Inspirasi Seorang Pencandu

Assalamu`alaikum wr wb
Selamat Pagi Kesiangan :D







Saya mulai mengisap pelan uap yang meliuk-liuk di dalam bong setelah mencapai kesadaran yang lumayan untuk memulai rutinitas pagi. Tak perlu cuci muka, sikat gigi, ganti baju atau bahkan mandi. Saya hanya perlu mengucek kedua belah mata, memastikan tidak ada belek yang menempel di sekitarnya kemudian menjalani ritual rutin saya. Di dalam kamar sederhana berukuran 4 x 4 meter lengkap dengan kamar mandi, asap mengepul dari mulut saya seperti lokomotif kereta api jaman dulu. Sebentar saja, ruangan kamar tidur saya sudah dilingkupi kabut putih tipis. Uuhh. . . nikmatnya.

Bicara soal asap, biar bagaimanapun, asap sabu-sabu yang mengalir dari mulut saya jelas lebih manusiawi ketimbang asap pembakaran hutan, kan? Asap ini hanya mengepul di dalam kamar saya. Keluar sedikit demi sedikit melalui ventilasi kamar saya yang berada di lantai kedua indekos ini menuju udara bebas. Tidak ada orang lain yang akan mabuk selain saya. Tidak ada pula yang akan curiga jika saya tengah nyabu di dalam kamar. Teman-teman saya di kamar sebelah yang kebetulan melihat ada asap keluar dari kamar saya juga pastinya akan mengira ini hanyalah asap dari rokok elektrik yang biasa saya gunakan jika berada di luar.

Kemarin sore, saya membaca sebuah poster menarik di tepi jalan sepulang dari kampus. Desainnya sederhana. Warna merah yang mendominasi keseluruhan kertas poster tersebut menjadikannya terlihat sangat semarak ketimbang poster iklan rokok di sebelahnya. “Menyelamatkan Indonesia,” begitu tulisan di poster tersebut. Menyelamatkan Indonesia? Dari apa? Dari siapa? Kapan? Memangnya Indonesia kenapa? Apa Indonesia perlu diselamatkan? Terlebih, apa Indonesia ingin diselamatkan?

Rentetan pertanyaan tentang menyelamatkan Indonesia—yang saya juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi—ini membuat saya kesulitan tidur malam harinya dan menimbulkan rasa kesal. Kesal karena tidak bisa tidur. Semakin keras saya berusaha tidur, semakin saya diliputi rasa kesal. Ketika saya semakin kesal dan tidak bisa tidur, saya jadi bertanya-tanya. Apakah ada orang-orang lain di luar sana yang berpikir tentang menyelamatkan Indonesia dan tidak bisa tidur juga?

Maka, setelah berhasil tidur karena kelelahan berpikir, saat bangun saya memutuskan untuk serius memikirkan tentang menyelamatkan Indonesia. Dengan persediaan sabu-sabu yang baru saya beli seminggu yang lalu, saya nyabu. Mencari inspirasi. Dengan harapan, saya bisa menemukan tentang apa dan bagaimana menyelamatkan Indonesia.

Menyelamatkan Indonesia, dari apa?

Asap yang mengepul entah mengapa kian menebal, menghalangi pandangan. Saya mencari-cari tombol kipas angin yang mestinya tidak jauh dari jangkauan saya guna mengaburkan sedikit ketebalan asap. Tangan saya terus meraba-raba di lantai keramik kamar. Begitu dirasa jari saya menyentuh benda seperti tombol, saya langsung menekannya. Dalam sekejap, angin sepoi-sepoi meniup udara di sekitar. Mengaburkan perlahan asap dalam ruangan. Saya memejamkan mata, menikmati aroma sabu-sabu; aroma surgawi.

Angin yang berputar dari kipas angin terasa semakin kencang. Saya tiba-tiba tidak mencium aroma  sabu-sabu, berganti dengan aroma yang. . .seperti aroma laut. Ketika membuka mata, tampak jelas keterkejutan saya mendapati diri saya tengah duduk di atas hamparan pantai yang hanya berjarak beberapa langkah dari batas air. Suara ombak yang mencapai tepian pantai memecah bersama suara kawanan burung camar. Saya panik. ASTAGA! DI MANA BONG SAYA????

