Assalamu'alaikum wr wb
Selamat Pagi Kesiangan :)
Kenapa geer
banget sih, lu? Kepedean banget jadi cewek
Selamat Pagi Kesiangan :)
Seusai mengerjakan rutinitas pagi Minggu berupa
bersih-bersih kamar, aku mematungkan diri di depan layar notebook. Headset yang telah berpaut di kedua telinga juga sudah
kusetel memainkan musik dari Hp. Sebuah garis kecil tegak lurus berwarna hitam
berkedip di lembar kerja word. Belum
ada satu kata yang berhasil kuketikkan di sana. Mataku memandang malas ke arah
dinding di depanku yang telah ditempel beberapa kertas kecil bertuliskan kata
motivasi juga calon judul tulisanku selanjutnya. Ide-ide merayap sesekali
melintasi kepala. Seolah menjadi jawaban atas segala kebuntuanku. Muncul
sekejap, lalu kemudian hilang. Begitu seterusnya sampai-sampai aku sendiri muak
dengan kondisi seperti ini. Kondisi dimana ide datang lalu hilang persis
seperti gebetan yang PHP ; datang untuk meninggalkan (Hoeeeeeek)
Lebih dari sebulan vakum dari kegiatan menulis
membuat otakku berjalan teramat lamban. Perkara menulis serasa kembali menjadi
asing dilakukan. Seperti halnya kendaraan yang sudah sekian lama tak pernah
dihidupkan, otakku kembali dipaksa untuk menuangkan ide ke dalam rangkaian
kata. Berat di awal, tapi akan lebih berat lagi jika aku tak mulai
memaksakannya sesegera mungkin. Satu bulan! Rekor terlama yang pernah
kutorehkan dalam hal meninggalkan kegiatan menulis. Aku mesti bekerja ekstra
keras agar jari-jariku kembali lihai menari di atas tuts keyboard. Sebelum ide-ide yang sempat singgah menjadi hilang,
sebelum otakku benar-benar kehilangan kemampuan untuk mengingat, aku mesti
kembali menulis.
Kopi instan kalengan dengan rasa latte sudah kuminum seperempatnya. Kalimat di lembar word belum ada sehurufpun berhasil kuketikkan. Sementara di
luar sana, matahari sudah merangkak lebih dari setinggi tombak menandakan waktu
dhuha sudah masuk. Seberkas sinar matahari perlahan melewati kisi-kisi kaca di
tembok memasuki kamar.
Aku bergerak ke tempat sakelar untuk memadamkan
lampu kamar yang masih menyala. Begitu duduk, sempat terlintas untuk menuliskan
kalimat pertama berupa adegan mematikan lampu kamar seperti yang baru saja kulakukan.
Sebuah notifikasi pesan menginterupsi sepersekian detik lagu yang dimainkan di
Hp juga niatanku mengetikkan kalimat adegan mematikan lampu tadi. Sebuah pesan
di multiple chat. Hanya perlu waktu
lebih lambat sedikit dari kedipan mata untuk menanti pesan-pesan lainnya
memberondong Hp-ku.
Salah satu aturan utama soal menulis di me time-yang sangat jarang
didapatkan-adalah : pastikan bahwa data selulermu telah nonaktif sehingga
meminimalisir pesan-pesan tidak penting memasuki ruang obrolan. Menonaktifkan
data seluler ini bagiku juga bertujuan agar tidak tergoda mengecek linimasa
saat rehat sejenak ketika menulis. Tak pernah ada kata Cuma bentaran doang, kok kalau sudah buka sosmed. Sayang seribu
sayang, aturan penting itu justru aku lupakan.
Belum mulai menulis, fikirku. Mungkin sebentar saja
mengecek obrolan di multiple chat
tersebut bisa memunculkan ide. Mungkin
saja. Sekelompok personil multiple
chat yang merupakan geng “Calon Penulis” dimana aku juga bagian di dalamnya,
telah meramaikan ruang percakapan. Belum ada bahasan apa-apa yang sekiranya
cukup penting untuk kuikuti. Aku berniat mematikan data sampai akhirnya sebuah
chat personal masuk, dari satu-satunya anggota perempuan di geng kami.
