Evelyn`s Story

Assalamu`alaikum wr wb
Selamat Pagi Kesiangan :D






Karena ia disebabkan oleh faktor fisiklah, makanya dinamai dengan cinta pada pandangan pertama. Apa hal yang dipandang dari seseorang? Ya, fisik. Jika bukan karena faktor fisik atau penampilannya, akankah ia tetap disebut cinta pada pandangan pertama?

Entah.

Jadi, begini kondisinya: aku pertama kali bertemu dengannya ketika mengikuti aksi di salah satu gedung radio di kota kami yang kemudian berujung pada pemukulan aparat. Dia, satu dari sekian mahasiswa yang babak belur karena habis-habisan dihajar oleh sekelompok aparat yang berdalih mengamankan massa. Wajah bonyok, luka hampir di sekujur tubuh, jaket almamater yang kumal karena campuran debu dan darahnya sendiri. Kira-kira, apa mungkin dengan penampilan seperti itu seseorang akan jatuh cinta dengannya?

Bersama seorang mahasiswa lain, dia dipukuli tepat di samping bus berisi kami para mahasiswi yang terlebih dahulu diamankan. Mahasiswa yang satunya lagi itu terlihat begitu nahas, dipukul dan diinjak-injak oleh seorang aparat sementara dia sendiri tengah dipecut dengan rotan oleh beberapa aparat lainnya. Melihat tubuh temannya yang tampak makin mengkhawatirkan, dia berlari ke arah temannya. Menahan pukulan dari tinju dan bilah rotan aparat yang kini berfokus ke arahnya.

Tak ada yang tahu bagaimana persisnya, tiba-tiba saja dia tumbang di depan pintu setelah kena terjangan dari salah seorang aparat. Seorang aparat wanita membopong tubuh dia dan temannya, kemudian membantu memasukkan mereka berdua ke dalam bus.

Alih-alih merasa ngeri, iba atau bahkan kasihan, aku justru merasakan sesuatu yang lain pada diriku sendiri ketika menatap dia yang berbaring tak berdaya di lantai bus. Seorang mahasiswi berinisiatif memberikan tas dan jaket almamaternya sendiri untuk dijadikan bantal penyangga kepala dia dan temannya. Jantungku berdebar tak karuan; bukan karena takut atas peristiwa yang baru saja terjadi. Tanganku yang sebelumnya menggigil karena ketakutan telah berhenti bergetar sejak dia dan temannya masuk ke dalam bus. Aneh memang untuk kupercayai, aku merasa damai menatapnya (yang babak belur). Rasa takut itu telah lenyap, seolah-olah kejadian mengerikan yang kami alami tak pernah terjadi sama sekali. Satu-satunya kemungkinan penyebab hal aneh itu, meski tak masuk akal, kurasa ya karena cinta.

Seabstrak apapun cinta, ia mestinya memiliki penjelasan-penjelasan logis seperti halnya sains. Cinta tak bisa berdiri tanpa pijakan yang jelas, tak bisa tegak di atas kata-kata aku mencintaimu tanpa alasan sebab nantinya ia hanya akan pergi juga tanpa alasan.

Mencintai seseorang, berarti mencintai eksistensinya sebagai manusia, bukan sebagai objek atau benda. Mencintai seorang manusia berarti mencintai bagaimana ia berpikir, bagaimana ia berprilaku, dan bagaimana ia memperlakukan manusia lain. Yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya, manusia dengan makhluk hidup lain atau bahkan benda mati  adalah pikiran dan perbuatannya, bukan penampilan fisiknya. Mencintai seseorang karena fisiknya, hanya menempatkan seseorang tersebut sebagai objek bukan sebagai seorang manusia. Konsep jatuh cinta pada pandangan pertama telah gugur sejak awal.

Hal yang terjadi pada pandangan pertama itu kekaguman, bukan cinta.

Lantas apa aku kagum melihat seseorang yang baru habis babak belur dipukuli?

Keesokan harinya, aksi lanjutan digelar. Tak tahu mengapa, aku justru sibuk sendiri; mencari sesosok laki-laki yang membangkitkan rasa ingin tahuku sejak pertama kali melihatnya. Aku sudah bilang, kan, kalau cinta harusnya seperti sains? Sains—dan cinta yang seharusnya—berkembang dari rasa ingin tahu manusia. Demi memenuhi keingintahuan itu, sepanjang berlangsungnya aksi, aku melirik ke sana kemari mencari dia. Bahkan hingga aksi tersebut bubar, aku tak kunjung menemukan sosoknya di antara ratusan massa aksi yang berkumpul.