Saya sibuk mencari kemana-mana bong saya. Di dalam baju, tidak ada. Di saku celana pendek saya, juga tidak ada. Benda kecil itu mestinya tidak mudah hilang begitu saja. Saya berjalan kesana kemari mencari bong saya. Hanya ada pasir dan laut sepanjang mata memandang. Tidak ada pohon, apalagi bangunan di sekitar. Saya jadi bingung, di tempat apa saya berada sekarang. Lebih lagi, saya bingung di mana bong saya berada.

Saya susuri tepian pantai yang seolah tidak putus-putus ini mencari bong saya. Panas. Dari kejauhan, mulai tampak satu dua perahu nelayan dan dermaga di seberang. Ingin saya bertanya pada nelayan di perahunya itu apakah mereka melihat bong saya apa tidak, tapi saya ragu mereka dapat mendengar jika saya berteriak dari sini. Saya harus fokus mencari bong saya.

Capek. Saya tidak menemukan bong saya tapi saya menemukan plang berwarna putih dari besi tertancap di atas pasir.

PULAU REKLAMASI B

Saya mungkin sedang sedikit teler, tapi saya tahu apa itu Reklamasi. Reklamasi adalah gabungan dari kata Reformasi dan Proklamasi. Berarti, pulau ini bisa dikatakan sejenis pulau peringatan perjuangan Reformasi dan Proklamasi Indonesia. Huruf B di situ pastilah inisial untuk Bong. Wah, ini pas sekali dengan misi pencarian saya tentang menyelamatkan Indonesia dan juga mencari bong saya yang hilang. Luar biasa!

Pulau ini sepi. Saya tidak bisa menemukan ada orang lain atau makhluk lain berada di sini. Hanya pasir dan pasir. Awalnya saya curiga, mungkin pulau ini dulunya adalah hutan yang habis dibakar untuk dijadikan lahan perkebunan. Jangankan pohon, rumput sekalipun tidak ada. Tapi jika benar pulau ini dulu adalah hutan yang habis dibakar, pasir di sini saya rasa tidak cocok untuk ditanami sawit, akasia atau juga eucalyptus. Lalu kenapa pulau ini dinamai Pulau Reklamasi, ya?

Saya akhirnya memutuskan untuk berhenti mencari bong saya. Besok-besok saya mungkin bisa beli atau buat yang baru lagi. Saya duduk di atas pasir, berselonjor menghadap ke arah laut.
Ahh, menyelamatkan Indonesia. Bagaimana saya bisa menyelamatkan Indonesia sementara bong saya sendiri hilang entah kemana? Mungkin, Indonesia seperti bong saya yang hilang: cuma saya yang peduli.

Di televisi beberapa waktu lalu, saya lihat betapa semerawutnya hukum di Indonesia. Tentang narkoba saja misalnya, kemarin saya lihat seorang seorang bandar besar dihukum mati. Di berita lain, anak-anak muda pengangguran yang ketangkap ngelem diciduk aparat dengan cara kasar tak ubahnya binatang buruan.

Saya beruntung bisa sembunyi-sembunyi menggunakan—yang kata orang—barang haram ini. Jika tidak, mungkin saya sudah diseret dan dipukuli oleh tim buru sergap ketika sedang nyabu di kamar kos. Padahal, dalam waktu yang tidak terlalu lama juga pernah ditemukan beberapa bong dan bungkusan sisa ekstasi di dalam gedung kantor wakil rakyat  yang disinyalir milik salah seorang oknum anggota dewan. Di daerah lain, seorang kepala daerahnya menjadi tersangka karena tertangkap menggunakan narkoba. Tapi apa kemudian yang terjadi dengan mereka? Mereka masih bisa tersenyum di depan kamera, keluar masuk gedung pemerintahan sementara pengguna narkoba lain keluar masuk panti rehabilitasi atau malah lembaga pemasyarakatan.

Indonesia ini tidak adil!

Tapi Indonesia tetap harus diselamatkan.

Oh iya. Bicara soal menyelamatkan, saya teringat dengan salah satu video musik di internet. Sebuah gubahan lagu bergenre hiphop bercerita tentang sekelompok pemuda yang aktif di situs video tersebut berusaha menyelamatkan anak bangsa dari pertelevisian Indonesia. Ya, menyelamatkan Indonesia. Menyelamatkan generasi penerus bangsa dari acara televisi yang penuh sinetron percintaan tidak mendidik dengan lagu yang liriknya mengandung kalimat hujatan nan kasar? Tidak. Sama sekali tidak.  Mereka tidak menyelamatkan Indonesia. Mereka hanya menyelamatkan akun  mereka agar tetap banyak yang menonton sehingga mereka mendapat keuntungan komersil dari pemasangan iklan-iklan. Sampah!