Aku pen cerita
Yaudah, tinggal
ngomong aja
Gak di sini,
ketemuan yok
Kafe baru dekat
kosmu, gimana?
Sore, jam 4,
ontime!!!
Ahh, elah
Okedeh
Siap,
laksanakan!!!
Obrolan berakhir. Sebuah pesan lagi-lagi memasuki
Hp-ku, kali ini dari aplikasi berkirim pesan yang lain. Awalnya, kufikir cuma
kiriman otomatis dari game. Kulihat nama yang tertera di bagian atas beserta
salam membuka pembicaraan. Bunyi notifikasi sekali lagi, pesan selanjutnya
masuk.
Aku baru aja
baca blog kamu
Blog? Aku bahkan sudah lama tidak menulis apa-apa
di sana.
Boleh nanya
sesuatu gak?
Sebuah stiker dengan gambar wajah memelas dikirim
setelahnya. Beruntung, tampilan pratinjau aplikasi ini memudahkanku agar tak
perlu membuka pesannya untuk membaca. Ada waktu setidaknya lima menit kubiarkan
pesan itu tak beroleh balasan. Selain karena malas menanggapi sosok pengirimnya
yang gemar caper entah mengapa, aku juga mesti buang air sebentar. Aku baru
membuka pesan tersebut setelah selesai dari wc, yang secara otomatis akan
menunjukkan pada Hp pengirimnya bahwa pesan darinya telah kubaca. Kuketik
balasan :
Waalaikumussalam
Boleh, tanya aja
Dan di sisi kiri pesan yang kukirim muncul kata : Baca.
Puisi yang
cerita tentang bunga
Itu tentang aku?
Aku menekuk alis. Puisi itu bahkan sudah kutulis
sebelum mengenalnya, bagaimana bisa dia mempertanyakan hal yang jelas gak perlu
dipertanyakan, seandainya dia memerhatikan tanggal publikasinya. Pertanyaan
paling umum-dan juga sedikit menyebalkan sebenarnya-dari beberapa puisi atau
cerita yang kupublikasikan di blog biasanya adalah siapa
tuh cewek yang jadi inspirasi nulisnya? Aku gak menyangka, ada pertanyaan
lebih menyebalkan dari itu. Mengira tulisan acak seperti itu adalah tentangnya? This girl must be sick!
Gak kok
Kenapa emangnya?
Cuman nanya aja,
sih
Aku langsung menggerakkan jariku keluar dari
aplikasi tersebut, mematikan data seluler dan kembali mencoba menulis.
Gagasan terakhir kembali menguap begitu saja diikuti
mulutku yang turut menguap juga. Sekian lama duduk memandangi layar tanpa
menuliskan barang satu katapun membuatku mengantuk. Gagal sudah rencana memulai
kembali menulis. Kalah melawan beratnya godaan mata, aku pulas di depan layar notebook yang masih menampilkan halaman word yang kosong belum tersentuh. Semoga
saja setelah terbangun nanti halaman tersebut sudah terisi tulisanku, atau
minimal aku bangun dengan ide-ide segar siap dieksekusi.
Terlalu naif berekspektasi. Aku terbangun beberapa
jam kemudian oleh panggilan adzan zuhur. Jangankan ide segar, tubuhku lemas
serta merta dikarenakan tidur pagi. Kucuci muka di kamar mandi lalu berganti
pakaian untuk berangkat ke Masjid menunaikan sholat berjamaah. Pulang dari
sholat, aku kehilangan selera untuk melakukan apa-apa. Kuambil salah satu buku
di rak untuk mengisi waktu. Namun sia-sia. Aku juga tak bernafsu mencekoki
fikiranku lewat bacaan. Kulewati jam-jam siang sebelum ashar dengan berbaring
malas-malasan di atas kasur. Rasa kantukku lenyap, berganti rasa bosan yang
entah dari mana munculnya. Hp di tangan kanan sudah melanglang buana
berselancar di beberapa akun sosial media.
