Assalamu'alaikum wr wb.
Selamat Pagi Kesiangan :D
Usai sholat asar di masjid dekat kos, aku memutuskan pergi ke kampus untuk browsing dengan wifi kampus. Masih belum terlalu banyak mahasiswa yang kembali lagi dari libur Lebaran, membuatku yakin koneksi wifi kampus bagus karena pemakainya kurang dari hari-hari biasa. Sesampainya di kampus, aku mencari tempat di luar sekretariat himpunan program studiku. Sudah dapat tempat yang cukup nyaman, kukeluarkan notebook berserta charger-nya dari dalam ransel kemudian menyalakan notebook.
Beberapa
tab kubuka sekaligus. Akun blog,
soundcloud, wattpad dan situs download anime. Kunjungan di blogku stagnan sejak
bulan puasa kemarin, rekaman di soundcloud bertambah sedikit yang mendengarkannya,
wattpad belum ada kemajuan cerita sama sekali. Yang paling lancar, mungkin cuma
unduhan beberapa episode anime. Sambil menunggu unduhan animeku rampung, aku
membuka situs baca manga online.
“Hobi
banget sendirian gini.” Sebuah suara muncul tiba-tiba. Aku tak merasa perlu
melihat ke arah suara di belakang hanya untuk memastikan siapa orangnya, tetap
fokus menatap layar.
“Lah
ko juga sendirian, kan?” tanyaku ke Danu; sosok yang tengah berdiri di belakang.
“Ini
kan berdua sama ko, Re,” jawabnya “ko nampaknya gak sibuk-sibuk kali lah. Ikut
aku yuk?”
Aku
menoleh ke arah Danu.
“Ke
mana?”
“Stadion
Mini?”
“Ngapain?”
“Syuting.”
“Aku
serius.”
“Aku
lebih serius lagi.”
“Syuting
apaan?”
“Mau
bikin film pendek gitu, butuh ko ha sebagai pemerannya.”
“Kenapa
mesti aku coba?”
“Ko
kira kenapa coba aku nyariin ko sampe di sini?” tanyanya balik.
Eh,
tunggu dulu. Kenapa dia bisa tahu kalau aku ada di sini?
“Ko
ngapa bisa tahu kalo aku di sini?”
“Aku
selalu dapatin info apa aja yang kubutuhkan. Ko tahu betul itu.”
Iya
juga sih. Makhluk sok keren ini stalker akut.
Cita-citanya saja mau jadi white-hacker
yang merangkap sebagai Presiden RI. Entah apa korelasi antara kerjaan meretas
dengan mengurus negara. Biar begitu, dia memang bisa diandalkan soal IT.
“Ikut
aja lah ya? Peran ko dibutuhkan kali ha.” Kata Danu lagi.
“Memangnya
peran aku jadi apa?”
“Ada
lah. Nanti pas di sana aku jelasin semua.”
“Kok
sok misterius kali ko kayak cewek?”
“Kemaslah
lagi notebook ko.”
“Iya,
iya.”
Setelah
mencabut charger dan mematikan notebook, aku memasukkannya ke dalam
ransel. Danu sudah menunggu di atas motornya, bersiap-siap berangkat. Hanya
sebentar, kami sudah berada di kawasan stadion mini. Danu membawaku ke dalam
kawasan pepohonan di depan stadion lalu
memarkiran motornya.
Ada
tanah cukup lapang di tengah yang tidak ditumbuhi pohon. Kulihat seorang anak
kecil berusia sekitar 10-12 tahun sedang sibuk mengutak-utak kameranya sambil
duduk di atas rumput. Kuperkirakan itu adalah kamera yang mau digunakan untuk
“syuting” yang dibilang oleh Danu sebelumnya. Menyadari kedatangan kami, anak
kecil itu menoleh ke arahku.
“Bang
Re!!!” sapanya sambil tersenyum. Dia melambaikan sebelah tangannya ke arahku
yang kubalas juga dengan lambaian tangan.
“Dia
yang punya project film pendek ini,
Re,” ungkap Danu “katanya mau ko ikut main. Ada scene khusus untuk kita katanya.”
