Writer`s Block #5


Assalamu'alaikum wr wb.

Selamat Pagi Kesiangan :D




Usai sholat asar di masjid dekat kos, aku memutuskan pergi ke kampus untuk browsing dengan wifi kampus. Masih belum terlalu banyak mahasiswa yang kembali lagi dari libur Lebaran, membuatku yakin koneksi wifi kampus bagus karena pemakainya kurang dari hari-hari biasa. Sesampainya di kampus, aku mencari tempat di luar sekretariat himpunan program studiku. Sudah dapat tempat yang cukup nyaman, kukeluarkan notebook  berserta charger-nya dari dalam ransel kemudian menyalakan notebook.

Beberapa tab kubuka sekaligus. Akun blog, soundcloud, wattpad dan situs download anime. Kunjungan di blogku stagnan sejak bulan puasa kemarin, rekaman di soundcloud bertambah sedikit yang mendengarkannya, wattpad belum ada kemajuan cerita sama sekali. Yang paling lancar, mungkin cuma unduhan beberapa episode anime. Sambil menunggu unduhan animeku rampung, aku membuka situs baca manga online.

“Hobi banget sendirian gini.” Sebuah suara muncul tiba-tiba. Aku tak merasa perlu melihat ke arah suara di belakang hanya untuk memastikan siapa orangnya, tetap fokus menatap layar.

“Lah ko juga sendirian, kan?” tanyaku ke Danu; sosok yang tengah berdiri di belakang.

“Ini kan berdua sama ko, Re,” jawabnya “ko nampaknya gak sibuk-sibuk kali lah. Ikut aku yuk?”
Aku menoleh ke arah Danu.

“Ke mana?”

“Stadion Mini?”

“Ngapain?”

“Syuting.”

“Aku serius.”

“Aku lebih serius lagi.”

“Syuting apaan?”

“Mau bikin film pendek gitu, butuh ko ha sebagai pemerannya.”

“Kenapa mesti aku coba?”

“Ko kira kenapa coba aku nyariin ko sampe di sini?” tanyanya balik.
Eh, tunggu dulu. Kenapa dia bisa tahu kalau aku ada di sini?

“Ko ngapa bisa tahu kalo aku di sini?”

“Aku selalu dapatin info apa aja yang kubutuhkan. Ko tahu betul itu.”
Iya juga sih. Makhluk sok keren ini stalker akut. Cita-citanya saja mau jadi white-hacker yang merangkap sebagai Presiden RI. Entah apa korelasi antara kerjaan meretas dengan mengurus negara. Biar begitu, dia memang bisa diandalkan soal IT.

“Ikut aja lah ya? Peran ko dibutuhkan kali ha.” Kata Danu lagi.

“Memangnya peran aku jadi apa?”

“Ada lah. Nanti pas di sana aku jelasin semua.”

“Kok sok misterius kali ko kayak cewek?”

“Kemaslah lagi notebook ko.”

“Iya, iya.”

Setelah mencabut charger dan mematikan notebook, aku memasukkannya ke dalam ransel. Danu sudah menunggu di atas motornya, bersiap-siap berangkat. Hanya sebentar, kami sudah berada di kawasan stadion mini. Danu membawaku ke dalam kawasan pepohonan  di depan stadion lalu memarkiran motornya.

Ada tanah cukup lapang di tengah yang tidak ditumbuhi pohon. Kulihat seorang anak kecil berusia sekitar 10-12 tahun sedang sibuk mengutak-utak kameranya sambil duduk di atas rumput. Kuperkirakan itu adalah kamera yang mau digunakan untuk “syuting” yang dibilang oleh Danu sebelumnya. Menyadari kedatangan kami, anak kecil itu menoleh ke arahku.

“Bang Re!!!” sapanya sambil tersenyum. Dia melambaikan sebelah tangannya ke arahku yang kubalas juga dengan lambaian tangan.

“Dia yang punya project film pendek ini, Re,” ungkap Danu “katanya mau ko ikut main. Ada scene khusus untuk kita katanya.”

