?” Udah curiga juga aku dari awal. Aku ke sini karena aku fakir wifi, sementara Rafael bukan fakir wifi. Jadi gak mungkin dia ke sini karena dia mau connect wifi kayak aku juga.

“Yaah, bisa dibilang gitu.”
“Sialan klen. Kan aku dah bilang sama klen buat gak kasi komentar apapun lagi soal urusan pribadi aku. Apalagi ko, Raf. Selera ko sendiri gak bagus.”
“Kau bilangnya kami gak boleh komen tapi kau ngomen selera aku pulak. Ko lupa alasan aku main Instagram kau?”


Aku ingat benar alasannya : untuk nge-stalk cewek yang udah lama dia taksir tapi dianya males nge-follow dengan alasan mutual follower-nya cuma aku, terlalu kentara. Cewek itu, memiliki poin 9 dari skala 10 perfect woman dari segi fisik versi Danu. Wajah cantik flawless itu nilainya 8. Cantik plus badannya body goals (untuk tidak menyebut sexy karena sexy itu sex yang diberi akhiran -y, kira-kira begitu) nilainya 9fyi, kali aja pengin tahu, dia poinnya 8,5. Iya pulak ya.

“Serah lah.”
“Cantik itu gak segalanya, Re. Tau nyo kami dia tu super good-looking kali di mata ko. Tapi attitude dan kepekaan sosialnya lemah. Kepribadian dia juga bermasalah...yaah meskipun kau juga sama sih hahahaha.” Lagi-lagi Rafael ngakak. Lagi-lagi aku kesal mendengar dia ngakak.

“Sok peka, ko!”
“Emang aku peka,” sahut Rafael gak mau kalah.
“Yalahyalah, serah lah. Kan intinya aku dah beneran gak ada berhubungan lagi sama dia sama sekali.”
“Setahun lalu aku pernah dengar kalimat ini tentang orang yang sama deh kayaknya.”
“Jan mulai deh, Raf.”

Sekali lagi, Rafael ngakak. Sekali lagi, aku kesal dibuatnya. Dan sekali lagi, tulisanku belum juga kelar...
.
.
.
.
.
.
Daftar Episode:
#1

#2
#3 
#4 
#5 
#6 
#8  
#9

Komentar