“Eh.
Bentar, bentar. Kita? Maksudnya
gimana?”
“Ya
aku ikut juga.”
“Bang
Danu belum jelasin adegan apa ya, Bang?” tanya anak kecil tadi. Ngomong-ngomong
dia ini adalah adik salah satu teman kami. Namanya Dede. Meski kalau di rumah
lebih sering dipanggil Dedek, dia
suka marah kalau kami manggilnya seperti itu. Panggil “De” aja, katanya.
“Belum,”
jawabku “adegannya nanti abang mesti ngapain emangnya?”
“De
mau nanti Abang sama Bang Danu adegan action-action
gitu, Bang.”
“Maksudnya?”
“Dia
mau kita berantem, Re.” Jelas Danu.
Eh,
gimana gimana?
“Karena
De belum bisa bikin naskah dan gak tahu yang kayak gimana kelahi-kelahi gitu
makanya minta Bang Danu buat ngajakin abang, jadi kalian bisa imporvisasi,
Bang.” Kata Dede lagi.
“Improvisasi,
De.” Ucapku membenarkan.
“Maksud
De juga gitu, Bang.”
“Langsung
kita mulai aja yuk, entar kesorean kali,” ajak Danu “Ko tahu apa yang mesti
dilakukan, kan?”
“Entahlah.”
“Usahain
satu Take aja, Re. Asal ko serius,
ini bisa lebih mudah.”
“Aku
gak punya alasan untuk serius berantem.”
“Anggap
aja kita lagi observasi buat nulis
genre action.”
“Gak
terlalu membantu, kurasa.”
“Kalo
gitu, kita jadiin taruhan.”
Oke.
Ini jadi sedikit lebih menarik. Aku bisa sedikit lebih serius kalau ini dijadiin taruhan.
“Boleh
juga,” kataku “taruhan kayak gimana nih?”
“Yang
bisa ngejatuhin atau ngebanting lawannya itu yang menang.”
“Dan
yang menang dapat?”
“Traktiran
es krim.”
“Deal!”
Danu
kemudian memanggil Dede, memberitahukan agar dia menghentikan perekaman jika
salah satu dari kami sudah ada yang jatuh atau kebanting. Meski belum lulus
sekolah dasar, Dede maniak dalam urusan videografi. Mulai dari teknik
pengambilan gambar sampai ke urusan editing video, sudah dipelajarinya secara
otodidak. Aku sempat bingung gimana caranya satu take adegan berantem nanti hanya dengan satu kamera saja, namun
Danu meyakinkan bahwa De tahu apa yang harus dilakukan. Itu juga yang menjadi
alasan aku tak bertanya lebih lanjut tentang detail dari project film pendek ini. Aku juga yakin Dede tahu apa yang akan
dilakukannya.
Aku
dan Danu kemudian bersiap-siap. Berdiri saling menghadap satu sama lain. Danu
mulai memasang kuda-kuda, membuat aku serta merta ikut memasang kuda-kuda juga.
Masa sekolahku sedikit diwarnai oleh beberapa perkelahian kecil. Lebih banyak
lagi sebenarnya membela diri dan menghindari pertarungan. Aku tak pernah
menang, tapi bukan berarti aku pernah sekalipun babak belur jika berkelahi. Semasa
kuliah, aku sempat beberapa kali latih tanding gulat dengan beberapa rekan
aktivis kampus. Rekor yang cukup baik menurutku karena aku hanya pernah
mengalami satu kali seri dan satu kali kalah, sisanya beberapa kali duel aku
sukses membanting lawan tandingku. Meski sekarang udah gak ada lagi latih
tanding kayak gitu, setidaknya aku masih rajin ngelatih badan di kos.
“Kalo
ko kalah dari aku; yang kalian bilang paling lemah, pasti ini bakal jadi lucu
kan, Re?”