“Eh. Bentar, bentar. Kita? Maksudnya gimana?”

“Ya aku ikut juga.”

“Bang Danu belum jelasin adegan apa ya, Bang?” tanya anak kecil tadi. Ngomong-ngomong dia ini adalah adik salah satu teman kami. Namanya Dede. Meski kalau di rumah lebih sering dipanggil Dedek, dia suka marah kalau kami manggilnya seperti itu. Panggil “De” aja, katanya.

“Belum,” jawabku “adegannya nanti abang mesti ngapain emangnya?”

“De mau nanti Abang sama Bang Danu adegan action-action gitu, Bang.”

“Maksudnya?”

“Dia mau kita berantem, Re.” Jelas Danu.

 Eh, gimana gimana?

“Karena De belum bisa bikin naskah dan gak tahu yang kayak gimana kelahi-kelahi gitu makanya minta Bang Danu buat ngajakin abang, jadi kalian bisa imporvisasi, Bang.” Kata Dede lagi.

“Improvisasi, De.” Ucapku membenarkan.

“Maksud De juga gitu, Bang.”

“Langsung kita mulai aja yuk, entar kesorean kali,” ajak Danu “Ko tahu apa yang mesti dilakukan, kan?”

“Entahlah.”

“Usahain satu Take aja, Re. Asal ko serius, ini bisa lebih mudah.”

“Aku gak punya alasan untuk serius berantem.”

“Anggap aja kita lagi observasi buat nulis genre action.”

“Gak terlalu membantu, kurasa.”

“Kalo gitu, kita jadiin taruhan.”

Oke. Ini jadi sedikit lebih menarik. Aku bisa sedikit lebih serius kalau ini dijadiin taruhan.

“Boleh juga,” kataku “taruhan kayak gimana nih?”

“Yang bisa ngejatuhin atau ngebanting lawannya itu yang menang.”

“Dan yang menang dapat?”

“Traktiran es krim.”

Deal!

Danu kemudian memanggil Dede, memberitahukan agar dia menghentikan perekaman jika salah satu dari kami sudah ada yang jatuh atau kebanting. Meski belum lulus sekolah dasar, Dede maniak dalam urusan videografi. Mulai dari teknik pengambilan gambar sampai ke urusan editing video, sudah dipelajarinya secara otodidak. Aku sempat bingung gimana caranya satu take adegan berantem nanti hanya dengan satu kamera saja, namun Danu meyakinkan bahwa De tahu apa yang harus dilakukan. Itu juga yang menjadi alasan aku tak bertanya lebih lanjut tentang detail dari project film pendek ini. Aku juga yakin Dede tahu apa yang akan dilakukannya.

Aku dan Danu kemudian bersiap-siap. Berdiri saling menghadap satu sama lain. Danu mulai memasang kuda-kuda, membuat aku serta merta ikut memasang kuda-kuda juga. Masa sekolahku sedikit diwarnai oleh beberapa perkelahian kecil. Lebih banyak lagi sebenarnya membela diri dan menghindari pertarungan. Aku tak pernah menang, tapi bukan berarti aku pernah sekalipun babak belur jika berkelahi. Semasa kuliah, aku sempat beberapa kali latih tanding gulat dengan beberapa rekan aktivis kampus. Rekor yang cukup baik menurutku karena aku hanya pernah mengalami satu kali seri dan satu kali kalah, sisanya beberapa kali duel aku sukses membanting lawan tandingku. Meski sekarang udah gak ada lagi latih tanding kayak gitu, setidaknya aku masih rajin ngelatih badan di kos.

“Kalo ko kalah dari aku; yang kalian bilang paling lemah, pasti ini bakal jadi lucu kan, Re?”
Secara fisik Danu memang lebih lemah dibanding kami yang lain, dia terlalu mudah sakit. Badannya juga kurus seperti aku tapi dia kurus polos. Maksudku, ya, badannya betul-betul gak ada lekuk otot sama sekali. Gak pula bisa disebut kurus kering. Biar gitu aku tahu benar, Danu adalah yang paling jenius di antara kami. Si Jenius yang juga sangat licik. Aku mesti memutar otak untuk melawannya, tak hanya mengandalkan fisik.