Pemuda dan waktu lapang, berpeluang terisi dengan
kesia-siaan. Tanpa kegiatan fisik yang berarti, tanpa kegiatan yang menguras
kinerja otak. Aku mestinya malu membiarkan diriku jauh dari kegiatan produktif yang membuatku minim karya seperti
sekarang. Membuang-buang waktu dengan kebanyakan berselancar di linimasa tak
membuatku menghasilkan apa-apa. Menghabiskan waktu setidaknya sekian detik
untuk membaca tiap status, tweet atau
caption foto yang kontennya
kebanyakan lebih bersifat menghibur ketimbang memberikan informasi penting itu
jelas bukan kegiatan produktif. Setidaknya, walaupun aku tak menulis apapun,
otakku mesti kubiarkan tetap bekerja dengan membaca hal yang lebih berguna
dibanding postingan di dunia maya. Hitung-hitung membiasakan diri kembali dengan
dunia kata. Ini mungkin langkah baik sebelum aku memulai kembali untuk menulis.
Azan ashar berkumandang, menghentikan sesaat
kegiatan membacaku. Selepas sholat ashar di Masjid, aku tak langsung pulang ke
kos melainkan ke salah satu rumah makan. Perutku belum mendapatkan haknya.
Setelah makan siang-yang kesorean-barulah aku kembali ke kos. Pukul empat
kurang sepuluh menit. Masih sempat untuk bersiap-siap sebelum waktu yang
dijanjikan. Aku berganti pakaian, memakai sedikit parfum, lalu memasukkan
notebook ke dalam ransel. Setelah mengunci pintu kamar, aku bergegas ke lokasi
kafe baru yang tak jauh dari kosku.
Kurang dua menit jam empat sore, aku sudah tiba di
kafe. Melihat sekilas isi kafe yang sudah terisi oleh beberapa pengunjung, aku
memutuskan untuk mencari lokasi meja yang sedikit agak jauh dari pintu depan.
Selain karena mengincar colokan yang berada di sisi dinding, aku juga merasa
pembicaraan kami nantinya pastilah membahas hal yang cukup privasi. Akan lebih
baik mengambil tempat yang agak jauh. Aku mengambil tempat duduk membelakangi pintu
depan.
Seorang pelayan berjalan ke arah mejaku, menyodorkan
menu sambil bertanya pesananku.
“Espresso
satu, plus air hangat ya, Kak.”
Pelayan tersebut mencatat pesanan, sebelum dia
berbalik badan menuju pantry di
belakang, aku mencegahnya pergi sesaat.
“Kak, password
wifi-nya apa, ya?”
Sebagai anak kos sejati, aku mesti pintar menggunakan fasilitas yang ada di tempat yang kudatangi. Setelah melihat tanda free wifi di salah satu dinding, aku tanpa sungkan menanyakan kata sandi wifi kafe ini. Lumayan juga buat mengirit kuota internet.
Sebagai anak kos sejati, aku mesti pintar menggunakan fasilitas yang ada di tempat yang kudatangi. Setelah melihat tanda free wifi di salah satu dinding, aku tanpa sungkan menanyakan kata sandi wifi kafe ini. Lumayan juga buat mengirit kuota internet.
Pelayan tersebut menghentikan gerakan sebentar,
mengucapkan kata sandi lalu berangsur menuju pantry meninggalkan aku setelah mengucapkan terima kasih.
Kukeluarkan notebook
dari ransel. Mulai menghidupkan notebook sambil memasang charger ke colokan. Kumasukkan kata
sandi yang diberikan pelayan tadi. Setelah terhubung dengan koneksi wifi, aku
berselancar membuka blogku yang nyaris bersarang laba-laba tak kuurus sekian
lamanya.