Secara
fisik Danu memang lebih lemah dibanding kami yang lain, dia terlalu mudah sakit. Badannya juga kurus
seperti aku tapi dia kurus polos. Maksudku, ya, badannya betul-betul gak ada
lekuk otot sama sekali. Gak pula bisa disebut kurus kering. Biar gitu aku tahu
benar, Danu adalah yang paling jenius di antara kami. Si Jenius yang juga
sangat licik. Aku mesti memutar otak untuk melawannya, tak hanya mengandalkan
fisik.
“Kita
mulai ya, Abang-abang! 3...2...1 action!!!”
Danu
melangkah cepat ke arahku. Kaki kanannya mengincar perutku dari depan. Aku
dengan cepat mengelak dengan melangkah ke sisi kanan tapi rupanya gerakanku
terbaca oleh Danu. Kepal tangan kirinya sudah melayang ke arahku. Refleks,
tangan kananku menangkis lengannya sebelum sampai di wajahku lalu melayangkan
tinju ke perutnya. Dapat! Danu mundur sebentar. Tinjuan tadi jelas tak terlalu
berefek ke Danu karena pukulanku tadi kurasa juga lemah, hanya karena runtutan
gerak refleks sebelumnya.
Danu
memasang kuda-kuda lagi. Kaki kirinya kali ini berada di depan, dengan kedua
tangan sedikit menyilang seolah membentuk tameng yang sewaktu-waktu siap
menyerang.
“Katanya
semua orang punya sisi monster,” kata Danu “lawan aku dengan monster ko, Re!”
Danu
jelas mencoba memprovokasiku. Monster apanya? Monster Pocket? Pokemon dong, Dan!
Sekali
lagi dia bergerak ke arahhku. Melayangkan pukulan demi pukulan yang selalu
dapat kutangkis. Tendangannya pun beberapa kali dapat kuhindari. Sambil mencoba
terus bertahan dari serangannya yang bertubi-tubi, pikiranku terpecah. Sebagian
berpikir bagaimana cara membuatnya segera tumbang, sebagian lagi berpikir
apakah orang-orang di sekitar stadion yang lagi jogging tidak ada yang memerhatikan kami. Aku juga kepikiran,
bagaimana bisa kami yang jelas berteman sangat baik malah berkelahi seperti ini
demi taruhan es krim dan lebih parahnya, kami cukup berhasrat untuk menjatuhkan
satu sama lain.
“Ko
tak bakal bisa menang Re kalo cuma menghindar kayak gitu terus.”
“Ko
juga tak bakal menang kalo dari tadi masih ngoceh terus.”
Napas
Danu terdengar terengah-engah. Dia sudah mulai kelelahan!
Kali
ini giliranku yang menyerang Danu. Tepat ketika tangan kananku tengah melayang
ke arah wajahnya, aku dapat melihat dengan jelas Danu mendadak berhenti
terengah-engah dan langsung menahan napas dengan wajah tenang. Saat tanganku
sudah cukup dekat dengan wajahnya, dia menghindar ke arah kanan. Kulayangkan
tangan kiriku, dia menghindar ke arah kiri. Tendanganku berkali-kali juga dapat
ditangkisnya. Kali ini dia tampak mencoba strategi defensif seperti yang
kulakukan sebelumnya.
Saat
aku melangkah mundur untuk bersiap memasang kuda-kuda sebelum menyerang, Danu
sudah bersiap untuk serangan balasan rupanya. Saat jaraknya sudah tinggal satu
langkah dariku, Danu memutar langkahnya tiga ratus enam puluh derajat
berlawanan arah jam seperti gerakan pivot dalam basket. Aku yang dapat membaca
gerakannya langsung menyerang ke arah kiri sesuai arah putaran tubuhnya. Kepalan
tangan kanan kulayangkan dengan kekuatan penuh.
Tapi
Danu memanglah si jenius. Dia mendadak menghentikan putaran tubuhnya, lalu
kemudian berputar lagi searah jarum jam. Tinjuku tak mengenai sasaran sementara
celah kosong di sebelah kanan tubuhku langsung diserang oleh Danu. Kepalan
tinju kirinya menyerang pinggangku dari sebelah kanan; serangan pertama yang kena.