“Kita mulai ya, Abang-abang! 3...2...1 action!!!

Danu melangkah cepat ke arahku. Kaki kanannya mengincar perutku dari depan. Aku dengan cepat mengelak dengan melangkah ke sisi kanan tapi rupanya gerakanku terbaca oleh Danu. Kepal tangan kirinya sudah melayang ke arahku. Refleks, tangan kananku menangkis lengannya sebelum sampai di wajahku lalu melayangkan tinju ke perutnya. Dapat! Danu mundur sebentar. Tinjuan tadi jelas tak terlalu berefek ke Danu karena pukulanku tadi kurasa juga lemah, hanya karena runtutan gerak refleks sebelumnya.

Danu memasang kuda-kuda lagi. Kaki kirinya kali ini berada di depan, dengan kedua tangan sedikit menyilang seolah membentuk tameng yang sewaktu-waktu siap menyerang.

“Katanya semua orang punya sisi monster,” kata Danu “lawan aku dengan monster­ ko, Re!”
Danu jelas mencoba memprovokasiku. Monster apanya? Monster Pocket? Pokemon dong, Dan!

Sekali lagi dia bergerak ke arahhku. Melayangkan pukulan demi pukulan yang selalu dapat kutangkis. Tendangannya pun beberapa kali dapat kuhindari. Sambil mencoba terus bertahan dari serangannya yang bertubi-tubi, pikiranku terpecah. Sebagian berpikir bagaimana cara membuatnya segera tumbang, sebagian lagi berpikir apakah orang-orang di sekitar stadion yang lagi jogging tidak ada yang memerhatikan kami. Aku juga kepikiran, bagaimana bisa kami yang jelas berteman sangat baik malah berkelahi seperti ini demi taruhan es krim dan lebih parahnya, kami cukup berhasrat untuk menjatuhkan satu sama lain.

“Ko tak bakal bisa menang Re kalo cuma menghindar kayak gitu terus.”

“Ko juga tak bakal menang kalo dari tadi masih ngoceh terus.”
Napas Danu terdengar terengah-engah. Dia sudah mulai kelelahan!
Kali ini giliranku yang menyerang Danu. Tepat ketika tangan kananku tengah melayang ke arah wajahnya, aku dapat melihat dengan jelas Danu mendadak berhenti terengah-engah dan langsung menahan napas dengan wajah tenang. Saat tanganku sudah cukup dekat dengan wajahnya, dia menghindar ke arah kanan. Kulayangkan tangan kiriku, dia menghindar ke arah kiri. Tendanganku berkali-kali juga dapat ditangkisnya. Kali ini dia tampak mencoba strategi defensif seperti yang kulakukan sebelumnya.

Saat aku melangkah mundur untuk bersiap memasang kuda-kuda sebelum menyerang, Danu sudah bersiap untuk serangan balasan rupanya. Saat jaraknya sudah tinggal satu langkah dariku, Danu memutar langkahnya tiga ratus enam puluh derajat berlawanan arah jam seperti gerakan pivot dalam basket. Aku yang dapat membaca gerakannya langsung menyerang ke arah kiri sesuai arah putaran tubuhnya. Kepalan tangan kanan kulayangkan dengan kekuatan penuh.

Tapi Danu memanglah si jenius. Dia mendadak menghentikan putaran tubuhnya, lalu kemudian berputar lagi searah jarum jam. Tinjuku tak mengenai sasaran sementara celah kosong di sebelah kanan tubuhku langsung diserang oleh Danu. Kepalan tinju kirinya menyerang pinggangku dari sebelah kanan; serangan pertama yang kena. Perutku mendadak tegang karena pukulan tersebut. Sial! Aku menyesal jarang melatih otot perutku sejak liburan kemarin. Hampir saja aku muntah karena pukulan Danu tadi.

