Writer's Block #4

Assalamu'alaikum wr wb.

Selamat Pagi Kesiangan :D




“Kenapa pengen jadi dokter?”
“Karena aku pengen menyelamatkan banyak orang”

Pertanyaan pertama direspon cepat. Botol kembali diputar. 4 buah jantung berdebar-debar, cemas berharap putaran botol tak berhenti dengan mulut botol menunjuk ke arah mereka. Detik-detik menegangkan. Melambatnya laju putaran berbanding terbalik dengan kecepatan  degup jantung. Botol berputar kian pelan, kian pelan. Jantung berdegup kian cepat, kian cepat. Tiap mulut botol menunjuk sesaat ke arah mereka, masing-masing berharap agar botol terus berputar ke arah sebelahnya. Berputar terus, terus, terus dan terus.

Botol kaca itupun akhirnya berhenti, setelah gaya awal yang dikenakan padanya lambat laun dihentikan oleh gesekan permukaan meja. Botol itu berhenti menghadapkan ujung mulutnya ke arah korban sebelumnya lagi: ke satu-satunya perempuan yang duduk melingkar di antara mereka berempat. Sang perempuan mendengus sebal sementara tiga lelaki yang tak ditunjuk mulut botol bersorak.

Truth or Dare?” kata lelaki yang duduk di depan si perempuan. Bibirnya menyeringai dengan menaikkan sudut bibir sebelah kiri saja; tampak jahat. Otak isengnya sedang berpikir mencari-cari pertanyaan apa kiranya yang bisa dijadikan pertanyaan atau tantangan.

Truth aja lah lagi,” jawab si perempuan. Aku kan gak punya aib. Selo aja Ra, selo, batinnya.

“Oke,” kata lelaki di sebelah kanan si perempuan “aku duluan. Pertanyaan ini penting dan mungkin bakal kutanyain ke masing-masing dari kalian selanjutnya nanti...”

Tiga pasang mata memerhatikan teman mereka yang menggantungkan kalimatnya. Menunggu pertanyaan yang akan diajukan. Sadar kedua temannya menampakkan raut penasaran ke arahnya, lelaki tadi kembali berbicara.

“Ra, kenapa kamu pengen jadi penulis?”

Si perempuan terdiam. Tampak berpikir, sebagaimana juga dilakukan oleh kedua teman lelakinya. Ada hening yang cukup lama sebelum si perempuan akhirnya mengemukakan jawaban.

“Gak tahu,” jawabnya polos.

“Dasar perempuan!” dengus lelaki yang mengajukan pertanyaan. Lelaki yang berada di depan si perempuan terlihat masih berpikir, kira-kira apa yang jadi alasannya ingin jadi penulis. Kalau-kalau nantinya dapat giliran dan diberi pertanyaan yang sama, setidaknya dia sudah punya jawaban.

“Aku rasa aku tahu jawabannya,” lelaki yang duduk di sebelah kiri si perempuan mulai berbicara “mungkin karena dia, dan aku rasa kita yang lainnya juga, ingin menyelamatkan diri sendiri.”

Menyelamatkan diri sendiri dengan jadi penulis, gagasan yang cukup masuk akal pikir si perempuan.

Sampai saat ini, gagasan tersebut masih membayang-bayangi si perempuan. Apakah bisa ia nantinya menyelamatkan dirinya sendiri dengan menjadi penulis? Sejauh ini, sejak memutuskan mencintai dunia literasi dan makin giat membuat tulisan di laman blog pribadi dan beberapa akun medsosnya, si perempuan belum tahu dari apa ia menyelamatkan dirinya dengan menulis.

Menjadi seorang penulis, berarti juga menjadi seorang pemikir. Walaupun menjadi pemikir tak serta-merta menjadikan seseorang menjadi penulis. Ia berpikir belum benar-benar layak untuk menyandang predikat seorang penulis. Ia belum punya karya apa-apa, selain postingan di blog pribadinya. Saat kita menuliskan ide dan mempublikasikannya, saat itu pula kita telah menjadi seorang penulis, kata salah seorang sahabatnya. Apa hanya itu saja yang jadi indikator bahwa seseorang itu adalah penulis? Pada akhirnya, mereka berempat bersepakat menyebut kelompok mereka sebagai kumpulan calon penulis, bukan  penulis.

***
Rumah sakit tempatnya menjalani pendidikan profesi cukup lengang di pagi Senin. Belum ada aktivitas cukup berarti di sekitarnya. Meski statusnya masih koas alias dokter muda, sahabat-sahabatnya yang kurang paham terkait dunia pendidikan kedokteran menganggap ia “bekerja” di sana. Ia masih belajar lebih tepatnya. Usai dari ruang ganti ia melangkah ke ruang rawat untuk follow up pasien sembari menunggu dokter pembimbingnya datang.