Perutku mendadak tegang karena pukulan tersebut. Sial! Aku menyesal jarang melatih
otot perutku sejak liburan kemarin. Hampir saja aku muntah karena pukulan Danu
tadi.
Danu tampak tersenyum puas, sambil kembali memasang kuda-kuda. Baiklah kali ini aku
akan langsung membanting tubuhnya supaya pertarungan kali ini segera berakhir.
Aku
memancing Danu untuk menyerangku dengan cara menyerangnya terlebih dahulu lalu
langsung mengambil jarak dua langkah darinya. Terpancing oleh gerakanku, Danu
mendekat ke arahku untuk melancarkan serangan. Tepat dia mulai melangkah ke
arahku, aku memutar tubuh, tidak penuh, hanya membelakanginya sambil melangkah
mundur ke arah Danu yang tangan kanannya sudah dilayangkan ke arahku.
Mengandalkan insting, aku merendahkan kuda-kudaku agar tangan Danu melewati
bagian atas bahu kananku. Berhasil!
Melihat
lengan Danu yang tengah melayang di atas bahuku, kedua tanganku gesit menangkap
lengannya. Aku menggerakkan kaki kiriku mundur ke belakang sehingga tubuhku
mepet ke tubuh Danu. Setelah tangan kananku sudah mencengkeram erat
lengannya,tangan kiri kulepas untuk menangkap betis kirinya. Kuturunkan lagi kuda-kudaku, berusaha menyejajarkan
pinggangku dengan paha atau lutut Danu. Dengan satu gerakan bersamaan, kutarik
lengan kanannya ke depanku sambil mendorong tubuhnya dengan bantuan tangan kiri
sehingga Danu terangkat ke udara.
Aku
menang.
Oke,
rupanya belum
Danu
rupanya punya keseimbangan tubuh yang bagus. Saat tubuhnya sudah berhasil
terangkat dan hampir jatuh, kakinya mampu menjejak ke tanah lebih dahulu
sehingga bisa menahan tubuhnya tidak terbanting ke tanah. Dengan tubuh setengah
berjongkok membelakangi dan lengan kanan masih dalam cengkeraman tangan
kananku, Danu memutar cepat tangan sehingga terlepas agar tak terkilir kemudian
balik menangkap lengan kananku. Dalam hitungan sepersekian detik, tubuhnya
sudah menghadap ke arahku dan tangan kirinya juga mencengkeram lengan kananku.
Merasa sedikit terdesak, aku menariknya ke arahku agar bisa kubanting ke arah
belakang dengan bantuan tangan kiriku yang bebas.
Danu
tertarik oleh tanganku, tapi terlalu mepet. Aku sulit menerapkan momen inersia
atau apalah itu namanya dalam kondisi mepet seperti ini untuk membantingnya. Di
luar dugaanku, kedua kaki Danu meloncat lalu membelit leherku. Belum sempat aku
merasa kehilangan keseimbangan karena bobot tubuhnya di lengan kananku, Danu
bergerak memutar. Membuatku jatuh ke belakang.
Oke,
sepertinya aku kalah.
Aku
dapat merasakan langkah kaki Dede yang tengah mendekat ke arah kami, berjalan
ke samping sedikit kemudian berhenti.
“Oke,
cut!” katanya “mantap, Bang.”
Danu
akhirnya melepaskan belitan kakinya di leherku. Lagi-lagi Danu tersenyum,
senyuman jahil sok ganteng ciri khasnya.
Prok prok prok prok...
“Mantap,
Dan!” kata seseorang. Aku menoleh ke arah sumber suara untuk melihat siapa yang
berbicara. Rafael; abangnya Dede, tengah membawa sebuah drone berwarna putih sambil berjalan ke arah kami. Di sampingnya,
perempuan berkacamata bingkai maroon
sedang memegang alat kendali dari drone
yang dibawa Rafael.
Danu
mengadu tos dengan Rafael. Sementara di sebelahnya kulihat Clara tampak
bersungut.
“Kenapa
mukamu, Ra?” tanyaku.