Danu tampak tersenyum puas, sambil kembali memasang kuda-kuda. Baiklah kali ini aku akan langsung membanting tubuhnya supaya pertarungan kali ini segera berakhir.
Aku memancing Danu untuk menyerangku dengan cara menyerangnya terlebih dahulu lalu langsung mengambil jarak dua langkah darinya. Terpancing oleh gerakanku, Danu mendekat ke arahku untuk melancarkan serangan. Tepat dia mulai melangkah ke arahku, aku memutar tubuh, tidak penuh, hanya membelakanginya sambil melangkah mundur ke arah Danu yang tangan kanannya sudah dilayangkan ke arahku. Mengandalkan insting, aku merendahkan kuda-kudaku agar tangan Danu melewati bagian atas bahu kananku. Berhasil!

Melihat lengan Danu yang tengah melayang di atas bahuku, kedua tanganku gesit menangkap lengannya. Aku menggerakkan kaki kiriku mundur ke belakang sehingga tubuhku mepet ke tubuh Danu. Setelah tangan kananku sudah mencengkeram erat lengannya,tangan kiri kulepas untuk menangkap betis kirinya.  Kuturunkan lagi kuda-kudaku, berusaha menyejajarkan pinggangku dengan paha atau lutut Danu. Dengan satu gerakan bersamaan, kutarik lengan kanannya ke depanku sambil mendorong tubuhnya dengan bantuan tangan kiri sehingga Danu terangkat ke udara.

Aku menang.

Oke, rupanya belum

Danu rupanya punya keseimbangan tubuh yang bagus. Saat tubuhnya sudah berhasil terangkat dan hampir jatuh, kakinya mampu menjejak ke tanah lebih dahulu sehingga bisa menahan tubuhnya tidak terbanting ke tanah. Dengan tubuh setengah berjongkok membelakangi dan lengan kanan masih dalam cengkeraman tangan kananku, Danu memutar cepat tangan sehingga terlepas agar tak terkilir kemudian balik menangkap lengan kananku. Dalam hitungan sepersekian detik, tubuhnya sudah menghadap ke arahku dan tangan kirinya juga mencengkeram lengan kananku. Merasa sedikit terdesak, aku menariknya ke arahku agar bisa kubanting ke arah belakang dengan bantuan tangan kiriku yang bebas.

Danu tertarik oleh tanganku, tapi terlalu mepet. Aku sulit menerapkan momen inersia atau apalah itu namanya dalam kondisi mepet seperti ini untuk membantingnya. Di luar dugaanku, kedua kaki Danu meloncat lalu membelit leherku. Belum sempat aku merasa kehilangan keseimbangan karena bobot tubuhnya di lengan kananku, Danu bergerak memutar. Membuatku jatuh ke belakang.

Oke, sepertinya aku kalah.

Aku dapat merasakan langkah kaki Dede yang tengah mendekat ke arah kami, berjalan ke samping sedikit kemudian berhenti.

“Oke, cut!” katanya “mantap, Bang.”
Danu akhirnya melepaskan belitan kakinya di leherku. Lagi-lagi Danu tersenyum, senyuman jahil sok ganteng ciri khasnya.

Prok prok prok prok...

“Mantap, Dan!” kata seseorang. Aku menoleh ke arah sumber suara untuk melihat siapa yang berbicara. Rafael; abangnya Dede, tengah membawa sebuah drone berwarna putih sambil berjalan ke arah kami. Di sampingnya, perempuan berkacamata bingkai maroon sedang memegang alat kendali dari drone yang dibawa Rafael.

Danu mengadu tos dengan Rafael. Sementara di sebelahnya kulihat Clara tampak bersungut.

“Kenapa mukamu, Ra?” tanyaku.

“Gara-gara ko nih, Dy.”

“Lah kok gegara aku pulak?”

“Ko kalah sih.”

