Assalamu`alaikum wr wb.
Selamat Pagi Kesiangan :)
Selamat Pagi Kesiangan :)
Rintik hujan pertama di pagi pembuka bulan November
menjadi alarm datangnya musim hujan di akhir tahun. Titik-titik kecil
berguguran dari tahta langit yang berselubung awan kelabu. Semilir pelan angin
mengikuti parade penghujan, bertiup ke arah utara menggoyang lembut daun-daun
di cabang tertinggi pepohonan. Tidak ada kilat juga geluduk yang bersahut
menyemarakkan, hanya bunyi miliaran titik air yang menyeruduk genteng juga jalanan memainkan simfoni
nyanyian hujan. Barangkali, ini masih
pembukaan fikir petir, ada banyak kesempatan lain untuk menunjukkan
eksitensinya menciptakan gema yang menggelegar dari langit hingga ke bumi.
Kulihat di jalanan, seorang bapak yang membonceng
anaknya memacu kencang sepeda motor. Di bawah lindungan mantel hujan berwarna
perak, sang bapak gesit melewati sisi tak rata jalan yang membentuk genangan.
Jika saat hujan orang-orang menghindari genangan, kenapa tidak mengindari kenangan juga ?
Dari jendela kamar yang menghadap ke arah timur, aku
sebenarnya berharap pagi ini bisa menikmati matahari terbit seperti biasanya. Menunggu
detik-detik matahari merangkak dari ufuk. Walau sedikit terhalang oleh
gedung-gedung tinggi yang menjulang, cahaya matahari pagi selalu mampu menyusup
di antara celah bangunan. Menumpahkan warna oranye cerah ke udara. Menyambut
matahari terbit setiap paginya selalu menjadi penyemangat untukku. Pagi
mengisyaratkan bahwa tak ada kegelapan abadi, selalu ada titik terang menyambut
setiap keadaan nircahaya.
Hujan baru berhenti beberapa jam kemudian,
menyisakan rinai gerimis pelan. Awan kelabu masih menggantung di langit
mencipta tabir untuk cahaya matahari. Matahari mungkin sudah cukup tinggi di
atas sana. Aku sudah berada di luar, menengadahkan kepala ke atas. Tak peduli
hujan sederas apapun, akan selalu ada pelangi setelahnya, bukan? Itu yang
kerap dikatakan gadisku; Helena.
Helena adalah pengagum pelangi sejati. Helena serupa
garis-garis penuh warna yang dicintainya. Ibarat langit mendung abu-abu sisa
hujan yang diberi warna-warni pelangi, begitulah hidupku saat bersama Helena. Senyumnya,
binar matanya, keceriaannya, tawanya adalah stimulan bagi seluruh sel-sel
sarafku yang kemudian diterjemahkan sebagai kebahagiaan. Kebahagiaan atas nama
cinta.
“Untuk menemukan pelangi yang indah, yang pertama
kali harus kamu temui adalah hujan,” ucap Helena saat itu. Kami tengah berteduh
di teras kelas, selepas kuliah menjemukan sekian sks yang didominasi suara
hujan di genteng alih-alih suara dosen yang menerangkan materi. Aku melirik
cemas arloji di lengan kanan, sudah jam lima sore.
“Iya, tapi aku sekarang buru-buru, Sayang.”
“Kamu selalu terburu-buru.”
“Hujan yang jadi penyebabnya, hujan menahan kita di
sini."
“Bukan hujan yang menahan kamu, kamunya aja yang
menahan diri dari hujan.”
Helena tiba-tiba menarik lenganku, berjalan menembus
derasnya hujan. Aku tak melakukan perlawanan apapun. Membiarkan kakiku
melangkah mengikuti Helena melewati kepungan hujan. Hanya perlu sekian detik
untuk tubuh kami sempurna basah kuyup oleh tumpahan air dari langit. Kutatap
wajahnya yang tetap cantik di bawah kucuran hujan. Kecantikan alami yang tak
dipoles berlebihan seperti gadis-gadis kebanyakan. Hujan tak melunturkan
kecantikannya. Kutempelkan kedua tanganku di pipinya, merasakan hangat darah
yang mengalir di dalamnya.
“Will you
promise me one thing?” tanya Helena.
“Anything, darl.”
“Never let rain
or anything stop your dream.”
Aku memangkas jarak di antara kami. Menyisakan beberapa
senti antara kedua hidung. Kutatap jauh di kedalaman matanya untuk meyakinkan
betapa serius jawaban yang akan kuberikan. Kulengkungkan senyum di bibir yang
kemudian segera dibalasnya.
“Sure.”
***
Pagi ini tidak ada Helena, tapi ada pelangi. Kupandangi
takzim busur melengkung berwarna di sudut langit, menatap ujung-ujung garisnya
yang memudar di bawah. Helena selalu menyukai pelangi. . . tapi aku tidak. Aku lebih
menyukai matahari. Dan Helenapun menjadikanku sebagaimana matahari: menjadi
pusat semestanya.
Aku tidak ingin memperlakukan Helena selayaknya
pelangi-walau pada kenyataan dia memberikan warna lebih pada hidupku seperti
pelangi. Pelangi hanyalah wujud keindahan fana. Mengajarkan pada manusia bahwa
keindahan duniawi ini hanya sesaat, sebelum akhirnya nanti hilang tak bersisa. Aku
tak ingin kehilangan Helena.
