Bandara

Assalamu'alaikum wr wb
Selamat Pagi Kesiangan :D





Apa itu jarak? Jarak adalah waktu yang dibutuhkan untuk satu kali pertemuan. Jarak adalah masa penantian. Sebagaimana setiap penantian, jarak memiliki batas akhir. Batas akhir kapan kita akan berhenti menunggu. Semua hal diciptakan memiliki batas, kan?

Inilah yang coba diyakinkan seorang wanita kepada lelakinya. Bahwa jarak jauh yang akan terbentang di antara mereka, hanyalah satuan waktu yang mereka butuhkan untuk kembali bertemu. Kembali bersatu.

“Pekanbaru-Jakarta itu kurang dari 2 jam,” ucap sang perempuan.

Sang lelaki tersenyum kecut.

“Itu jarak SSK-II dengan Soetta, Sayang. Bukan Pekanbaru-Jakarta.”

“Kita, kan, terhubung lewat dua bandara ini.”

Digenggamnya erat tangan sang lelaki, meski sebenarnya sangat ingin memasrahkan tubuh tenggelam dalam pelukan lelakinya. Ini tempat umum, pikir sang perempuan. Tak layak mengumbar kemesraan di negara yang menjunjung tinggi adat budaya dan kesopanan. Cukuplah kedua pasang tangan mereka saling bertaut. Merasakan hangat juga kekhawatiran yang mengalir lewat pembuluh nadi di jemari.

Sang perempuan mafhum saja dengan apa yang tengah dirasakan lelakinya. Perasaan yang sejak beberapa bulan rencana keberangkatannya mengganggu ketenangan hubungan mereka. Mereka sebenarnya tidak berpisah, hanya menjalani kehidupan nantinya tanpa satu sama lain di tempat yang berbeda. Berjarak dua bandara, dua kota.

Konsekuensi atas apa yang selama ini disebut cita-cita. Sebuah panggilan kerja dari salah satu perusahaan di Ibukota, hasil positif atas serangkaian proses seleksi ketat yang dijalani sang perempuan beberapa waktu yang lalu. Hasil yang menggembirakan seharusnya, sebab pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang diidam-idamkan sang perempuan. Walau pada kenyataannya juga meninggalkan kesan menyedihkan mana kala ia harus meninggalkan beberapa jenak lelakinya di kota yang telah mempertemukan mereka.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama mereka dipisahkan oleh kota yang berbeda. Sang lelaki yang memiliki kegemaran berpetualang sudah sekian kali pergi keluar kota untuk menjajal puncak-puncak tertinggi di berbagai daerah. Hobi yang tak sedikitpun berani diganggu gugat oleh perempuannya meski hal itu kerap mengurangi intensitas pertemuan dan komunikasi mereka sebab minimnya keberadaan sinyal di tiap tempat penjelajahan. Tapi petualangan sang lelaki pun tak pernah memakan waktu cukup lama. Tidak seperti kenyataan yang sebentar lagi akan mereka hadapi bahwa sang perempuan baru akan kembali ke kota mereka hanya  setahun sekali.

Dalam pikirannya, sang lelaki tak henti-hentinya bertanya kepada dirinya sendiri perihal nasib seperti apa yang akan terjadi pada hubungan mereka. Telah begitu banyak hal yang mereka lalui untuk sampai hingga bisa seperti sekarang. Melewati pertengkaran demi pertengkaran dan meleburkan perbedaan pada tiap ketiadasamaan prinsip, sudah khatam mereka jalani. Bisakah mereka melewati perbedaan kota kali ini?

Teringat pula oleh sang lelaki saat pertama kali ia dilepas pergi merantau oleh ayahnya beberapa tahun yang lalu. Saat ia sendiri masihlah remaja tanggung yang baru selesai menempuh pendidikan SMA dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Kampung halaman yang teramat jauh dan biaya transportasi yang cukup besar memaksanya menyetujui titah sang ayah untuk tidak pulang kecuali libur hari raya. “Anak lelaki mesti tahan banting, juga tahan rindu,” ujar sang ayah menguatkannya kala itu. Begitulah seharusnya ia sekarang, kuat menahan rindu yang akan dihadapinya nanti.

Lalu lalang orang mulai menyepi. Beberapa calon penumpang tampak bergegas membawa tas dan koper mereka. Kurang dari setengah jam lagi dari jadwal keberangkatan pesawat yang akan dinaiki sang perempuan. Waktu di mana semestinya ia sudah check in dan menanti di ruang tunggu untuk persiapan boarding. Genggaman tangan mereka tak jua merenggang, seolah begitu takut berlepasnya kedua tangan mereka serta merta terlepas juga segala kekuatan dan pertahanan yang mereka coba bangun di dalam hati.

Tapi cinta memang sepaket dengan rasa takut, kan?

Dalam ilmu persimbolan, seekor merpati merupakan lambang dari malaikat perdamaian sementara dua ekor merpati adalah perlambang kesetiaan. Mungkin, butuh dua “kedamaian” untuk mencapai sesuatu yang kita sebut sebagai “kesetiaan". Dengan kata lain, butuh sepasang hati yang damai untuk setia.

Salah satu hal yang mungkin mampu tetap menguatkan perasaan, menjaga kesetiaan adalah dengan mendamaikan hati mereka masing-masing terlebih dahulu. Meyakini dengan sungguh bahwa ketenteraman di hati mereka berdualah yang akan menguatkan ikatan perasaan, tak peduli seberapa jauh rentang antara kedua bandara, kedua kota tempat mereka berada.

Mengadu tatapan kedua mata, membaca isyarat yang hanya mampu diterjemahkan satu sama lain, pikiran mereka bercengkerama tanpa suara di antara bebunyi mesin pesawat yang baru lepas landas—atau mungkin baru mendarat, roda-roda koper yang diseret, juga ketukan puluhan pasang sepatu di lantai keramik. Pengumuman boarding dari pengeras suara menyadarkan mereka untuk segera saling melepaskan genggaman.
Satu kerjapan mata berbalas langsung. Tangan sang perempuan yang tak lagi menggenggam tangan lelakinya lantas meraih gagang koper, bersiap berangkat.

“Jaga diri kamu, ya,” pesan sang lelaki.

“Tunggu aku pulang,” balas sang perempuan. Sesimpul senyum menjadi hiburan terakhir sebelum tubuhnya beranjak meninggalkan lelakinya.

Dua bandara. Dua kota.

Dua anak manusia melepaskan diri dari bersama-sama untuk sekian jarak waktu. Entah sementara atau selamanya, ditinggalkan kekasih tetap saja menimbulkan rasa perih.

Sembari melihat punggung perempuannya yang kian menjauh memasuki ruang tunggu keberangkatan, sang lelaki menggumam lirih sepotong puisi yang telah dihapalnya di luar kepala:

Pertemuan adalah pertempuran
yang ditunda langit disepakati bumi*
.
.
.
.
.

*Penggalan puisi “Di Pertempuran” karya Adimas Immanuel

First Post di 2017~ 💃

Ada mau komen, kritik ataupun saran? Jangan ragu-ragu tinggalin jejaknya di kolom komentar ya :)

Komentar