“Kami tadi taruhan,” sahut Rafael “dia megang kau, aku megang Danu. Yang kalah beli buah hahahahaha.”

Kampret!

“Yaudah, pergi belilah sana lagi, Ra,” kata Rafael lagi.
Dengan wajah cemberut, Clara meletakkan alat pengendali drone di atas rumput kemudian mengajak Dede untuk menemaninya. Mereka pun pergi berdua ke penjual buah keliling yang tak mejeng tak jauh dari tempat kami berada. Biar tadi terlihat cemberut, Clara tetaplah Clara kami yang cantik, yang manis meski wajahnya sering dikusut-kusutkan. Satu-satunya perempuan di kumpulan kami yang memberi sentuhan “keibuan” di antara keliaran yang lain.

“Nampak kali kau kurang motivasi tadi, Re,” kata Rafael sambil duduk di sampingku bersama Danu.

“Gak ada urusannya sama motivasi kalik ah,”

“Jelas ada,” sambung Danu “motivasi itu kayak energi tambahan kita mau ngapa-ngapain.”

“Ko kalo menang sok bijak gini yang pake nge-quote segala.”
Rafael tertawa cengengesan. Danu lagi-lagi senyum sok ganteng. Sial!

“Skripsi kau tu juga butuh motivasi Re kalo mau cepat kelar,” lanjut Rafael lagi.

“Kau udah kelar emangnya?”
Dasar gak tahu diri. Rafael juga sama sepertiku yang belum sidang skripsi. Bisa-bisanya dia ngomongin soal skripsi sama aku. Danu sudah sidang sebelum lebaran kemarin sementara Clara sekarang lagi KOAS di RS (belakangan aku baru tahu kalau KOAS itu bukan “kerja” tapi masih kelanjutan jenjang pendidikan dokter gitu).

By the way,” kata Danu “arah jam 1 ada pasangan jogging tipe nomer 3.”
Arah jam 1 Danu berarti arah jam 7 dari posisiku. Aku memutar kepala ke arah yang dimaksud, pelan-pelan seperti bergerak biasa. Sepasang cowok cewek lagi jalan sambil ngobrol. Pasangan jogging tipe nomer 3 adalah pasangan pacaran sambil jogging. Menurut teori yang dihimpun oleh Danu, ada tiga jenis pasangan yang jogging di Stadion Mini. Tipe pertama adalah pasangan atlet, yang keduanya serius kalau lagi lari alias gak ada ngobrol. Tipe kedua ada pasangan pengen kurus. Biasanya yang cowok suka lari mundur sambil ngasih semangat ke ceweknya, sedangkan ceweknya lebih banyak diam karena gak kuat lari tapi maksain lari demi kurus. Tipe terakhir ada pasangan pacaran sambil jogging. Jogging-nya satu putaran, ngobrolnya tiga putaran.

Untung saja tadi Clara pergi mengajak Dede, bisa rusak Dede entar kalau ikutan nimbrung obrolan ngaco kami bertiga yang mengomentari tiap-tiap orang yang lalu lalang.
Bicara soal Dede, kulihat Dede sedang berjalan ke arah kami bersama Clara sambil membawa sebungkus plastik penuh buah.

“Makan nih, Predator!” Kata Clara.

“Predaor tu biasanya karnivora. Kalau kami karnivora  mestinya ko ngasih kami daging lah, masa buah.” Timpal Danu.

“Bawel!” balas Clara.
Sore kami habiskan dengan kembali ngobrol ngalor ngidul. Tentunya dengan sedikit batasan agar tak memberi pengaruh buruk pada Dede. Saat hari sudah menjelang gelap, kami pulang. Aku nebeng dengan Danu, Clara bawa mobil sendiri sementara Rafael dan Dede boncengan motor berdua.

***

Eh, tadi Rafael bilang apa ya? Ah ya, motivasi. Motivasi? Hahahaha. Mungkin ada benarnya juga.

to be continued...

Daftar Episode:
#1

#2
#3 
#4 
#6 
#7 
#8  
#9

 

Komentar