Aku ingin benar-benar menjadi matahari untuk Helena.
Menjadi cahaya yang tetap meneranginya walau terhalang awan sekalipun.
Menawarkan hangat juga nyaman dalam dekap yang tak akan didapatnya dari rentang
lengan siapapun kecuali pelukku. Selalu kembali padanya, tak peduli seberapa
jauh atau seberapa lama aku pergi.
“Mana yang lebih indah, aku atau pelangi?” tanyaku.
“Kamu tahu sendiri jawabannya,” jawab Helena. Aku tersenyum.
“Mana yang lebih indah, aku atau matahari?” tanya Helena balik.
“Lebih indah bukannya lagu Adera, ya?” Cubitan pedas
di sisi kiri perut kemudian mendarat cepat. Aku tertawa, bahagia setengah mati.
Menyukai hal yang berbeda tak lantas membuat kami
tak saling menyukai. Perbedaan memang mestinya tak memisahkan apalagi
memusuhkan. Hubungan yang baik justru merangkai kesamaan juga perbedaan
sekaligus, menyulamnya menjadi ikatan yang kuat. Tak perlu disamakan, tak perlu
disatukan jika memang sulit. Biarkan perbedaan itu mendapat porsinya, menjadi
warnanya masing-masing. Perpaduan warnalah yang membuat pelangi indah.
***
Penghujung November. Matahari bersinar terang. Tanpa
hujan. Musim hujan berjeda beberapa hari belakangan. Langit biru cerah
membentang dari ujung ke ujung. Awan seputih kapas terbang lambat beriringan. Menutupi
terik untuk sesaat. Udara panas ditambah polusi gas buang kendaraan meningkatkan
kenaikan suhu. Setidaknya sampai petang. Suhu udara menurun sederajat demi
sederajat tapi tidak dengan manusia.
Suara klakson bersahutan di dekat lampu lalu lintas.
Orang-orang di jalan berebut saling mendahului tepat saat lampu hijau baru
menyala. Orang-orang yang terburu-buru. Orang-orang yang dikejar waktu, atau
malah mereka sendiri sebenarnya yang mengejar waktu. Entahlah.
Aku naik ke bagian atap rumah. Matahari tinggal
sehasta dari garis horizon. Cuaca mendadak mendung, tapi aku tetap dapat
melihat matahari di ujung barat. Bergerak turun secara dramatis seolah tak ada
yang menyadarinya bergeser sejengkal demi sejengkal. Aku lalu duduk di puncak
genteng, menghadap ke arah barat. Matahari yang nyaris tenggelam mulai
meninggalkan rona jingga dan lembayung di langit bersamaan dengan gerimis.
Helena mengambil tempat, duduk bersandar di
punggungku menatap ke arah timur.
“Kamu tahu kenapa aku gak suka pelangi?” tanyaku begitu
menyadari Helena telah duduk.
“Karena kamu tidak suka sesuatu yang sementara?”
“Karena untuk melihat pelangi aku harus memalingkan wajahku
dari matahari, membelakangi sumber cahaya sebenarnya.” Aku bisa merasakan bahwa
di belakangku Helena sedang tersenyum. Helena gantian bertanya.
“Kamu tahu kenapa aku suka pelangi?”
“Karena keindahannya?” Aku menjawab ragu.
“Karena kehidupan manusia yang indah namun singkat persis
seperti pelangi. Aku ingin menikmati setiap detik keindahan singkat ini, aku
ingin mensyukuri keindahan fana ini.”
Kali ini aku tersenyum. Mataku memandangi matahari yang
mulai mencapai garis horizon. Langit mulai redup.
“Kamu tahu gak, sebenarnya kamu bisa melihat pelangi
tanpa harus membelakangi matahari?” tanya Helena.
“Dengan cermin?”
“Halo."
“Can you hear me?”
“Kamu kok lucu sih, sayang?” Helena mendengus
kesal, menyikut pinggangku.
“Kalo aku gak lucu mana mungkin kamu bisa jatuh
cinta sama aku, kan?” Gombal.
“Ya deh, pacarku yang lucu,” ucap Helena “tapi aku
beneran serius soal Halo tadi. Halo itu fenomena pelangi yang melingkari
matahari. Jadi kamu bisa melihat pelangi tanpa membelakangi matahari tercinta
kamu.”
“Ahh, masa iya?”
“Iya dong."
“Kok aku gak pernah liat?”
“Karena kamu cuman peduli soal awal dan akhir
perjalanan matahari, kamu gak memperhatikan bagaimana perjalanannya itu sendiri,”
terang Helena “memang penting untuk mengetahui awal perjalanan sesuatu dan
memperhatikan bagaimana perjalanan itu akan berakhir, tapi lebih penting lagi
untuk menikmati perjalanannya.”
Mega-mega lembayung seperti bergelora di ujung
langit. Kubalikkan tubuh untuk melihat ke sudut lain langit, memastikan
pelangi sisa gerimis tadi telah ditelan gelap bersama dengan Helena. Matahari
telah tunai melaksanakan tugasnya hari ini, begitu juga aku. Dalam sekali
sapuan lembut angin sore, tubuhkupun lenyap. Sampai jumpa lagi, Helena.
Komentar
Posting Komentar