Lima bulan kemudian, BEM fakultasku mengadakan expo. Usai acara pembukaannya, aku tampil sebagai pengisi acara non-formal pertama untuk bernyanyi. Hampir saja fokusku hilang ketika mendapati dia ternyata hadir sebagai salah satu tamu undangan. Tanpa memar dan bonyok, aku yakin sekali kalau itu memang dia. Sorenya, aku kembali bertemu dengannya di parkiran usai acara ramah tamah di sekretariat BEM universitas. Ketika aku mengulurkan tangan saat berkenalan, dia menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Sumpah, malu sekali! Untung saja dia tetap tersenyum, mengabaikan kecanggungan yang terjadi barusan. Setelah sekian lama, aku akhirnya tahu namanya.

Namanya Alfi.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk mendapatkan informasi lebih banyak lagi tentangnya. Berawal dari atasanku di BEM, yang ternyata berteman akrab dengan dia, mengunggah foto di Instagram yang dikomentari oleh dia. Kuklik namanya, layar di ponselku menampilkan akunnya. Tak bergembok! Fotonya sedikit, dan itu didominasi oleh foto rame-rame. Dan yang paling penting: tidak ada foto selfie.

Follow. Enggak. Follow. Enggak. Follow. Enggak

Kenapa aku jadi melakukan sejauh ini ya?

***
Selepas sama-sama lulus kuliah, kami sempat bekerja di kantor yang sama untuk beberapa bulan, sebelum kemudian aku dimutasikan ke kantor cabang tapi masih dalam satu kota. Intensitas interaksi kami justru meningkat saat beda kantor. Walau tanpa kesepakatan apa-apa, hubungan kami berjalan mengalir begitu saja. Dari waktu masih sekantor terus kemudian aku pindah, banyak rekan kerja yang menganggap kami berdua pacaran. Padahal, kami hanya teman biasa. Kedekatan kami saat ini lantaran sebelumnya sudah kenal sewaktu masih kuliah.

Yah, cerita soal jantungku berdebar tak karuan ketika pertama kali melihat dia saat aksi tak pernah kuceritakan sama siapapun. Debar itu masih tetap kurasakan setiap kali dekat dengannya. Dia tak pernah sekalipun bicara soal perasaan atau kejelasan apa-apa soal kami, begitu juga aku. Bagiku, aku nyaman sama dia dan dianya juga nyaman sama aku, itu sudah cukup. Ikrar sebagai sepasang kekasih terlalu berat, aku tak cukup siap jika seandainya kelak kami berpisah.

Aku pernah mencintai dan dicintai seseorang begitu dalam di masa lalu. Dengan perasaan itu, kami mengikat satu sama lain dan resmi berpacaran. Tapi cinta tak pernah cukup untuk mengikat siapapun. Perpisahan tetap datang tak peduli seberapa besar perasaan yang kami miliki, tak peduli seberapa lama jalinan kasih telah kami rajut. Aku sempat frustasi. Kehilangan gairahku terhadap semua hal. Ketika aku sudah bisa melangkah kembali setelah episode kepedihan itu, aku mendapatkan pelarian dengan menggiatkan diri dalam organisasi kampus. Aku tak ingin patah hati lagi.

Satu-dua lelaki sempat mendekati namun tak pernah mampu menaklukkan hatiku. Seseorang, dengan wajah babak belur dan darah berceceran di wajah dan jaket almamaternya, ternyata mampu membuka celah di hatiku. Darinya, yang kukira sebatas kekaguman semata, aku belajar banyak hal. Aku belajar bahwa cinta ternyata bukan sekadar perkara tembak-menembak, gombal menggombal, kencan berdua atau romantisme lainnya. Cinta adalah bagaimana kau bisa memperlakukan dirimu dengan baik terlebih dahulu, sebelum kau memperlakukan hal-hal lain di sekitarmu. Dia membuat aku mencintainya dengan cara membuat aku mencintai diriku sendiri terlebih dahulu.

Tapi aku gak pernah bilang juga soal ini ke dia. Toh, kami gak pernah bahas-bahas perasaan satu sama lain. Cukup tahu sama tahu aja.

Sampai suatu ketika, dia memergokiku pergi sama teman cowokku semasa kuliah saat akan  menghadiri acara meet up kelasku dulu. Aku emang gak bilang ke dia kalau aku ada acara malam itu, dan entah bagaimana kami samping-sampingan ketika di lampu merah. Dia hanya melirik sekilas ketika mengetahui kalau aku sama teman cowokku itu. Dua hari sejak itu, kami gak komunikasi sama sekali. Aku bingung dan takut dia marah. Di hari ketiga, dia akhirnya menelefon. Basa-basi standar seperti biasa awalnya. Dia masih bersikap seperti emang gak ada apa-apa, walau nyatanya kami baru berkomunikasi lagi setelah dua hari saling diam.