Tampilan statistik menunjukkan jumlah pengunjung
rata-rata per minggunya stagnan selama sebulan. Kubuka tab komentar, belum ada
komentar baru yang masuk. Lebih dari sebulan tanpa menulis, aku benar-benar
terlalu sok sibuk untuk impianku
sendiri.
Pesananku tiba tak berapa lama kemudian. Pelayan
yang datang meletakkan cangkir berisi espresso
dan segelas air hangat di sebelah notebook-ku.
Aku menggeser notebook-ku sedikit ke
samping agar mudah menjangkau espresso.
“Itu kopi, Kak?” suara seorang perempuan terdengar
berbicara kepada si pelayan. Yang ditanya menjawab dengan anggukan. Jilbab
berwarna sapphire blue terulur
membalut kepala hingga ke dada. Baju terusan berwarna hijau muda membungkus
tubuhnya yang lumayan tinggi. Tak lupa, sneakers
berwarna dongker dengan tiga buah garis diagonal menghias kedua kakinya.
Selalu tampil modis seperti biasanya. Kontras dengan penampilanku yang gak ada
keren-kerennya. Kaos merah lengan pendek dan jeans hitam ditambah sendal
gunung. Like beauty and the beast, huh?
“Pesan jus mangga satu, ya.” Mimpi burukku baru
dimulai. Espresso-ku bergeser ke sisi lain meja disusul perempuan tadi yang
duduk di depanku.
“Sudah berapa kali kubilang untuk jangan minum kopi
lagi?”
Kacamata berlensa minus dua dengan bingkai berwarna maroon itu seakan tak mampu menahan sorot tajam pandangannya. Aku tak berkutik.
Kacamata berlensa minus dua dengan bingkai berwarna maroon itu seakan tak mampu menahan sorot tajam pandangannya. Aku tak berkutik.
“Aku ini procaffeine-writer,
Ra. Mana bisa aku nulis kalo gak ngopi,” belaku.
“Ya ya ya. Bilang itu ke asam lambungmu yang labil.
Masih pengen diopname lagi? Diinfus lagi?” Aku bergidik ngeri saat dia
mengatakan soal infus. Dia tahu kalau aku punya fobia jarum medis seperti infus
dan jarum suntik. Opname tiga hari, pertama dan kuharap jadi yang terakhir
seumur hidup.
“Kalo dokter yang periksa kayak kamu, aku mungkin
bakal betah deh lama-lama di RS lagi.” Aku balas menggombal, berharap meredam
emosinya. Tanganku cekatan mengemas notebook
kembali ke dalam ransel. Usai udah menggunakan free wifi milik kafe.
“HAHA LUCU!!!” ucapnya dengan sinis “Sesekali ikuti
saranku apa susahnya, sih?”
Aku diam, memasang wajah pura-pura polos tak
berdosa. Dia jelas gak bakal luluh.
Aku memutar bola mata, mencari topik pembicaraan
sebelum mata kuliah “Pentingnya Menjaga Kesehatan Diri” berbobot 3 sks jadi
bahan obrolan. Ngomong-ngomong, namanya Clara. Dokter fresh graduate yang sekarang sudah bekerja di salah satu rumah
sakit swasta yang baru diresmikan belum lama ini.
“Ehh tau gak? Aku ketemu seseorang dari masa lalu kemaren, pas di expo," ucapnya melanjutkan
pembicaraan. Aku mendengus sebal. Pembahasan yang sama dari duo kampret tadi malam.
“Anak yang lain juga cerita itu tadi malam,” balasku
“jadi untuk itu kamu ngajakin ketemuan?”
“Uuuu baper hahahaha. Gak kok, Dy. Tapi tapi tapi,
dia makin cantik, loh.”
“Peduli setan.”
“Yaah, masih kesel aja kamu, Dy. Kan dulu aku pernah
bilang, dia yang paling perfect dibanding
yang lain. Kalo kalian gak sama-sama sok sibuk dulu pasti bakal jadi perfect couple gitu, deh...” Clara masih
mengoceh panjang lebar. Aku mengalihkan pandanganku ke arah pelayan yang
membawa segelas jus mangga ke meja, mulai mengabaikan ocehan Clara dan itu
berhasil menghentikan topik tidak penting yang dibahasnya.