Seekor burung camar terbang rendah di atas permukaan air untuk sesaat lalu kemudian melayang lagi ke atas. Beberapa detik kemudian, burung tadi sudah terbang menukik ke dalam laut lalu keluar dengan paruh berisi ikan kecil. Sepertinya, jika saya terjun ke laut panas-panas begini seru juga.
Saya kemudian berdiri, lalu berlari ke tepian untuk terjun ke dalam air. Ahh, segarnya. Saya berenang kesana kemari dengan gembira. Melupakan sejenak perihal menyelamatkan Indonesia. Air laut berwarna biru gelap karena pasir yang menutupi terumbu karang di bawah sehingga menyebabkan laut jadi lebih mudah keruh. Tidak ada ikan-ikan kecil yang dapat saya lihat sejauh ini. Hebat sekali burung camar yang tadi bisa melihat ikan di air sekeruh ini.

Saya naik sebentar ke permukaan, menarik napas sekuat yang saya mampu lalu menyelam kembali ke bawah. Pandangan saya bertamasya menyusuri keremangan di bawah air. Mengurai sedikit demi sedikit kotoran di sekitar untuk melihat lebih jelas. Anehnya, semakin jauh ke bawah saya menyelam, semakin saya dapat melihat dengan jelas. Pasir hitam menggumpal di bawah ketika saya sudah mencapai bagian dasar.

Ketika kaki saya menjejak di atas pasir hitam tersebut, sekonyong-konyong saja kedua belah kaki saya sudah dibelit sesuatu yang lengket. Saya kaget. Saya coba pegang benda lengket yang menempel di kaki saya tersebut tapi licin. Kedua kaki saya lalu ditarik ke dalam pasir hitam oleh benda lengket tersebut. Saya meronta-ronta. Gelembung udara berdesakan keluar dari mulut saya. Semakin kuat saya mencoba membebaskan diri, semakin banyak udara yang keluar. Saya kehabisan napas. Hal selanjutnya yang saya ingat sebelum kehilangan kesadaran, saya sudah menenggak banyak air laut dan kehabisan napas. Tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya pada diri saya.

Tetesan air yang jatuh menimpa wajah saya sedikit demi sedikit mengembalikan kesadaran. Saya terbangun, mendapati tubuh saya sekarang tengah terduduk di lantai semen. Di sekitar, tampak ruangan saya berada ini merupakan terowongan panjang. Di bagian tengah, tak jauh dari tempat saya terbaring, aliran air berwarna hitam menguarkan aroma busuk. Langit-langit tempat tetesan air tadi berasal berada dekat sebuah pintu putar kecil mirip di kapal selam. Tangga besi dengan anak tangga berlumut menempel di dekat dinding.

Begitu mulai dapat mengidentifikasi lingkungan sekitar, saya mulai mencari-cari di mana benda lengket yang menarik saya ke dalam pasir hitam sebelumnya. Saya sempat berfikir benda itu adalah ular, tapi ular tidak ada yang selengket itu. Lagipula, untuk orang yang tidak pernah dibelit hutang, dibelit benda lengket seperti itu sangat terasa aneh. Aneh dan bikin penasaran.

Aroma tak sedap di dalam terowongan ini memaksa saya untuk melupakan mencari benda lengket tadi dan mulai keluar dari sini. Saya panjat tangga besi di dinding lalu memutar tuas pintunya. Dengan sedikit dorongan, pintu besi tersebut terbuka ke atas disertai bunyi berdebam. Saya merangkak pelan ke atas. Menghirup aroma segar udara luar.

Hari terlihat sudah malam. Langit gelap membentang luas tanpa titik kecil cahaya bintang ataupun bulan di atas sana. Gedung-gedung menjulang pencakar langit berhias lampu kerlap-kerlip tampak mewah di kejauhan. Saya sedikit asing dengan pemandangan ini. Siapa yang kurang kerjaan meletakkan lampu kerlap-kerlip di gedung-gedung itu?

Perut saya sudah berbunyi. Saya lapar. Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya makan. Yang saya ingat, jika perut saya sudah berbunyi itu artinya saya sudah sangat lapar.

Di seberang jalan, terlihat sebuah bangunan kecil dengan spanduk bertuliskan huruf yang tidak saya pahami. Bentuknya terdiri dari kombinasi beberapa garis lurus dan melengkung yang beragam, tidak mirip sama sekali dengan huruf yang biasanya saya lihat. Cahaya lampu dari bangunan tersebut menjadi satu-satunya cahaya di sekitar selain dari lampu jalan. Tak ada bangunan lain di sekelilingnya. Hanya lapangan kosong membentang di kiri dan kanan.