Sudah dua minggu ini ia berada di stase penyakit dalam alias interna, stase yang menurutnya paling subhanallah ribet kali. Ia kira awalnya stase obgyn (akronim dari Obstetri-Ginekologi atau bahasa awamnya kandungan) adalah stase paling ribet, ternyata ada yang lebih ribet lagi dari urusan kandungan. Minggu pertama ia habiskan bergaul dengan alat-alat bantu jantung. Bunyi bip-bip dari alat EKG sangat horor baginya, khawatir salah satu dari mesin-mesin itu akan berbunyi bip panjang saat gilirannya jaga malam di sana. Tidak, tidak. Ia belum cukup berani untuk ambil tindakan apa-apa. Ia belum cukup siap untuk menyelamatkan pasien jantung. Awal-awal di stase itu ia dan rekan-rekannya yang lain hanya sebatas mendampingi dokter di sana, di jam-jam tertentu mereka akan diberi tugas-tugas untuk menguji kembali pengetahuan selama di kampus dulu.

Meski lebih ribet ketimbang stase obgyn, minggu ini ia punya waktu sedikit lebih luang. Cuma sedikit, tapi lumayan juga dari pada tidak sama sekali. Mungkin ia bisa sempatkan untuk cari-cari ide atau malah menulis ketika sedang luang nanti. Selama stase obgyn dulu, terlintas di pikiran tentang menulis saja tidak ada. Sedikit banyak, ia mulai ragu. Mampukah ia menjadi dokter juga penulis sekaligus jika membagi waktu untuk menulis ia tak mampu?

Usai bimbingan tepat tengah hari dengan dokter pembimbing mereka, ia dan beberapa rekan sekelompok stase interna beranjak ke kantin rumah sakit sementara beberapa rekan lain masih di ruang ICCU, menunggu giliran istirahat mereka. Harus ada yang tetap standby di sana.

Ra, udah istirahat? Gue pen curhat, ihh

Sebaris pesan masuk dari teman SMA-nya saat ia mengeluarkan ponsel. Diketiknya cepat pesan balasan.

Ini juga baru keluar. Curhat apaan?

Good. Gue udah di kantin RS nih. Ketemu di sini yuk.

Ia masuk ke dalam kantin, melirik ke kanan-kiri mencari temannya di antara meja-meja. Ketemu! Seorang perempuan berjilbab oranye terang melambaikan tangan ke arahnya. Setelah memesan makan siangnya, ia berjalan menghampiri temannya; pasien langganannya perihal dunia cinta-cintaan.

“Okay, pasti urusan cowok lagi, kan?” tebaknya begitu duduk.
“Hehehehe.”
“Udah ketebak, kenapa lagi emang? Cerita dong.”
“Gue kemaren abis nabrak cowok, Ra.” Ucap temannya.
“Terus lu suka sama doi? Yaelah kayak ftv ini.”
“Doi mantan gebetan gue dulu...”

Baik, sepertinya masalah temannya kali ini beneran rumit. Bisa-bisanya dia menabrak mantan gebetannya. Ada ratusan bahkan ribuan orang di jalanan, memangnya tidak ada orang lain yang bisa ditabrak apa?

“Terus terus, kondisinya kek gimana?”
“Betisnya, entah tulang apa gitu gue juga gak paham, patah,” jawab temannya “sampe digips segala lagi. Dan lu tau apa kata dia waktu abis digips, Ra?”
“Apa?”
“Aku kira hati aku doang yang bisa dipatahin, rupanya kaki juga bisa, ya. Gitu katanya, Ra.” Rengut temannya “Gue harus gimana dooooong?”
“Biaya pengobatan elu yang tanggung kan?” tanyanya sambil menyuap nasi padang pesanannya yang baru datang.

“Iya.”
“Udah minta maaf soal kecelakaan itu?”
“Udah.”
“Yaudah, berarti gak masalah lagi dong.”

Baginya, setiap ada teman-temannya yang curhat karena galau akut urusan asmara kepadanya, sebenarnya mereka gak butuh solusi apapun. Mereka hanya butuh ada orang yang mendengar keluhan mereka. Mereka butuh didengarkan; semua orang butuh didengarkan.