“Ihh, masih sensitif aja. Becanda doang tadi, loh.”
Clara membelokkan arah pembicaraan, aku menyimak sambil menyedot jus mangga
pesanannya “Gimana proyek bukumu, Dy?”
“Masih jalan...”
“Udah sampe mana?”
“Jalaaaaaan... di tempat,” jawabku sambil memasang
wajah innocent. Clara merengut.
Gantian aku yang bertanya.
“Kamu sendiri gimana? Jalan di tempat juga?”
Clara memangkukan dagunya dengan kedua sikut
bertekuk di atas meja. Hening sekejap. Clara kembali buka suara.
“Aku kayaknya udah terlalu sibuk di RS sekarang,
nyaris gak ada waktu lagi buat nulis, buat nyari ide.”
Ahh, permasalahan yang nyaris sama dengan yang
kualami sebulan belakangan. Sebagai penulis amatir, menemukan mood yang tepat untuk menulis bukanlah satu-satunya
permasalahan yang kami miliki. Kemampuan membagi pekerjaan-pekerjaan lain
dengan kegiatan menulis juga gak gampang bagi kami. Banyaknya aktivitas harian
beserta seabreg pekerjaan tentunya menyisakan waktu yang kami punya untuk lebih
dioptimalkan ke istirahat, alih-alih menyisipkan waktu untuk menulis.
“Aku juga bermasalah soal waktu kayaknya, Ra,”
ucapku. Clara menyesap espresso-pesananku-sambil memperhatikanku bicara.
“Mungkin masalahnya bukan soal waktu, tapi...”
“Kesempatan?” potong Clara “Prioritas lebih
tepatnya,” ucapku mengoreksi.
“Ingat salah satu satu petuah kita? Read, Write and Learn. Life, Love and Learn.
Learn, Learn and Learn. Kita membaca, menulis dan belajar. Kita hidup,
mencintai dan belajar. Semua proses yang kita lalui soal belajar, belajar dan
belajar. Kita mungkin sebenarnya terlalu fokus soal Read and Write, lupa kalo dalam prosesnya kita juga mesti belajar.
Salah satunya belajar untuk mengatur waktu. Kalo emang kita Love sama Read and Write ini, menjadikannya bagian dari Life kita, mestinya kita bisa meletakkannya di bagian prioritas,
bukan? Proses Learn butuh Read and Write juga.” Tuturku panjang
“Sampai sini bahasaku gak ketinggian amat, kan?”
“Gak, Pak Guru. Lanjuuuut."
“Mau lanjut atau kita ulang?” tanyaku memastikan.
“Lanjuuuuuttt. . .”
“Oke. Nah, kembali soal Read and Write. Memposisikannya sebagai prioritas artinya bukan
kegiatan Read and Write yang mengikuti
jadwal kita, melainkan kitalah yang menyesuaikan jadwal kita dengan kegiatan Read and Write tadi. Ini sebenarnya gak
cuman berlaku soal Read and Write aja
sih, tapi juga bisa dalam konteks hal apa saja”
“Dalam hubungan asmara bisa juga?” tanya Clara
dengan raut menggoda. Paras dokter muda di depanku ini jadi semakin cantik
dengan tatapan seperti itu. Sayangnya, itu tak mencegah kenyataan bahwa di usia
yang sudah kepala dua awal dia belum pernah sekalipun menjalin hubungan asmara
dengan lelaki manapun.
“Bisa juga. Sekarang gini, deh. Kalo misalnya nih
ya, kita sayang sama seseorang, kita bakal jadikan doi prioritas apa gak?”
“Prioritas,dong.”
“Begitu juga soal Read and Write kita,
soal mimpi kita. Bukan gak ada waktu sebenarnya, tapi kitanya aja yang gak mau
memprioritaskannya. Kalo kita gak bisa memprioritaskannya, patut dipertanyakan
sebenarnya, seberapa cinta kita sama Menulis, sama mimpi-mimpi kita.”