Didorong rasa lapar yang begitu kuat, saya menyeberangi jalanan yang lengang. Sedikit malu-malu, saya beranikan diri masuk ke dalam melewati pintu geser kaca. Bunyi gemerincing lonceng terdengar pelan. Sebuah restoran ternyata. Tepat di depan saya, seorang pria paruh baya berpakaian putih dan mengenakan topi yang mirip kopiah berwarna putih juga, tersenyum menyambut kedatangan saya di belakang meja kasir. Di atasnya, sebuah neon box menampilkan beberapa gambar makanan dengan tulisan huruf aneh di sebelahnya.

Sedikit ragu-ragu, saya melangkah juga menuju meja kasir lalu duduk di atas kursi putar di depannya.
“Om, pesan mie yang itu, Om,” kata saya seraya menunjuk gambar mie dengan banyak daging dan sayur di neon box. Kepala pria paruh baya itu menengadah, lalu kemudian balik menatap saya. Tersenyum. Setelah saya perhatikan baik-baik, pria di depan saya ini mirip paman pemilik kedai mie ramen di serial anime Jepang favorit saya. Kedua matanya tampak sangat sipit. Ketika tersenyum, matanya membentuk garis tipis yang saya curigai jangan-jangan di baliknya tidak ada bola mata sama sekali. Hiiii, seram.

Pria paruh baya di depan saya berlalu ke belakang sebentar, seperti memanggil seseorang—dengan bahasa yang saya tidak pahami—kemudian kembali lagi ke meja kasir. Tersenyum. Saya balik tersenyum, canggung.  Pria paruh baya tersebut kemudian menuangkan air putih ke dalam gelas lalu menyodorkannya ke arah saya. Saya mengangguk-angguk, tersenyum kikuk.

Seorang perempuan muda mengenakan pakaian putih yang sama dengan si pria paruh baya datang dari belakang membawa sebuah mangkok besar dengan nampan. Dengan hati-hati, diletakkannya mangkok tersebut bersama sepasang sumpit yang dibungkus tisu. Tanpa berbasa-basi, saya langsung melepas sumpit dari bungkusan tisu. Menjepitkan keduanya di sisi-sisi jari untuk segera menyantap pesanan saya. Mangkok besar ini berisi mie dengan porsi sangat besar. Beberapa telur puyuh rebus, potongan daging dan sayuran hijau menambah semarak mie di dalam mangkok.

Saya tengah sibuk menyedot mie yang menggelantung panjang dari mangkok ke mulut saya saat si perempuan muda yang ternyata tadi belum beranjak selepas mengantar pesanan saya rupanya tengah duduk di depan, bertanya “Sudah menemukan yang kamu cari?”

Saya berhenti menyedot mie. Memerhatikan wajah perempuan muda di hadapan. Kulitnya putih bersih, dengan pipi kemerahan dan bibir dengan warna merah yang lebih menggelora. Matanya bulat, terbuka. Tidak mirip dengan lelaki paruh baya di sampingnya yang dari tadi tersenyum kepada saya tanpa menunjukkan keberadaan dua bola indera penglihatannya. Bentuk wajahnya seperti perempuan kebanyakan, yang membedakannya mungkin cuma rambut berwarna jingga bak langit senja yang dikuncir kuda ke belakang.

“Menemukan apa?” tanya saya balik. Tidak paham dengan pertanyaan yang diajukan.
“Menemukan sesuatu yang jadi awal perjalanan kamu hingga ke sini,” katanya lagi.
Saya berpikir keras, menebak-nebak apa yang kira-kira ditanyakan oleh perempuan  di depanku ini. Ohh, mungkin maksudnya bong!
“Bukan bong kamu,” ucap perempuan itu, seperti tahu apa yang akan saya ucapkan “menemukan cara menyelamatkan Indonesia.”

Untuk sesaat, saya berhenti menyuap mie ke dalam mulut. Ajaib, dia bisa membaca apa yang saya pikirkan. Perempuan ini pasti dukun!