Ketika aku mencoba mengklarifikasi kejadian tiga hari sebelumnya, nada bicaranya meninggi. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Aku berusaha baik-baik menyampaikan kalau aku gak ada apa-apa sama temanku itu, cuma teman sekelas waktu kuliah, gak lebih.

Aku gak tahu kalau penjelasanku saat itu malah menjadi sumber perkara yang memisahkan kami berdua.

***
Aku pulang ke rumah kontrakanku dengan mata lembab, membawa bungkusan kado dari kembarannya. Dia ternyata punya saudara kembar. Aku baru menyadari bahwa sebelum-sebelumnya dia yang lebih aktif bertanya tentang aku dan keluargaku. Dia selalu mendengar lebih banyak. Aku selalu bicara lebih banyak tetapi tak pernah benar-benar mengenalnya.

Malam itu aku datang ke cafe milik kembarannya. Berencana untuk mengorek kabar tentang dia. Ternyata, justru kembaranya yang mengorek penjelasan soal hubungan kami dariku.

Setelah masuk ke dalam kamar, aku membuka kado bersampul hello kitty dan berpita pink tersebut. Di dalamnya berisi sebuah cangkir porselen berwarna putih. Ada tulisan berwarna hitam di bagian luar cangkir itu:

Kopi manis karena gula. Hidup manis karena cinta

***
Tiga tahun tanpa kabar. Tiga tahun pula aku kembali menutup hatiku untuk semua laki-laki. Tiga tahun aku hidup dalam kehampaan. Kepergiannya merenggut banyak hal dariku. Dia bukan satu-satunya yang patah karena perpisahan kami. Aku juga terluka. Satu-satunya hal yang mungkin bisa menyembuhkan luka itu, adalah dia. Namun akankah dia kembali?

Aku hampir menyerah.

Kemudian, hari itu tiba. Namanya muncul di layar ponselku. Aku nyaris tak percaya dengan apa yang kulihat sendiri. Tiga tahun tanpa kabar, dia akhirnya menelefon. Takut dia mematikan panggilan, aku langsung buru-buru mengangkat telefon. Basa-basi seperti dahulu. Bertanya kesibukan selama ini. Pelan-pelan, rinduku sedikit terobati.

“Kamu sudah punya pacar sekarang, Eve?” Tanyanya. Pacar? Setelah apa yang terjadi? Bagaimana mungkin aku bisa membuka hatiku untuk laki-laki lain lagi?
 “Belum. Kenapa, Fi?”
“Kalo suami?” Dia kembali bertanya. Pertanyaan yang bodoh.
“Ooh, bagus deh.” Dia diam sebentar, kemudian melanjutkan lagi “Boleh aku tahu alamat papa kamu?”
Alamat papa? Untuk apa?
“Aku mau melamar putri kesayangannya.”

***
Di pelaminan, sambil mendengarkan salah seorang tamu bernyanyi di panggung, dia berbisik padaku:
“Aku liat orang ini nyanyi jadi ingat pertama kali ketemu kamu,” katanya.
“Emang kenapa?”
Make up pas kamu nari dulu lebay, tapi...”
 Menggantungkan kalimat. Ciri khasnya. Aku selalu terpancing untuk bertanya tapi apa?

“Tapi aku suka tampilan sederhana kamu waktu kita kenalan di parkiran pas sorenya.”
Pertama kalinya dia menggombal. Aku tersenyum.

“Kalo make up yang sekarang, gimana? Lebay gak?”
“Kamu sempurna hari ini, Sayang.”
“Hari ini doang?”
“Hari ini Today.

Jangan ketawa, Eve. Jangan ketawa, Eve. Nanti orang-orang pada ngeliatin aneh kalian berdua.
Humor recehnya masih aja keterlaluan, ya Allah :(

“Sebenarnya,” kataku mengalihkan topik pembicaraan dari becandaannya barusan, “expo dulu memang pertama kalinya kamu liat aku tapi bukan pertama kalinya aku liat kamu.”
“Maksudnya?”
“Aku udah pernah lihat kamu duluan sebelum itu.”
“Kapan?”
“Aksi RRI.”
Dia tampak berpikir sebentar, berusaha mengingat.“Pas aku bonyok-bonyok itu?”
“Iya, bonyok tapi keren.”

Bukan wajah babak belurnya yang membuat aku kagum hari itu. Tapi tindakannya ketika berusaha menolong temannya yang dipukuli, tanpa peduli bahwa setelah itu, semua pukulan dari aparat di sekeliling mengarah kepadanya.

Hari ini, lelaki heroik itu telah mengikat dirinya dalam ikatan pernikahan bersamaku. Cinta saja memang tidak akan pernah cukup. Itu sebabnya cinta juga butuh komitmen.

THE N... 

Daftar Episode:
1 
2 
3 
4 
5 
BONUS 



 

Komentar