Sampai ke penjelasan super panjang tadi, Clara
manggut-manggut, nampak mulai mencerna kata-kataku tadi. Aku sendiri baru
nyadar juga, apa yang jadi penyebab ke-tidakproduktif-anku selama ini. It`s all about priority
“Ini alasan kenapa aku mau bahas ini sama kamu
secara langsung, bisa lebih ngena pemahamannya,”
ucap Clara “kamu masih jadi orang yang tepat sebagai tempat meminta nasehat dan
saran.”
“Well, ganteng aja gak cukup, Ra. Punya
otak cerdas juga bijak jadi keharusan di era kekinian gini,” uraiku dengan gaya
pura-pura menyombong.
“Oke, kuakui kamu emang paling bijak banget deh di
antara yang lain, paling bisa soal kasih nasehat juga saran,” kata Clara “tapi,
bisa gak jadi orang yang tepat juga untuk mendengar nasehat dan saran orang
lain?”
“Selagi baik buat aku, insya Allah aku terima semua
nasehat dan saran.”
“Pertama, soal kopi...” mimik wajah Clara jadi
berubah sangat serius “kamu jauh dari orang tua, Dy. Jangan suka bikin hal-hal
yang membahayakan kesehatanmu sendiri. Anugrah terbesar kedua bagi orang tua
setelah melihat anaknya lahir dengan selamat adalah melihat anaknya tumbuh
dengan sehat, tak kurang satu apapun. Kamu menjaga kesehatan sama juga kamu
udah bikin orang tua kamu bahagia, jangan biarkan kebahagiaan itu hilang
lantaran kamu gak bisa menjaga kesehatan kamu sendiri.”
Sampai sini aku tercenung, betapa masih seringnya
aku melanggar batas-batas kemampuan tubuhku sendiri, melawan semua pantangan
yang berhubungan dengan penyakit yang kuderita, termasuk kopi.
“Kedua, kamu udah berapa lama lost contact sama dia?”
tanya Clara. Kali ini aku yang memasang wajah tak kalah serius, aku sudah sering
mengatakan kalo aku udah gak mau bahas apapun lagi soal dia.
“Bukan seseorang
dari masa lalu, aku faham kamu
sebenarnya emang gak pernah mau bahas dia lagi, terutama sejak anak-anak
kemaren juga pernah bikin masalah sama dia. Bukan dia yang kumaksud. Dia yang
jadi alasan di balik puisi terakhir yang kamu publish.”
Aku menatap ke kedua bola mata Clara. Bagaimana dia bisa tahu?
“Kami tahu segalanya soal kamu, sama halnya kamu
tahu semuanya tentang kami” Clara mengeluarkan Hp, menekan entah apa lalu
kemudian menekan ke tombol volume di sisi samping Hp miliknya. Lagu Charlie
Puth dan Selena Gomez ; We Don`t Talk Anymore.
“You don`t talk
her anymore?”
Aku mengangguk tegas.
“You don`t love
her anymore?”
Aku memalingkan wajah.
Clara menyelesaikan sesapan terakhir di cangkir
espresso-nya, mematikan musik, memasukkan Hp ke dalam saku lalu bergegas ke
arah kasir meninggalkan aku tanpa mempedulikan jawaban atas pertanyaan
terakhirnya.
Kayak cerita nyata,,
BalasHapusAhahaha 😁 bukan orang pertama yg bilang "kayak cerita nyata" wkwkwkwk
HapusDan kenyataan nya,,? Nyata atau nggak,,? Atau campuran,,?
HapusNyata gak yaa... Wkwkwkw
HapusDih,,😒
Hapusini nyata kayaknya ni,,
Hayo ngaku,,!!
Hahaha,,nggak jga sih,,😀
HapusCuma ingin memenuhi rasa penasaran aja,,hehe,,
Dan pada intinya cerita nya bagus,,👍 d tnggu kelanjutannya,,😀