“Belum,” jawab saya singkat. Acuh tak acuh. Jika perempuan ini memang dukun, mestinya dia tidak perlu bertanya seperti itu, kan, dia juga tahu jawabannya apa. Pertanyaan yang membuang-buang waktu saja. Aneh.
“Dan kamu tahu kenapa kamu belum menemukannya?”
“Karena saya memang belum menemukannya, makanya saya belum menemukannya. Kurang lebih seperti itu,” saya menjawab, sambil kembali menjepitkan sumpit pada mie untuk saya makan.
“Kamu belum menemukannya, karena kamu sendiri sebenarnya juga belum selamat.”

Oke, saya tahu arah pembicaraan ini. Dialog selanjutnya adalah kultum tentang bahaya narkoba dan pentingnya menjadi baik dahulu sebelum memperbaiki hal lain. Singkatnya, perempuan ini akan mengatakan bahwa orang yang belum sesempurna malaikat tidak berhak untuk menyelamatkan Indonesia seperti yang saya pikirkan. Perempuan ini akan berbicara tentang ironi yang terjadi pada saya. Ironi seorang pencandu yang mencoba menyelamatkan negara.

“Apa saya tidak boleh berbuat kebaikan untuk negara jika saya bukanlah orang baik, jika saya seorang pencandu narkoba? Apa harus menjadi suci terlebih dahulu sebelum berbuat kebaikan?” Saya kembali makan. Kesal juga saya dengan tanggapan perempuan dukun yang sok tahu ini mencoba menghakimi saya. Saya jadi sangat bernafsu untuk menandaskan isi mangkok mie saya.

“Saya tidak mengatakan kamu tidak boleh menyelamatkan Indonesia meski kamu bukan orang baik,” kata perempuan dukun ini “lagipula saya tidak mengatakan kamu orang tidak baik, kok. Kamu juga salah jika beranggapan bahwa saya tipe orang yang berpandangan bahwa orang yang melakukan kebaikan mestilah orang yang suci dari dosa.”

“Eee, intinya apa, ya ?” tanya saya sambil mengunyah “tolong jangan bertele-tele. Kepala saya pusing nih mendengar kata-kata kamu.”
“Maksud saya adalah, kamu mesti menyelamatkan diri kamu terlebih dahulu sebelum menyelamatkan Indonesia sebab kamu juga bagian dari Indonesia yang mesti kamu selamatkan.”
“Tuh, kan. Intinya kamu mau bilang saya mesti berhenti jadi pencandu dulu, jadi orang baik dahulu, baru boleh menyelamatkan Indonesia, begitu?”
“BUKAN SEPERTI ITU!” Nada bicara perempuan ini meninggi. Saya tidak memerhatikan wajahnya karena mata saya sibuk memilih-milih telur puyuh mana yang akan saya makan lebih dahulu. “Sebelum kamu membangunkan orang lain dari tidur, kamu juga mesti sudah bangun!”

Plak. Sebuah tamparan melayang ke pipi kanan. Keras. Mungkin besok akan meninggalkan memar di tulang pipi. Saya selalu benci adegan kekerasan di film yang dilakukan oleh perempuan dalam bentuk tamparan ke lelaki. Kesannya selalu sama: lelakijadi terlihat  brengsek jika ditampar oleh perempuan, sebab perempuan memang hanya akan menampar lelaki yang benar-benar brengsek kalau di film. Saya benci ditampar, saya lebih benci lagi kenyataan bahwa tamparan ini menandakan saya ternyata lelaki brengsek. Padahal selama ini saya yakin kalau saya adalah lelaki baik-baik loh.

Saya hanya bisa menutup mata saya selama sekian detik setelah tamparan itu mendarat. Membiarkan rasa panas yang terasa menjalar ke bagian lain hingga dalam sesaat terasa seperti wajah saya beku mati rasa. Rasa panas dan sakitnya perlahan berangsur hilang. Saya belum berani membuka mata, takut kalau-kalau ketika saya membuka mata perempuan di depan saya tiba-tiba kesal melihat mata saya terbuka dan ia akan menampar saya lagi.

Ketika saya akhirnya membuka mata, saya mendapati diri saya tengah berada di dalam kamar indekos saya. Tidak ada perempuan dukun yang akan menampar saya, mie yang belum habis dimakan. Tidak ada juga lelaki paruh baya dengan mata segaris atau restoran yang memiliki huruf-huruf aneh. Setelah dilihat-lihat lagi, bong saya juga tidak ada.

Saya sudah bangun.

Baik, sepertinya sekaranglah saatnya untuk menyelamatkan Indonesia!


Catatan:
Bong (n): alat untuk mengisap atau mengonsumsi zat psikotropika, khususnya sabu-sabu.

Komentar