“Gara-gara
ko nih, Dy.”
“Lah
kok gegara aku pulak?”
“Ko
kalah sih.”
“Kami
tadi taruhan,” sahut Rafael “dia megang kau, aku megang Danu. Yang kalah beli
buah hahahahaha.”
Kampret!
“Yaudah,
pergi belilah sana lagi, Ra,” kata Rafael lagi.
Dengan
wajah cemberut, Clara meletakkan alat pengendali drone di atas rumput kemudian mengajak Dede untuk menemaninya.
Mereka pun pergi berdua ke penjual buah keliling yang tak mejeng tak jauh dari
tempat kami berada. Biar tadi terlihat cemberut, Clara tetaplah Clara kami yang
cantik, yang manis meski wajahnya sering dikusut-kusutkan. Satu-satunya
perempuan di kumpulan kami yang memberi sentuhan “keibuan” di antara keliaran
yang lain.
“Nampak
kali kau kurang motivasi tadi, Re,” kata Rafael sambil duduk di sampingku
bersama Danu.
“Gak
ada urusannya sama motivasi kalik ah,”
“Jelas
ada,” sambung Danu “motivasi itu kayak energi tambahan kita mau ngapa-ngapain.”
“Ko
kalo menang sok bijak gini yang pake nge-quote
segala.”
Rafael
tertawa cengengesan. Danu lagi-lagi senyum sok ganteng. Sial!
“Skripsi
kau tu juga butuh motivasi Re kalo mau cepat kelar,” lanjut Rafael lagi.
“Kau
udah kelar emangnya?”
Dasar
gak tahu diri. Rafael juga sama sepertiku yang belum sidang skripsi.
Bisa-bisanya dia ngomongin soal skripsi sama aku. Danu sudah sidang sebelum
lebaran kemarin sementara Clara sekarang lagi KOAS di RS (belakangan aku baru
tahu kalau KOAS itu bukan “kerja” tapi masih kelanjutan jenjang pendidikan
dokter gitu).
“By the way,” kata Danu “arah jam 1 ada
pasangan jogging tipe nomer 3.”
Arah
jam 1 Danu berarti arah jam 7 dari posisiku. Aku memutar kepala ke arah yang
dimaksud, pelan-pelan seperti bergerak biasa. Sepasang cowok cewek lagi jalan
sambil ngobrol. Pasangan jogging tipe nomer 3 adalah pasangan pacaran sambil jogging. Menurut teori
yang dihimpun oleh Danu, ada tiga jenis pasangan yang jogging di Stadion Mini.
Tipe pertama adalah pasangan atlet,
yang keduanya serius kalau lagi lari alias gak ada ngobrol. Tipe kedua ada
pasangan pengen kurus. Biasanya yang
cowok suka lari mundur sambil ngasih semangat ke ceweknya, sedangkan ceweknya
lebih banyak diam karena gak kuat lari tapi maksain lari demi kurus. Tipe
terakhir ada pasangan pacaran sambil
jogging. Jogging-nya satu putaran, ngobrolnya tiga putaran.
Untung
saja tadi Clara pergi mengajak Dede, bisa rusak Dede entar kalau ikutan
nimbrung obrolan ngaco kami bertiga yang mengomentari tiap-tiap orang yang lalu
lalang.
Bicara
soal Dede, kulihat Dede sedang berjalan ke arah kami bersama Clara sambil
membawa sebungkus plastik penuh buah.
“Makan
nih, Predator!” Kata Clara.
“Predaor
tu biasanya karnivora. Kalau kami karnivora mestinya ko ngasih kami daging lah, masa
buah.” Timpal Danu.
“Bawel!”
balas Clara.
Sore
kami habiskan dengan kembali ngobrol ngalor ngidul. Tentunya dengan sedikit batasan agar tak memberi pengaruh buruk
pada Dede. Saat hari sudah menjelang gelap, kami pulang. Aku nebeng dengan
Danu, Clara bawa mobil sendiri sementara Rafael dan Dede boncengan motor
berdua.
***
Komentar
Posting Komentar