“Lu gak ada pengen kasi gue solusi atau apa gitu?”
“Solusi buat apa?”
“Soal kata-kata doi waktu itu, gimana dong?”
“Hati itu lebih hebat dari tulang kaki. Waktu penyembuhannya mungkin lebih lama tapi sehabis patah, hati jadi lebih kuat dari sebelumnya. Doi ngomong gitu mungkin karena kebetulan keinget aja soal kalian dulu. Urusan perasaan kalian, kan, urusan masa lalu. Besok-besok pasti doi dan elu gak bakal kepikiran soal masa lalu kalian lagi. Kalian butuh waktu aja, ketimbang solusi dari gue.” Ungkapnya panjang lebar. Temannya meminum teh es sambil memikirkan kata-katanya barusan. Ia kembali melanjutkan mengunyah sebelum kemudian berbicara lagi.

“Doi sampai sekarang masih belum move on sedangkan elu sendiri masih merasa bersalah. Ditambah lagi elu, dengan cukup cerdasnya, menabrak doi sampe patah gitu, wajar kalo merasa bersalah. Itu alami. Natural. Kalo tiba waktunya nanti, kalian gak bakal kayak gini lagi kok. Elu gak merasa bersalah lagi, doi nantinya bisa beralih hati. It`s all about timing.”

Temannya mengangguk-angguk.

“Tapi gak tau deh ya, kalo ternyata kalian malah jadian ternyata nanti hehehe.” Selorohnya
“Sialan lu.”
“Lah kan mana tau aja, urusan masa depan siapa yang bisa nebak-nebak coba, kan?”

Ia tertawa lalu melanjutkan makan setelah tawanya usai. Temannya tampak berpikir sambil memutar-mutar pipet di dalam gelas.

“Gue rasa, emang ada benernya deh quote yang pernah gue baca di instagram dulu,” ucap temannya melanjutkan pembicaraan "kita pasti punya teman yang jomblo akut tapi paling sering jadi tempat curhat asmara...”
“Tapi gue enggak punya tuh.”
Jika tidak, berarti kamulah jomblo itu.
“Hahahaha dasar lu ya.”

Ponsel di sakunya kembali bergetar. Dilihatnya pesan masuk di multiple-chat geng calon penulis-nya. Sebuah tangkapan layar dari postingan instagram salah satu sahabat mereka: foto dua pasang kaki bersepatu, sepatu cowok dan cewek. Sepatunya familiar nih, guys. Ada yang kenal? ketik si pengirim foto. Cikiciiiiw, balas sahabatnya yang lain. Sahabat mereka yang dimaksud belum menampakkan diri di obrolan, mungkin sedang menyusun statement klarifikasi.

Dunia asmara memang aneh, pikirnya. Perempuan mana lagikah menjadi pelabuhan hati sahabatnya? Apakah semua laki-laki seperti itu ya, mudah berpindah dari satu hati ke hati lainnya, berpetualang dari satu kisah ke kisah lainnya? Rasanya, terakhir kali ia bicara empat mata (mungkin sebenarnya enam, mengingat matanya ada empat ditambah kacamata) dengan sahabatnya itu terkait hubungannya dengan salah seorang perempuan, sahabatnya memilih bungkam. Seperti sebegitu patah hatinya hingga tak jelas batas antara kesedihan atau amarah di balik sorot mata sahabatnya. Ia tak ingin melanjutkan bertanya sesuatu yang sepertinya enggan dibahas oleh sahabatnya tersebut kala itu.

Ia menebak-nebak, apakah perempuan itu adalah perempuan yang sama yang pernah dekat dulu dengan sahabatnya. Jika benar, itu berarti bagus. Sudah semestinya sahabatnya itu fokus menjalin hubungan yang serius dengan satu perempuan. Jika tidak, lantas siapa? Tidak bosankah sahabatnya berganti-ganti kekasih?

Tidak bisakah sahabatnya fokus?

Ahh, kamu sendiri juga belum bisa fokus, Ra. Bisik sebuah suara dalam bathinnya. Ya, ia sendiri juga belum fokus: memilih antara fokus jadi dokter atau menjadi penulis. Ia tak bisa mengambil keputusan, mana yang sebenarnya ia ingin selamatkan, orang banyak atau dirinya sendiri. Keinginannya menjadi dokter sama kuatnya dengan keinginannya menjadi penulis.

Bisakah menjadi penulis yang tak hanya menyelamatkan diri sendiri tapi juga menyelamatkan orang-orang?

Dikuncinya kembali layar ponsel. Usai menandaskan isi piring, berpamitan dengan temannya, ia bergegas ke mushola di dalam RS. Masih banyak waktu tersisa sebelum bergantian jaga dengan teman-temannya yang masih di ICCU.

Setelah sholat dzuhur, mungkin ia bisa mulai menulis sesuatu yang bisa menyelamatkan orang lain

tidak hanya menyelamatkan dirinya sendiri.

To be continued...

Daftar Episode:
#1

#2
#3
#5 
#6 
#7 
#8  
#9



Komentar